Oleh: Ainul Yaqin
Inpasonline.com-Pertama-tama, perlu disampikan bahwa tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menolak demokrasi, namun hanya ingin mengajak semua pihak untuk bersikap kritis dan obyektif pada demokrasi sebagai sebuah sistem politik yang lahir dari buah pikiran manusia. Demokrasi mengandung sejumlah kelemahan mendasar baik dari sisi konsep maupun aplikasinya sehingga untuk menga-dopsinya perlu ada pengkiritisan dan penyesuaian. Tidak sepatutnya kita mengadopsi demokrasi sebagaimana adanya yang berlaku di negara-negara Barat, karena pada faktanya Barat berbeda dengan Indonesia, dan Barat sendiri tidak pernah konsisten dengan konsep demokrasi yang mereka buat.
Pernyataan diatas perlu disampaikan di awal, supaya tidak terjadi salah faham. Karena penulis menyadari benar, demokrasi sebagai sebuah sistem politik saat ini lagi digandrungi banyak orang bahkan keberadaannya nyaris dikeramatkan. Seolah-olah hampir setiap orang berkeyakinan bahwa demokrasi adalah sistem politik satu-satunya yang terbaik yang akan mengantarkan umat manusia untuk mencapai kondisi kehidupan yang sejahtera dan berkeadilan. Demokrasi dianggap sebagai berkah bagi umat manusia sehingga wajib diterapkan. Demikian dikeramatkannya demokrasi sehingga kelompok yang mencoba melakukan kritik terhadap demokrasi akan menghadapi berbagai tuduhan perlawanan, dan stigmatisasi, mulai dari tuduhan fundamentalis, radikalis, revivalis, tekstualis, formalis, skripturalis, sampai dengan tuduhan Wahabi dan HTI.
Abdul Moqsith Ghazali kontributor JIL misalnya, dalam sebuah tulisannya di www.wahidinstitute.org mengatakan bahwa gerakan untuk mewahabikan umat Islam di Indonesia sudah tidak bisa ditutup-tutupi lagi bahkan tidak hanya di kota-kota besar, tetapi juga telah masuk ke desa-desa yang dimotori oleh para aktivis wahabisme. Ciri gerakan ini kata Moqsith, bahwa gerakan ini secara getol menyuarakan kritik terhadap demokrasi.
Nampak sekali bahwa kelompok yang menyuara-kan kritik terhadap demokrasi telah distigma sebagai Wahabi. Cap atau stempel sebagai fundamentalis, radi-kalis, revivalis, tekstualis, skripturalis, bahkan Wahabi, tidak menutup kemungkinan juga akan dialamatkan pula pada penulis karena kritik ini. Apalagi saat ini penulis tecatat sebagai salah seorang pengurus MUI. Lembaga ini pun bisa terseret-seret. Karena sebelumnya lembaga ini juga pernah terkena stigma sebagai lembaga yang miring ke kanan dan telah kesusupan kaum fundamintalis atau juga disebut kaum Islam formalis.
Karena itu, penulis bisa menyadari sikap yang diambil oleh beberapa cendekiawan muslim yang mung-kin khawatir dituduh tidak demokratis ikut bersuara lantang membela demokrasi, yang diantara mereka ada yang sibuk mencari justifikasi dalam ajaran Islam untuk melegetimasi demokrasi, bahwa demokrasi adalah sistem pilitik yang sesuai dengan ajaran Islam. Merekapun berusaha untuk mencari padanannya dalam al-Qur’an maupun al-Hadits.
Pada kenyataannya, dalam beberapa kasus demo-krasi sering lebih sebagai alat propaganda bagi Barat utuk menyebarluaskan ideologinya, ketimbang untuk menyampaikan misi keadilan dan kesejahteraan. Dalam pandangan Barat, demokrasi bukan semata-mata sebagai proses yang melibatkan seluruh rakyat atau warga negara untuk mewujudkan kekuasaan dan mengatur pemerin-tahan, tetapi demokrasi adalah sebuah proses untuk menerapkan ideologi sekular – liberal. Beberapa fakta sekalipun proses demokrasi telah diikuti sesuai dengan kaidahnya namun ketika hasilnya tidak sesuai dengan keinginan Barat, mereka tidak segan-segan membuat rekadaya. Inilah yang terjadi di beberapa negara Muslim.
Contoh yang relatif baru adalah kasus di Mesir. Pasca jatuhnya Presiden Husni Mubarak, di Mesir telah diselenggarakan pemilihan umum. Kendatipun pemilu telah terselenggara dengan sangat demokratis, kaidah-kaidah demokrasi telah diterapkan, tetapi karena hasilnya tidak sesuai dengan yang dinginkan oleh Barat yakni penyebaran ideologi sekular, hasilnya juga dijungkirkan. Kebetulan yang berhasil memenangkan pemili di Mesir adalah Mursi, calon presiden yang diusung oleh Ikhwanul Muslimin partai berasaskan Islam. Hal ini tentu sangat tidak dinginkan oleh Barat. Maka sekalipun Mursi menang secara demokratis, akhirnya juga dipaksa bubar oleh militer yang ditunggangi oleh kekuatan sekular.
Nasib partai Ikhwanul Muslimin di Mesir tidak jauh berbeda dengan partai Refah. Patai Islam pimpinan Necmettin Erbakan di Turki ini pun dijungkirkan setelah memenangkan pemilu 24 Desember 1995 oleh militer penjaga sekularisme di Turki. Hal yang sama dialami partai FIS (Front Islamic du Salut ) di Aljazair dan HAMAS di Palestina. FIS berhasil memenangkan pemilu di Aljazair tahun 1991, namun akhirnya dikudeta oleh militer yang didukung oleh AS dan Perancis. Pemimpin FIS Abassi Madani dan Ali Benhaj dipenjarakan. AS dan Perancis mendukung upaya militer menggulingkan FIS partai sah pemenang pemilu dan menyatakan bahwa langkah militer Aljazair adalah konstitusional. Demikian pula AS bersama Israel dengan sikap tegas menolak kemenangan HAMAS dalam pemilu di Palestina. Sikap ini jelas merupakan sikap yang tidak konsisten dan sangat ambigu, namun itulah faktanya. Kenyataanya demokrasi bagi Barat dan sekutunya adalah tidak lebih hanya jargon politik untuk melanggengkan ideologi politik mereka yang sekular ketimbang sebuah idealisme untuk menciptakan tata kehidupan yang berkeadilan di dunia.
Fenomena di sisi yang berbeda, semakin mempertegas sinyalemen bahwa demokrasi adalah alat bagi Barat untuk menyampaikan ideologi sekular – liberal, yaitu adanya kelompok yang terus-menerus mencurigai Islam sebagai ancaman demokrasi. Mereka adalah para pengikut aliran demokrasi liberal – sekular yang didukung oleh kekuatan Barat. Kelompok ini selalu berfikiran jika Islam berhasil merebut kekuasaan dengan melalui proses yang demokratis sekalipun, akan menjadi ancaman karena itu harus dihambat. Kelompok seperti ini cenderung tidak konsisten, mereka menyuarakan lantang demokrasi dan kebebasan, disaat yang sama berusaha dengan segala cara menyerang kelompok yang berseberangan dengan cara-cara yang sebenarnya bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang mereka gulirkan. Maka berbagai stigma negatif diarahkan kepada partai-partai yang mengusung nama Islam. Dalam kasus Indonesia bisa dilihat perlakuannya terhadap partai seperti PPP, PBB, dan PKS. Lebih-lebih ketika beberapa elit partai yang terakhir ini terjebak dalam skandal perkara antara lain yang dituduhkan adalah gratifikasi.
Indonesia sejak reformasi 1998 yang sudah berjalan lebih dari lima belas tahun sampai saat ini masih saja dalam suasana euphoria dan sukacita demokrasi. Pujian-pujian terhadap keberhasilan demokrasi Indonesia yang disampaikan berbagai fihak di awal reformasi, masih saja terngiang-ngiang dan membuat terlena. Pemilu 2004 yang merupakan pemilihan umum pertama di Indonesia untuk memilih presiden secara langsung diikuti dengan pemilihan anggota legislatif, dianggap sebagai tonggak demokrasi di Indonesia. Keberhasilan Indonesia menyelenggarakan pemilu 2004 banyak memperoleh pujian dari petinggi-petinggi AS. Jimmy Carter mantan presiden AS memuji keberhasilan demokrasi Indonesia sebagai era baru dalam sejarah Indonesia. The Economist sebuah majalah terkemuka pada edisi 10 Juli 2004 menjadikan fenomena demokrasi Indonesia menjadi tema dalam cover story-nya. Freedom House menerbit-kan laporan yang mengelompokkan Indonesia sebagai negara demokrasi yang mempunyai kebebasan penuh. Tak hanya itu, Menlu AS Hillary Clinton pada kujungannya ke Indonesia 18 Februari 2009 memuji Indonesia karena keberhasilannya melakukan transfor-masi besar menuju proses demokratisasi. Pujian-pujian itu tentu saja membuat para petinggi nagara ini dan para cendekiwannnya berbangga diri.
Pada kenyataannya apa yang disebut keberhasilan yang selama ini dibangga-banggakan adalah keberha-silan kulit, bahkan keberhasilan semu, yang sama sekali tidak mempunyai signifikansi dengan kesejahteraan rakyat. Sekarang kita sudah memasuki era lima tahunan ke empat sesudah memasuki era demokratisasi, tapi berbagai masalah tak pernah berhenti. Angka pengangguran masih cukup tinggi. Demikian pula angka kemiskinan juga masih tinggi. Korupsi bahkan menjadi-jadi. Korupsi tidak hanya dilakukan oleh eksekutif, tetapi para wakil rakyat pun ramai-ramai berkorupsi. Rapot penegakan hukum juga masih tetap saja buram, penegakan hukum masih tebang pilih. Kondisi negara ini semakin carut marut. Krisis moralitas merajalela. Angka kriminalitas seperti pembu-nuhan, perkosaan, penodongan, pencurian, perampasan, dan perampokan bahkan terus membumbung. Bangsa ini semakin kehilangan karakter dan jati diri. Masyarakat semakin individualistis dan materialistis. Nilai-nilai positif yang dulu dimiliki oleh bangsa ini seperti tepo sliro, unggah unggguh, asah asih asuh, dan sopan santun semakin hilang dan terkikis oleh budaya dan nilai-nilai global yang individualistis, materialistis, dan hedonistis. Maka orang-orang lugu yang tinggal di pelosok pedesaan pun ada yang berujar masih enak hidup di jaman orde baru yang otoriter, suasana lebih aman, tertib, guyub dan rukun, harga-harga barang masih lebih murah, pupuk mudah didapat, biaya pendidikaan masih terjangkau dan sebagainya.
Belum lagi bahwa demokrasi yang diterapkan di negara ini adalah demokrasi yang boros biaya dan boros waktu. Untuk melahirkan seorang gubernur di Jawa Timur saja yang akan memerintah selama 5 tahun, pemerintah harus menyisihkan anggaran dari APBD tidak kurang dari 1 triliun. Angka ini belum termasuk biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing pasangan calon. Padahal propinsi seperti Jawa Timur, dalam setiap lima tahunnya akan banyak sekali melakukan kegiatan pemilihan umum, ada 38 kali pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) untuk memilih bupati/wali kota, 1 kali pemilukada untuk memilih Gubernur, 1 kali pemilu untuk memilih Presiden, dan 1 kali pemilu untuk memilih anggota legislatif. Jika semuanya berlangsung satu kali putaran berarti di Jawa Timur dalam lima tahun akan berlangsung pemilu sebanyak 41 kali. Jika ada yang harus dua putaran tentu lebih banyak lagi. Ini pun baru di Jawa Timur, bagaimana dengan se Indonesia. Maka bisa dibanyangkan berapa biaya yang dikeluarkan. Celakanya lagi bahwa biaya-biaya itu sebagian diambil dari dana utang luar negeri. Tentu anak cucu bangsa ini yang harus menanggung utang, padahal kekayaan alam sudah hampir ludes dieksploitasi.
Majelis Ulama Indonesia dalam kegiatan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI ke IV di Cipasung membuat rekomendasi kepada pemerintah untuk melakukan peninjauan ulang pelaksanaan pemilukada secara langsung. Dalam pandangan peserta ijtima’, pelaksanaan pemilukada secara langsung lebih banyak mafsadahnya ketimbang manfaatnya. Disamping banyak terjadi pemborosan akibat mahalnya biaya demokrasi, sehingga menunda skala prioritas pembangunan masyarakat yang saat ini sedang berada dalam ekonomi sulit, serta merupakan perbuatan mubadzir yang dibenci oleh agama, juga menimbulkan dampak sosial berupa munculnya disharmoni masyarakat, berpotensi menim-bulkan konflik horizontal antar elemen masyarakat, serta menimbulkan kerusakan moral yang melanda masyarakat luas akibat maraknya money politic (risywah siyâsiyyah).
Andai saja biaya-biaya itu dialihkan untuk pembangunan infrastruktur, tentu lebih jelas kontribu-sinya terhadap kesejahteraan rakyat. Sementara dapat disaksikan pembangunan infrastrukutur mengalami keterlambatan karena keterbatasan dana. Beberapa waktu yang lalu penulis pernah melakukan perjalanan Surabaya-Tegal lewat jalur pantura, penulis menyaksikan beberapa ruas jalan mengalami kerusakan parah, daerah kecamatan Tambakboyo wilayah barat kabupaten Tuban nyaris tidak bisa dilewati, padahal ini merupakan jalan penghubung antara propinsi. Belum lagi jalan-jalan yang lebih pelosok seperti jalan antara kabupaten, jalan antar kecamatan dan antar desa, banyak sekali yang kondisinya jauh dari layak. Padahal kondisi jalan sangat berpengaruh dengan denyut nadi perekonomian yang sudah tentu sangat terkait dengan kesejahteranaan rakyat. Bisa dibayangkan berapa kerugian yang ditimbulkan akibat keterlambatan dalam distribusi barang yang ditimbulkan karena jalan yang rusak. Kerugian bisa muncul karena keterlambatan itu sendiri dan tentu saja karena semakin borosnya bahan bakar.
Beberapa daerah tertentu masih dihantui dengan bencana banjir di musim penghujan dan bencana kekeringan di musim kemarau. Penulis sendiri termasuk orang yang tinggal di daerah seperti ini. Orang sering meledek “di musim hujan tidak bisa jongkok di musim kemaru tidak bisa cebok”. Daerah-daerah seperti ini membutuhkan sentuhan dana, misalnya untuk pemba-ngunan waduk agar bisa menampung kelebihan air di musim penghujan sehingga tidak menimbulkan banjir dan dimusim kemarau air tidak cepat habis karena lari kelalut. Andai saja dana pemilu yang begitu besar itu dialihkan untuk hal ini, jelas lebih berkah dan signifikan memberikan kontribusi pada kesejahteraan rakyat.
Dalam sebuah diskusi sempat ada yang menyampaikan uneg-uneg seperti di atas. Sang pembicara secara apologetik mengatakan bahwa kita baru belajar berdemokrasi. Dia lalu membandingkan dengan Amerika, katanya Amerika menjadi negara yang demokratis dan sejahtera seperti sekarang membutuhkan waktu lebih dari seratus tahun. Jika logika ini dibenarkan, demokrasi ternyata juga merupakan sistem yang boror waktu, tidak efisien dan efektif, betapa tidak, untuk menuju pada kesejahteraan rakyat membutuhkan waktu begitu panjang, apa tidak ada sistem lain lain yang lebih efektif dan efisien.
Belakangan sudah ada yang mulai berfikir untuk memperbaiki sistem pemilukada langsung yang banyak masalah. Maka DPR akhirnya mensahkan UU No. 22 tahun 2014. Namun nasib UU ini pun tak berlangsung lama karena muncul gonjang ganjingyang pada akhirnya Presiden SBY mengeluarkan PERPU No. 1 tahun 2014.
Demokrasi sebenarnya merupakan sistem yang bermasalah secara fundamental. Demokrasi menempat-kan seorang berilmu dan orang bodoh secara sama. Seorang bodoh yang memilih tanpa ada pertimbangan, bahkan mungkin dengan pertimbangan yang naif seperti karena politik uang, disejajarkan dengan seorang yang berilmu seperti seorang profesor yang memilih dengan menggunakan pertimbangan matang dan penuh perhitungan, atau dengan seorang kiyai yang memilih menggunakan pertimbangan penuh kearifan bahkan dengan melalui shalat istikharah. Suara mereka semua sama. Jikalau saja dalam suatu wilayah tertentu penduduknya sebagian besar adalah orang-orang bodoh yang kurang bermoral, akan hampir pasti yang terpilih menjadi pemimpin adalah orang-orang yang jelek. Pertimbangan para ilmuan akan dikalahkan dengan pilihan mayoritas yang terdiri dari orang-orang bodoh itu. Sudah saatnya kita berfikir lebih jernih untuk mencari formula yang lebih baik, lebih efektif dan efisien dan lebih maslahah untuk kesejahteraan umat. Dulu para founding fathers negara ini sempat memunculkan kalimat yang indah yang kemudian masuk dalam bagian dasar negara kita, ada kalimat “hikmah kebijaksanaan dalam permusyawataran/perwakilan”. Kata-kata inilah yang semestinya kita gali secara jernih yang insya Allah akan menjadi jati diri bangsa ini yang sebenarnya.
Penulis adalah Sekretaris Umum (Sekum) MUI Jawa Timur
lalu solusinya apa? saya baca dari atas ini bukan masalah sistemnya tapi manusianya 😀 karena semua sistem pasti ada celahnya