Isu-isu yang ditampilkan merusak wajah Islam, di antaranya; Dekonstruksi konsep kepemimpinan (qawwam) laki-laki dalam rumah tangga, konsep imam shalat laki-laki, penggunaan teori gender dalam menafsirkan al-Qur’an dan merombak kurikulum pendidikan keagamaan.
Makalah ini akan menjelaskan dua hal, pertama, asal-usul faham feminisme dan, kedua, dampaknya dalam studi keislaman.
Asal-Usul Feminisme
Feminisme adalah paham atau keyakinan bahwa perempuan benar-benar bagian dari alam manusia, bukan dari yang lain yang menuntut kesetaraan dengan laki-laki dalam setiap aspek kehidupan, tanpa melihat kodrat dan fitrahnya. Kesetaraan ini biasanya disebut juga dengan istilah kesetaraan gender (gender equality). Gender arti aslinya adalah ‘kelamin’. Tapi maknanya meluas menjadi ciri perilaku, budaya dan psikologis yang dihubungkan dengan jenis kelamin. Pamela Sue Anderson mengatakan bahwa gender itu perilaku salah satu jenis kelamin yang merupakan konstruk budaya (nurture) bukan yang alami (nature)[1]. Di sini Pamela meletakkan gender sebagai hasil budaya tidak ada kaitannya dengan fitrah dan kodrat laki-laki dan perempuan. Oleh karena pengertian ini, mereka meyakini bahwa homoseks, lesbi dan lain sebagainya merupakan produk budaya bukan kelainan seks. Laki-laki memimpin rumah tangga juga diyakini konstruk budaya bukan yang lainnya.
Paham feminisme bermula dari aktivisme perempuan Barat yang merasa tertindas oleh ideologi Gereja. Tidak bisa dipungkiri, ajaran gereja pada abad ke-17 dan 18 tidak memberi tempat yang adil terhadap perempuan bahkan berlaku kejam. Budaya misogynic (merendahkan perempuan) oleh Kristen bersumber dari kitab suci Kristen. Tersebut di Bible di antaranya; “Perempuan lebih dulu berdosa, karena perempuanlah yang terbujuk oleh ular untuk makan buah terlarang” (Kitab Kejadian [3]:1-6). Dalam pandangan gereja, perempuan direndahkan sebagai makhluk yang pertama kali membawa dosa. Selain itu, perempuan merupakan makhluk yang dikutuk Tuhan. Kitab Kejadian [3]:6 mengatakan: “Wujud kutukan Tuhan terhadap perempuan adalah kesengsaraan saat mengandung, kesakitan ketika melahirkan dan akan selalu ditindas laki-laki karena mewarisi dosa”. Thomas Aquinas, teolog Kristen menyebut perempuan sebagai laki-laki yang kurang upaya (defective male). Saint Paulus menilai bahwa perempuan adalah makhluk kelas dua[2].
Korban Inquisisi pada saat Gereja mendominasi raja-raja Eropa kebanyakan dari perempuan. Inquisisi adalah lembaga yang didirikan oleh Gereja untuk mengeksekusi orang-orang Kristen yang membangkang (herecy). Raja James I, dari Kerajaan Inggris memvonis banyak wanita sebagai nenek sihir. Mereka dibunuh dengan cara dibakar. Perempuan diyakni membawa bibit keburukan yang diwarisi oleh Eva (Hawa)[3].
Keyakinan seperti itu tentu saja mempengaruhi cara pandang manusia Barat terhadap perempuan. Pada abad pertengahan, perempuan eropa tidak memiliki hak kekayaan, hak belajar dan turut serta dalam partisipasi politik. Bahkan di Jerman suami boleh menjual istrinya. Wanita benar-benar dinista bagaikan barang. Seorang ibu dilarang mendidik anaknya, kecuali ada izin dari suami[4]. Pandangan-pandangan yang menista wanita ini memicu reaksi para cendekiawan dan ilmuan Barat.
Pertama, mereka berusaha menafsir ulang ayat-ayat Bible yang merendahkan wanita tersebut. Bahkan kaum perlawanan membuat Bibel tandingan yang diupayakan lebih memihak hak wanita Kristen. Mereka membuat revisi kitab suci yang bernama The Women’s Bible, ditulis dengan tujuan menandingi ayat-ayat yang dipandang merendahkan wanita[5]. Untuk keperluan penafsiran ulang, teolog Kristen menggunakan metode hermeneutika. Lebih dari itu, berkembang istilah-istilah penafsiran hermeneutika, yaitu tafsir feminis dan emansipatoris. Dengan metode baru ini, ayat-ayat Bibel yang nampak misoginik terhadap perempuan dimaknai dengan arti baru yang menutupi pandangan negatif terhadap perempuan.
Dapat disimpulkan, pandangan misoginik Gereja terhadap perempuan membuahkan model-model penafsiran terhadap Bibel. Penafsiran itu bersifat apologis dan menolak membaca teks-teks Bibel secara harfiah. Apalagi era ini hampir bersamaan dengan era enlightenment (pencerahan Eropa) –dimana gerakan para cendekiawan sangat massif melawan otoritas keagamaan. Ini sebagai bentuk perlawanan terhadap tradisi patriarkhi kuno yang telah berabad-abad lamanya berdiri secara mapan di dalam Gereja.
Gerakan pembebasan pada enlightenmen menjadi momentum penting bagi kaum pembela perempuan. Abad ke-17 bisa dikatakan gerakan pembebasan bernama feminisme itu mendapat dukungan secara luas. Muncul tokoh-tokoh wanita yang menentang otoritas agama dan tradisi kuno patriarkhi. Marry Wollstonecraft disebut-sebut sebagai wanita Barat yang paling getol melawan misoginisme. Ia kemudian diikuti oleh wanita liberal lainnya, seperti Helene Brion dari Prancis, Clara Zetkin dari Jerman, Anna Kuliscioff dari Italia[6]. Meski gerakan ini mendapatkan dukungan luas dari para aktivis perempuan dari Negara-negara Eropa, namun gerakan feminisme yang menjadikan enlightenmen sebagai ‘kendaraan’, tidak terlalu menyatu dengan gerakan para filsuf.
Para filsuf dan ilmuan Barat dengan gerakan liberalisasi agamanya, memfokuskan gerakan kepada isu-isu sosial non-perempuan. Bahkan, status perempuan sebagai makhluk yang benar-benar bebas belum mendapatkan kepuasan pada Revolusi Prancis. Padahal Revolusi Prancis disebut sebagai momentum penting bagi gerakan liberalisasi politik dan keagamaan di Eropa. Marry Wollstonecraft yang melopori menuntut masih biasnya para pendukung enlightenmen terhadap perempuan. Ia berhasil. Karyanya yang berjudul A Vindication of the Rights of Women diterbitkan di Inggris merupakan karya kaum feminis wanita pertama yang diakui. Dalam bukunya ia mengusulkan laki-laki dan perempuan diberi kesempatan yang sama dalam bidang politik, pendidikan dan pekerjaan[7]. Pada abad ke-17, dimana pada abad itu gerakan liberalisasi pemikiran marak di Barat, tapi wanitanya masih dianggap sebagai jelmaan setan untuk menggoda manusia (laki-laki). Wanita diyakini makhluk yang lemah iman. Term Feminis, sesunggunya bernilai merendahkan wanita. Feminis berasal dari kata Fe dan mina. Fe artinya fides atau faith artinya iman/kepercayaan. Sedangan mina dari kata minus artinya kekurangan. Artinya term itu menunjukkan wanita adalah makhluk yang kurang iman[8]. Barat memang telah berabad-abad lamanya menindas wanita, sehingga era liberalisasi agama pada zaman enlightenmen-pun masih belum bersih dari tradisi patriarkhi. Ini artinya, misoginisme begitu melekat lama dalam peradaban Barat.
Kedua, melakukan gerakan sosial. Pada 19-20 Juli 1848 di New York diadakan konvensi hak-hak perempuan yang diadakan oleh aktivis gender Elizabeth Candy Stanton. Pertemuan dihadiri oleh para wanita pendukung feminisme dan para aktivis penolak tradisi patriarkhi Gereja. Konvensi ini menghasilkan deklarasi yang bernama Declaration of Sentiments. Isinya usulan reformasi yang luas dan efektif untuk membela hak-hak perempuan dalam setiap aspek kehidupan. Pada 1854 Stanton pidato di Dewan Legislatif New York. Hasil pidatonya menghasilkan undang-undang perceraian dan kesetaraan gaji.
Setelah itu didirikan lembaga-lembaga yang diupayakan membela perempuan Barat. Seperti National Wowan Suffrage Association pada 1869. Pada 1878 dideklarasikan hak-hak perempuan bernama Declaration of Rights for Woman. Deklarasi ini menandai puncak kebangkitan kaum perempuan Barat melawan otoritas agama. Yang paling terkenal Stanton menerbitkan karya yang menghebohkan dunia Gereja, yaitu The Woman’s Bible 2. Karya ini menyindir teolog Kristena klasik[9]. Dalam karya itu Stanton ingin menunjukkan bahwa jika Bible selama ini ‘dikuasai’ laki-laki, maka kenapa kita tidak bisa membuat Bibel yang ‘khas rasa wanita’. Karya inilah yang memicu ideologi kebencian kaum feminisme terhadap laki-laki.
Ideologi tersebut menimbulkan pemberontakan yang ekstrim. Mereka memiliki frame pemikiran sama; wanita harus bebas dari laki-laki, sebebas-bebasnya. Misalnya, kepuasan biologis tidak harus dari laki-laki tapi dari sesama perempuan (lesbianisme), mencemooh institusi pernikahan, dan tidak mau menyusui. Bahkan mantan capres AS, Pet Robertson, memprovokasi wanita agar meninggalkan suami, membunuh anak-anaknya, dan menjadi lesbian[10]. Gerakan emanispasi yang ekstrim di Barat seperti ditulis oleh Syamsuddin Arif, telah merusak sendi-sendi kehidupan. Akibat feminisme, mereka mengalami krisis demografi. Data statistik PBB memperkirakan pada tahun 2030 daratan Eropa akan kehilangan 41 juta penduduk. Ini diakibatkan enggannya wanita Barat melahirkan dan mengugurkan kandungan. Jerman diprediksi pada tahun 2060 akan didominasi oleh penduduk generasi tua jompo[11]. Para wanitanya enggan hamil karena dianggap kehamilan menjadi penghalang aktifitas karir. Mereka juga banyak yang tidak menikah resmi. Hubungan biologis dilakukan tanpa ikatan pernikahan. Sebab mereka telah memiliki cara pandang yang negatif tentang pernikahan yang dianggap mengekang perempuan.Yang terjadi dalam masyarakat Barat adalah semacam ideologi balas dendam terhadap lelaki yang telah lama membenci wanita. Lelaki adalah biang penistaan itu. Segala hal yang berbau kelaki-lakian dibenci. Ini artinya, paham feminisme atau kesetaraan gender dipicu oleh respon traumatik terhadap kondisi sosial, politik, dan budaya orang Barat terhadap wanita.
Ideologi Marxis
Ideologi kebencian ini menurut Ratna Megawangi bersumber dari paham marxis. Agenda kaum feminis adalah mewujudkan kesetaraan gender secara kualitatif, yaitu pria dan wanita harus sama-sama (fifty-fifty) dalam setiap aspek, baik di luar rumah maupun di dalam rumah. Dalam perspektif Marxis, laki-laki itu dianggap sebagai pihak musuh. Bahkan institusi keluarga tidak diperlukan. Institusi keluarga merupakan institusi yang merendahkan pihak wanita. Menurut perspektif Marxis, yang pertama-tama harus diperkecil perannya dalam masyarakat komunis adalah keluarga. Mereka ingin menegakkan masyarakat yang tidak berkelas tidak ada perbedaan laki-laki dan perempuan. Keluarga dinilai sebagai sumber ketidakadilan sosial, terutama yang berkaitan dengan relasi antara suami dan istri. Term-term yang digunakan khas paham marxisme, seperti mewujudkan kesetaraan gender, anti otoritas, membela perempuan sebagai kuam yang tertindas, dan pemberdayaan kaum lemah[12].
Ideologi ini sejalan dengan aliran postmodern. Doktrin utama postmodern adalah equality (kesamaan) dalam berbagai hal. Jika dikaitkan dengan paham agama-agama, doktrin equalitiy menghasilkan paham pluralisme. Dan jika dibaca dalam konteks isu gender, doktrin ini menghasilkan paham feminisme. Dua paham ini sama-sama menawarkan doktrin persamaan antarmanusia, meniadakan kelas. Dalam filsafat postmo konsep kelas didekonstruksi (dibongkar). Atau meniadakan kaum yang disebut others (pihak lain). Karena konsep others menampilkan kondisi pihak yang inferior, dan tertindas. Mereka menolak pemikiran yang disebut phalogosentris (ide-ide yang dikuasai oleh logos absolut dimana logos dipersepsikan pihak laki-laki)[13]. Dalam postmodern logos itu dibongkar karena dinilai menampilkan otoritas yang absolut.
Di kalangan feminis muslim, ideologi marxis itu diwariskan. Bahkan sampai melewati batas-batas kodrat dan fitrah kemanusiaan. Feminis Indonesia, Siti Musdah Mulia dalam buku Gender Dalam Perspektif Islam,terpengaruh ideologi kebencian itu. Ia mengusulkan perlunya penafsiran ulang ayat-ayat al-Qur’an karena penafsiran yang ada dituding sebagai konspirasi ulama’ –yang berjenis kelamin laki-laki– untuk menempatkan wanita sebagai pihak subordinat. Lesbian dan homoseks dihalalkan asalkan dilakukan tanpa merusak kemanusiaan. Kepuasaan biologis kenapa harus dengan lelaki, jika dengan sesama perempuan bisa diperoleh? Apalagi lelaki itu cenderung merendahkan wanita. Begitu kira-kira logika kaum feminis, yang justru merusak kodrat manusia itu sendiri[14].
Implikasi dalam Studi Islam
Paham kesetaraan gender yang diusung kaum feminis muslim Indonesia tidak saja meruntuhkan konsep fitrah dan kodrat wanita, akan tetapi juga mendekonstruksi konsep-konsep dasar dalam studi keislaman. Pada tahun 2004 Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Yogyakarta menerbitkan buku berjudul Isu-Isu Gender dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah. Buku ini ditulis dengan tujuan menjadikan kurikulum di sekolah-sekolah memakai perspektif gender dalam bebarapa pelajaran terutama pelajaran agama. Ditulis dalam buku itu bahwa perempuan dalam budaya Islam telah mengalami penindasan. Term yang dipakai dalam buku tersebut juga term marxis. Yakni ditulis, kaum wanita tertindas oleh sebuah rezim laki-laki, sebuah rezim yang memproduksi pandangan-pandangan dan praktik patriarkhis. Rezim itu oleh buku tersebut bertahan karena dilindungi ayat-ayat suci.
Buku tersebut memakai kata ‘rezim’ yang khas dipakai oleh kelompok marxis dalam memperjuangkan rakyat melawan pemerintah. Selain itu, buku tersebut menuduh bahwa dalam tradisi Islam terdapat tradisi patriarkhi. Mereka menabur nilai-nilai kebencian, seakan-akan lelaki itu makhluk penindas perempuan, mirip dengan apa yang diperjuangkan feminisme Barat abad ke-18. Dalam pandangan buku itu, konsep kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga ditolak. Menggugat mengapa wanita tidak menjadi imam shalat bagi laki-laki dan mengapa shalat Jum’at hanya untuk laki-laki tapi tidak wajib bagi perempuan.
Bahkan buku ini cukup ekstrim menolak kodrat wanita. Seperti ditulis dalam buku itu: “Seorang ibu hanya wajib melaksanakan hal-hal yang sifatnya kodrati seperti mengandung dan melahirkan. Sedangkan hal-hal yang bersifat di luar kodrati itu dapat dilakukan oleh seorang bapak. Seperti mengasuh, menyusui (dapat diganti dengan botol), membimbing, merawat dan membesarkan, memberi makan, dan minum dan menjaga keselamatan keluarga[15].
Pandangan ini jelas merusak konsep kodrat wanita. Menyusui ditolak sebagai kodrat wanita. Mereka hanya mengaku mengandung dan melahirkan sebagai fitrah wanita. Padahal Allah menciptakan wanita dengan diberi air susu agar supaya memang wanita itu bertugas menyusui anaknya. Bahkan menyusui itu sangat baik dan mempengaruhi hubungan psikologis anak dan ibu. Anak yang disusui oleh ibunya dengan ASI memiliki kaitan batin dengan ibunya.
Strategi pembelajaran perspektif Gender diatur dalam buku Pengarusutamaan Gender dalam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Buku ditulis oleh Andayani dan kawan-kawan diterbitkan oleh PSW UIN Sunan Kalijaga. Buku ini terbit atas sponsor dan biaya Mc.Gill Universitiy. Buku inilah yang menjadi panduan penyusunan silabus pengajaran beberapa mata kuliah di UIN. Dalam mata kuliah Ulumul Qur’an I di jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin misalnya, dalam deskripsi mata kuliah ditulis: “Pendekatan dalam kuliah sedapat mungkin berspektif gender dengan mengemukakan berbagai contoh yang mendukung kesetaraan gender”. Masih dalam deskripsi tersebut, bahwa mata kuliah ini juga mengajarkan teori evolusi syari’ah[16]. Dalam mata kuliah tersebut mahasiswa diajarkan bagaimana menafsirkan al-Qur’an dalam kerangka paham feminism. Sehingga model tafsir yang diproduk adalah ‘tafsir feminis’. Semangat ini mirip dengan apa yang telah dilakukan oleh Stanton dengan karyanya Women’s Bible. Anggapan ini tidak berlebihan sebab PSW UIN juga memakai metode hermeneutika dalam menafsirkan al-Qur’an, sama halnya dengan feminism Barat yang menggunakan metode tersebut untuk memaknai Bibel.
Teori hermeneutika digunakan untuk menempatkan al-Qur’an dalam kerangka paham feminisme. Teori ini berakibat fatal, tidak saja mendekonstruksi hukum-hukum Islam, akan tetapi berimplikasi menempatkan al-Qur’an sebagai produk budaya (muntaj tsaqafi). Sebuah buku hasil disertasi berjudul Argumentasi Kesetaraan Jender: Pespektif al-Qur’an menjelaskan langkah metodologis dalam menempatkan al-Qur’an ke dalam kerangka faham kesetaraan gender. Di antaranya ditulis; “mendudukkan al-Qur’an setara dengan teks naskah-naskah lainnya yang tidak memiliki makna kesucian, melakukan kritik terhadap metode tafsir dan ulumul Qur’an yang telah digali sejak zaman sahabat dalam berinteraksi dengan al-Qur’an. Buku itu mengkritik penggunaan bahasa, diman Tuhan menggunakan kata ganti laki-laki (mudzakkar). Seperti kata ganti (huwa). Tulisan tersebut mengindikasikan seakan-akan Tuhan itu bias gender[17].
Tuduhan ini tidak rasional dan membingungkan. Sebab, tidak ada sama sekali petunjuk bahwa kata ganti laki-laki dalam bahasa Arab al-Qur’an itu digunakan untuk menindas perempuan. Pertanyaan yang mereka ajukan adalah kenapa kata ganti Tuhan selalu laki-laki tidak perempuan, ini menunjukkan hegemoni laki-laki. Kata ganti laki-laki dan perempuan dalam bahasa Arab untuk semua benda-benda. Jika cara pandanganya seperti kaum feminis, maka kita dibuat bingung. Sebab misalnya papan tulis yang bahasa arabnya sabburotun (kata benda bentuk feminim) apakah papan tulis itu kedudukannya lebih rendah dari pena yang bahasa arabnya qalamun (kata benda bentuk maskulin). Dalam bahasa Arab tidak ada pembedaan hal seperti itu.
Cara pandang yang seperti itu dipraktikkan dalam menulis penelitian di perguruan tinggi Islam. Seperti terdapat tesis yang dibukukan dengan judul Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan: Kritik Atas Nalar Tafsir Gender. Buku ini menguraikan perlunya memandang al-Qur’an secara terpisah, antara kedudukannya yang sakral-absolut di satu sisi dan yang profan-fleksibel/relatif di sisi lain. Menurut buku itu al-Qur’an yang sakral hanyalah pesan Tuhan yang ada di sisi-Nya atau di lauh mahfudz dan itupun masih belum jelas. Oleh sebab itu menurutnya tidak salah manusia bermain-main dengan al-Qur’an yang sekarang dengan teksnya tertulis itu. Di bab ke-IV buku itu, dikupas perspektif gender dalam menafsirkan al-Qur’an. Jika perspektif itu diajarkan, maka pembelajar akan mendapatkan keyakinan yang dekonstruktif yaitu, syari’ah Islam itu sudah tidak cocok lagi, al-Qur’an tidak sakral, dan tafsir al-Qur’an klasik tidak bisa digunakan karena bias tradisi patriarkhi.
Problem Keadilan
Kesetaraan yang diusung feminis bukan keadilan yang sesungguhnya. Problemnya, kesetaraan dalam hal apa saja. Tidak ada penjelasan. Jika disebut dalam RUU KG kesetaraan dalam semua aspek kehidupan, maka yang terjadi adalah ketimpangan dan kerusakan tatanan sosial. Mungkinkah olah raga sepak bola tidak memandang jenis kelamin? Laki-laki dan wanita bebas membentuk tim. Tidak mungkin juga olahraga tinju dan pencak silat tidak dibedakan laki-laki dan perempuan. Tenis dan bulu tangkis saja dibedakan regu pria dan wanita. Bahkan toilet pun dipisah. Kenapa dibedakan? Karena secara kodrat, fitrah, kekuatan badan dan biologis memang berbeda. Ini harus diakui.
Padahal keadilan itu tidak haru sama persis, sama-sama warna, sama berat, sama tempat dan sama wajah. Adil itu menempatkan sesuatu sesuai porsi, kodrat, dan potensi. Jika ada perbedaan disebabkan potensi itu, maka hal itu tidak dapat ditafsirkan sebagai perbedaan kedudukan dan derajat.
Di sisi Allah pria dan wanita itu sama. Al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 35 cukup memberi penjelasan. Baik laki-laki maupun perempuan akan mendapat ampunan dan pahala yang sama besar jika mereka ta’at, sabar, bersedekah dan senantiasa mengingat Allah. Di ayat itu tidak ada pembedaan sama sekali lelaki yang bersedekah pahalanya lebih besar daripada perempuan bersedekah. Amal sholeh dan keimanan dalam Islam tidak ditentukan jenis kelamin (QS Ali-Imran: 195).
Laki-laki menjadi imam shalat bagi wanita, tidak dapat ditafsirkan bahwa imam itu pahalanya lebih besar daripada makmum yang wanita. Ini sekedar pembagian tugas berjamaah. Posisi laki-laki di depan dan jamaah wanita di belakang. Ini juga bukan pembedaan kedudukan di sisi Allah. Ini sekedar strategi managerial dalam mengatur kekhusyukan. Wanita itu, semua kalangan mengakui, jika ‘dipublish’ akan menarik perhatian pria.
Begitu pula kepemimpinan dalam rumah tangga. Kedudukan dan derajat suami sebagai pemimpin rumah tangga tidak dapat dinilai bahwa suami lebih tinggi derajatnya dibanding istri. Ini juga hanya pembagian tugas. Masing-masing memiliki tugas. Persoalan yang terjadi dalam pikiran kaum feminis adalah cara pandang. Mereka mengira, derajat dan kedudukan itu semata-mata diukur secara material dan empirik. Mereka menganggap jabatan pemimpin itu tanda kemuliaan. Seperti halnya mengira harta yang banyak itu membahagiakan, padahal belum tentu. Dalam Islam, jabatan kepempimpinan dan harta itu amanah, tugas dan perintah yang harus dijalankan dengan baik.
Efek negatif yang bisa ditimbulkan dari paham kesetaraan gender adalah ideologi relatifisme. Relativisme ini meniadakan syariah dalam mengatur hubungan antarmanusia. Akibatnya, mereka menghalalkan praktik homoseksual, sebab dianggap itu sebagai hak asasi manusia dan orientasi seksual itu sebuah pilihan yang tidak boleh dilawan, oleh syariah sekalipun. Dalam pandangan kaum feminis, menjadi lesbianis seorang perempuan memiliki kontrol yang sama dan tidak ada dominasi dalam hubungan seksual.
Adapun isu kesetaraan gender selama ini lahir karena pemberontakan wanita Barat terhadap doktrin gereja. Isu kesetaraan gender membuat perempuat Barat mengingkari kodrat mereka seperti perempuan. Dimana hal itu tidak pernah dialami dalam tradisi Islam. Sehingga sepatutnya pengalaman itu tidak dipraktikkan dalam hukum Islam. Apalagi paham feminism merupakan bagian dari liberalisasi dan sekularisasi agama yang berdasarkan pada paham relativisme.
Penutup
Walhasil, gerakan perempuan justru menjauhkan dari fitrah dan kodratnya. Yang tepat itu bukan kesetaraan tapi keserasian. Pria dan wanita secara fitrah dan kodrat berbeda, tidak setara secara biologis. Perbedaan itu tidak menghalangi yang satu melebihi yang lain. Namun, saling melengkapi, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Sehingga lebih indah jika kita sebut keserasian. Konsep keserasian tidak menyamaratakan tapi saling mengisi kelebihan dan kekurangan. Jadi, kenapa harus menjadi feminis untuk mencari keadilan wanita jika dalam konsep Islam telah jelas diterangkan? Apalagi sampai merombak syari’ah dan ayat-ayat al-Qur’an. Konsep equality bukan solusi, akan tetapi kita dapat menafsirkan itu sebagai proyek hegemonik penguasaan Barat terhadap dunia global, bukan semata-mata mencarikan wanita keadilan dan kemulyaan. []
DAFTAR PUSTAKA
Abul A’la al-Maududi, Al-Hijab,(Bandung: Gema Risalah Press, 1995)
Adian Husaini,Wajah Peradaban Barat,(Jakarta: Gema Insani Press, 2005)
Andayani dkk, Pengarusutamaan Gender dalam Kurikulum IAIN,(Yogyakarta: PSW UIN Sunan Kalijaga, 2004)
Gadis Arivia, Pembongkaran Wacana Seksis Filsafat Menuju Filsafat Berpsektif Feminis, Disertasi (Depok: Universitas Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, 2002)
Henry Shalahuddin, Menimbang Paham Kesetaraan Gender: Konsep dan Latar Belakang Sejarah, makalah dipresentasikan pada acara Training of Trainer pada 15/02/2012 di INSIST Jakarta
Jurnal Islamia Vol. III No. 5 thn 2010
Nazaruddin Umar, Argumentasi Kesetaraan Jender: Perspektif al-Qur’an,(Jakarta: Paramadina, 2001)
Pamela Sue Anderson, A Feminist Philosophy of Religion: The Rationality and Mysths of Religious Belief, (Oxford: Blackwell Publishers UK, tanpa tahun)
Penafsiran al-Kitab dalam Gereja: Komisi Kitab Suci Kepausan terj. Indra Sanjaya, (Yogyakarta: Kanisius)
Philip J Adler,World Civilization,(Belmont: Wasworth, 200)
Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda?(Bandung: Mizan, 1999), hal. 11
Siti Mudah Mulia, Gender Dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Kementrian Pemberdaayaan Perempauan, 2007)
Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran,(Jakarta: Gema Insani Press, 2008)
Tim PSW UIN Sunan Kalijaga, Isu-Isu Gender dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah,(Yogyakarta: PSW UIN Sunan Kalijaga,2004), hal. 42-43
[1] Pamela Sue Anderson,A Feminist Philosophy of Religion: The Rationality and Mysths of Religious Belief, (Oxford: Blackwell Publishers UK), hal. 6
[2] Gadis Arivia,Pembongkaran Wacana Seksis Filsafat Menuju Filsafat Berpsektif Feminis, Disertasi (Depok: Universitas Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, 2002), hal. 95
[3] Abul A’la al-Maududi, Al-Hijab,(Bandung: Gema Risalah Press, 1995), hal. 52
[4] Henry Shalahuddin,Menimbang Paham Kesetaraan Gender:Konsep dan Latar Belakang Sejarah,makalah dipresentasikan pada acara Training of Trainer pada 15/02/2012 di INSIST Jakarta
[5] Penafsiran al-Kitab dalam Gereja: Komisi Kitab Suci Kepausan terj. Indra Sanjaya, (Yogyakarta: Kanisius), hal. 86-90
[6] Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran,(Jakarta: Gema Insani Press, 2008), hal. 106
[7] Henry Shalahuddin,Menimbang Paham Kesetaraan Gender:Konsep dan Latar Belakang Sejarah, … hal. 9
[8] Philip J Adler,World Civilization,(Belmont: Wasworth, 200), hal. 289 dalam Adian Husaini,Kesetaraan Gender:Konsep dan Dampaknya terhadap Islam, Jurnal Islamia Vol. III No. 5 thn 2010
[9] Ibid,…hal. 10
[10] Syamsuddin Arif,Orientalis dan Diabolisme Pemikiran….hal.
[11] Ibid,..hal. 108
[12] Ratna Megawangi,Membiarkan Berbeda?(Bandung: Mizan, 1999), hal. 11
[13] Jurnal Islamia Vol. III No. 5 tahun 2010, hal. 33
[14] Siti Mudah Mulia, Gender Dalam Perspektif Islam,(Jakarta: Kementrian Pemberdaayaan Perempauan, 2007). Lihat juga penjelasan tentang laporan majalah the Economist yang berjudul Let them wed yang mengimbau agar kaum gay dan lesi diberi hak untuk melakukan perkawinan. Alasannya sederhana, mengapa orang yang mau melakukan tindakan yang tidak merugikan orang lain sedikipun dilarang? Baca, Adian Husaini,Wajah Peradaban Barat,(Jakarta: Gema Insani Press, 2005), hal. 10
[15] Isu-Isu Gender dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah,(Yogyakarta: PSW UIN Sunan Kalijaga,2004), hal. 42-43
[16] Andayani dkk, Pengarusutamaan Gender dalam Kurikulum IAIN,(Yogyakarta: PSW UIN Sunan Kalijaga, 2004)
[17] Nazaruddin Umar, Argumentasi Kesetaraan Jender: Perspektif al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 2001), hal. 266