Inpasonline.com, 29/11/11
Kendati akad nikah & resepsi pernikahan Edhie Baskoro Yudhoyono (putera Presiden SBY) & Siti Rubi Aliya Rajasa (puteri Menko Ekonomi Hatta Rajasa) yang digelar di Jakarta Convention Centre (JCC) – Senayan telah berakhir pada Sabtu lalu, 26 November 2011, dampak sosial akibat royal wedding tersebut masih terasa. Setidaknya dampak kekecewaan bagi kalangan penulis dan pecinta buku Indonesia.
Betapa tidak. Hanya karena sebuah acara mantenan untuk segelintir pihak, sebuah ajang pameran buku yakni Indonesia Book Fair (IBF) yang merupakan acara rutin tahunan (24 November-4 Desember 2011) yang berlokasi di kompleks bangunan yang sama (Istora Gelora Bung Karno- Senayan) dan melibatkan kepentingan nasional yang jauh lebih besar terpaksa diliburkan atau dibatalkan sehari penuh pada Sabtu, 26 November 2011, yang berakibat kerugian secara materil bagi pihak penyelenggara pameran. Karena peliburan atau pembatalan dilakukan pada hari Sabtu yang merupakan akhir pekan, yang biasanya merupakan hari ramainya kedatangan para pengunjung
Terlebih, menurut penyelenggara pameran seperti dikutip Okezone.com, tidak ada pemberitahuan langsung dari Istana Negara tentang hal tersebut. Pihak penyelenggara pameran buku hanya mendapatkan informasi dari pihak Istora.
Poster iklan Indonesia Book Fair 2011 yang merupakan pameran buku terbesar di Indonesia sekaligus diperhitungkan di kawasan Asia Tenggara.
Untuk itu, kalangan penulis dan pecinta buku Indonesia yang diwakili oleh Forum Lingkar Pena (FLP) Pusat menggugat Presiden SBY dan Menko Ekonomi Hatta Rajasa dari pihak orang tua kedua mempelai sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pembatalan tersebut.
Acara Indonesia Book Fair (IBF), bagi penerbit dan pecinta buku telah menjadi acara rutin tahunan. Ajang ini adalah momentum bagi bertemunya para pecinta buku, penulis, sekaligus promosi bagi para penerbit buku untuk secara langsung menyapa pembaca. Namun, tahun 2011 ini acara rutin tersebut telah digeser secara semena-mena oleh penguasa (Presiden SBY) padahal tempatnya jelas berbeda.
Dalam pengumumunnya, panitia IBF 2011 menginformasikan bahwa IBF yang diadakan di Istora Senayan Jakarta tanggal 26 November yang jatuh hari Sabtu, diliburkan karena pada hari/tanggal tersebut ada acara kenegaraan yang berlangsung di Gedung JCC. Kita semua tahu, acara yang disebut acara kenegaraan itu sebenarnya acara pribadi presiden yang menikahkan anaknya.
Atas dasar itu pihak istana menggeser acara pameran buku itu dengan semena-mena sehingga banyak menimbulkan kekecewaan bagi para pengunjung dan pecinta buku pada umumnya.
Alasan bahwa liburnya IBF 2011 pada tanggal 26 November telah dikoordinasikan karena ada acara pernikahan tidak dapat diterima. Sebab, IBF 2011 merupakan acara rutin yang tanggal penyelenggaraannya biasanya sudah ditentukan satu tahun sebelumnya.
Pihak istana mungkin berpikiran acara pameran buku bukan sesuatu yang penting. Jadi enteng saja menggeser acara semaunya. Tapi, bagi dunia perbukuan dan penerbitan, peristiwa ini adalah tragedi. Sebuah wajah nyata pelecehan terhadap para pecinta buku telah dipertontonkan.
Mensikapi hal tersebut, Badan Pengurus Pusat (BPP) Forum Lingkar Pena (FLP) Pusat yang membawahi 29 wilayah, 130 cabang dengan lebih dari 5000 anggota di dalam maupun luar negeri, menyatakan keprihatinan mendalam terhadap tindakan semena-mena tersebut. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa pemerintahan SBY lebih mengutamakan kepentingan pribadi daripada kepentingan rakyatnya. Juga menegaskan ketidakberpihakan pemerintah dalam memajukan dunia literasi di Indonesia.
FLP berharap semua pemimpin bangsa baik dari tingkat bawah sampai atas, benar-benar peduli pada dunia perbukuan, sebab hal ini adalah bagian dari dunia pendidikan yang ikut menentukan nasib baik Indonesia ke depan.
Dalam tanggapannya, salah satu aktivis FLP yang juga dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH-UI) dan tengah menempuh pendidikan S-3 Hukum di Thailand, Heru Susetyo, menyarankan, sebagai pembelajaran bagi pihak penguasa dan semua pihak, agar FLP Pusat melakukan gugatan perdata terhadap Presiden SBY dan Menteri Hatta Rajasa sebagai pihak tergugat dengan dasar Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) tentang gugatan ganti rugi akibat perbuatan melawan hukum. Bunyi Pasal 1365 KUHPer: “tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Namun, dalam diskusi tersebut, ada pendapat lain bahwa sebaiknya yang digunakan adalah Pasal 335 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang perbuatan tidak menyenangkan, dengan sanksi penahanan maksimal 1 tahun penjara. Bunyi Pasal 335 ayat 1 KUHP: “barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan atau memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain”.
Terlepas dari apapun pasal yang akan digunakan, dengan tentunya mempertimbangkan legal standing dan legal grounds dari gugatan yang akan diajukan, tampaknya kalangan penulis Indonesia yang diwakili oleh FLP layak juga mempertimbangkan kampanye media sosial (social media campaign) lewat jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter serta blog yang terbukti efektivitasnya lewat kasus koin Prita Mulyasari, Dasem dan beberapa kasus lainnya. Dengan kondisi pelaksanaan hukum Indonesia yang karut-marut dan mahalnya biaya proses hukum, tampaknya opsi kampanye media layak dipilih. Dan, faktor terpenting adalah kesatuan langkah dari kalangan penulis dan industri perbukuan dalam menyuarakan aspirasi dan gugatannya.
Salah satu hal yang merupakan blessing in disguise (hikmah tersembunyi), yang menyeruak dari kasus ini, adalah tampaknya ini momentum terbaik bagi organisasi kepenulisan di Indonesia, mulai dari FLP, Kongres Sastra Indonesia (KSI) dan berbagai komunitas sastra dan kepenulisan lainnya untuk duduk bersama, menyatukan visi dan misi gerakan literasi dan perbukuan selanjutnya. Kasus pelecehan terhadap buku yang dilakukan pihak penguasa saat ini adalah gong sekaligus alarm yang mestinya menggebrak para penulis dan kalangan industri perbukuan untuk bersatu langkah dan gerakan. Langkah menengah berikutnya adalah menggolkan RUU Perbukuan, yang nasibnya tak tentu arah karena pengesahan yang molor di DPR, yang tentu berpengaruh besar terhadap hajat hidup kalangan penulis dan perbukuan. (okezone/jpnn/Kartika Pemilia)