Oleh M. Anwar Djaelani
Inpasonline.com-Banyak orang yang berlomba-lomba untuk meraih kekuasaan. Lihat saja –sebagai contoh- terutama di berbagai suasana Pemilihan Kepala Daerah, Pemilu Legislatif, dan Pemilu Presiden di negeri ini. Kerap, mereka yang memerebutkan kekuasaan seperti tak peduli bahwa tanggung-jawab yang harus dipikul seseorang yang punya kekuasaan itu sangatlah berat. Mereka tampak tak faham dengan apa yang disebut amanah.
Berat, Berat!
Di setiap kali terdengar kabar seorang pejabat akan dilantik untuk memegang suatu jabatan, sebagian dari kita tergugah untuk bertanya: Dalam pandangan Islam, jabatan (kekuasaan) itu seperti apa?
Seperti diriwayatkan Muslim, suatu ketika, Abu Dzar Ra bertanya: “Yaa Rasulullah, kenapa engkau tidak memercayakan kekuasaan kepadaku?” Nabi Muhammad Saw, menjawab: “Wahai Abu Dzar, engkau adalah orang yang lemah, dan kekuasaan (jabatan) itu adalah amanat Allah. Di Hari Kiamat nanti (kekuasaan itu) akan menjadikan seseorang menyesal atau hina karenanya, kecuali orang-orang yang bisa menegakkan kebenaran serta berlaku adil lagi jujur.”
Tampak, dari dialog di atas, sebenarnya kekuasaan itu amanat. Apa itu amanat? Kata amanat adalah serapan dari bahasa Arab (baca: Al-Qur’an) dan untuk ini dapat disimak QS [33]: 72, [8]: 27, [2]: 283, [23]: 8, [4]: 58, dan [70]: 32.
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya. Dan, dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh” (QS Al-Ahzab [33]: 72). “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui” (QS Al-Anfaal [8]: 27).
Menurut Ibnu Katsir, amanat adalah taklif (pembebanan hukum, Undang-Undang, serta Peraturan Pelaksanaan-nya) dan menerima beban itu dengan segala konsekwensinya. Jika ia laksanakan beban itu akan diberi pahala dan –sebaliknya- jika ia tinggalkan maka ia akan dihukum.
Sementara, menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), amanat adalah barang sesuatu yang dipercayakan (dititipkan) kepada orang lain. Jelas, amanat adalah barang pinjaman yang harus dipakai dan dirawat dengan baik oleh si penerima/peminjam serta suatu saat harus dikembalikan kepada pemiliknya jika si pemilik memintanya lagi.
Bagi siapapun yang menerima amanat, tidak ada pilihan lain kecuali menunaikannya. Sebab, jika kita mengkhianati amanat, maka potret kehidupan akan berwajah buram. Misal, ketika pemimpin tak menjalankan amanat maka krisis moral, politik, hukum, ekonomi, dan lainnya pasti akan terjadi. Ketika pejabat mengabaikan amanat maka korupsi, kolusi, dan nepotisme menjadi gampang. Dengan demikian, tampak bahwa amanat termasuk hal paling pokok yang menentukan wajah dunia.
Oleh karena kekuasaan adalah amanat, maka dari segi ini lahir dua aspek prestasi yang harus dilakukan seorang pengemban kekuasaan. Pertama, semua kekuasaan harus ditunaikan dengan penuh rasa tanggung-jawab. Penerima amanat adalah abdi (pelayan/pembantu) dari si pemberi amanat. Oleh karena itu, ia sama sekali bukan penguasa (tuan).
Kedua, sebagai barang titipan, maka kekuasaan itu harus diserahkan kembali kepada si pemberi amanat, entah karena waktu “serah terima” kekuasaan telah tiba sebagaimana telah diperjanjikan sejak semula atau karena si pemegang amanat berkhianat sekalipun waktu “serah terima” resmi belum sampai waktunya. Dengan demikian, sungguh tak elok jika ada usaha (halus ataupun kasar) untuk memertahankan kekuasaan itu.
Sesungguhnya kekuasaan itu dapat mengantarkan si pemegangnya ke tempat terhormat di sisi Allah jika bisa menjalankan dengan sepenuh tanggung-jawab. Maka, dengan demikian, jika kita dipercaya masyarakat untuk menjadi pengemban kekuasaan kita tak perlu menghindarinya. Tetapi, sebaliknya, kekuasaan tak patut kita peroleh dengan jalan menghalalkan segala cara.
Pemimpin itu harus amanat. Antara lain, bercirikan disiplin dalam memegang kata-katanya. Selalu sama antara kata dan perbuatannya. Jika –misalnya– suatu ketika ia berpidato “Tegakkan kukum dan utamakan kepentingan rakyat”, maka akan banyak orang yang bisa bersaksi apakah sang pemimpin itu konsisten atau tidak dengan pernyataanya itu.
Lebih jauh lagi, menurut KUBI, amanat juga berarti kepercayaan. Amanat adalah (orang) yang dapat dipercaya. Maka alangkah indahnya dunia yang dipenuhi oleh orang-orang –terutama pemimpin atau pejabat– yang amanat. Sebaliknya, sungguh malang jika kita dipimpin oleh pemimpin atau pejabat tak bermoral karena suka melanggar amanat.
Amanat harus menjadi ruh setiap pemimpin atau pejabat. Sikap dapat dipercaya harus menjadi nafas segenap pejabat. Sifat jujur (tidak suka bohong) harus menjadi jiwa seluruh pejabat. Tentu, jika kita mendapatkan pemimpin atau pejabat yang amanat, semua rakyat pantas berbahagia sebab sang pejabat akan bekerja dengan penuh tanggung-jawab.
Siapa Siap
Jika ingin sukses menjadi penguasa / pejabat / pemimpin, maka pilihannya hanya satu yaitu jadikanlah amanat sebagai spirit dalam mengelola kekuasaan itu. Sungguh ruh kekuasaan itu bernama amanat. Maka, sanggupkah kita memanggulnya? []