Resolusi Jihad Mengawal Kemerdekaan

Kartika Pemilia Lestari*

Inpasonline.com, 18/08/11

Pada tanggal 17 Agustus 2011, sebuah SMS masuk ke inbox HP saya, “bambu runcing mengalahkan senjata? Indonesia berhutang satu kalimat kepada Islam : pekik ALLOHU AKBAR  yang diteriakkan oleh para pejuang bangsa ini”. Lama saya berpikir, kemudian teringat pada penjelasan seorang ustadz dalam sebuah ta’lim rutin mengenai sejarah bangsa yang kemarin genap merayakan 66 tahun kemerdekaannya ini. “Jika saat itu para ulama dan santri tidak turun ke medan perang 10 November 1945, negara kita akan kembali terjajah. Pekikan Takbir dan lantunan wiridan dari para kyai mewarnai medan perang. Tapi tidak banyak yang tahu tentang fakta penting ini”.

Merah putih kemerdekaan baru saja dikecap oleh bangsa Indonesia. Namun hanya berselang 3 bulan setelah Indonesia resmi berdiri sebagai sebuah nation-state (negara-bangsa) bernama RI (Republik Indonesia), tentara NICA (Netherlands Indies Civil Administration) yang membonceng tentara Inggris ingin mendekonstruksi kedaulatan RI. Pada 25 Oktober 1945 Surabaya dalam kondisi siaga satu karena tentara Inggris tiba di Pelabuhan Tanjung Perak. Pasukan berkekuatan 6.000 tentara tersebut dipimpin oleh “jagoan Perang Dunia II”, Brigadir Jenderal Mallaby, panglima brigade ke-49. Namun di medan jihad 10 November 1945, Alloh SWT memberi kematian tragis dan memalukan pada Brigadir Jenderal Mallaby. “Jagoan Perang Dunia II” yang untouchable itu berhasil dibunuh oleh para pejuang yang saat itu tengah bergelora menyambut turunnya Resolusi Jihad. Sebuah hal yang mencengangkan pasukan NICA dan Inggris; Brigadir Jenderal Mallaby yang bisa lolos dari maut di Perang Dunia II yang dahsyat itu nyatanya mampu dihabisi oleh pasukan yang baru belajar memegang senjata.

Informasi kedatangan NICA segera ditindaklanjuti oleh Sukarno. Seorang  utusan dikirim untuk menghadap Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari di Pesantren Tebuireng, Jombang. Intinya, Sukarno ingin meminta dukungan politik sekaligus militer kepada Mbah Hasyim – panggilan kyai Hasyim Asy’ari. Sebagai seorang politisi ulung, Sukarno paham betul bahwa umat Islam – wa bil khusus kyai serta santrinya – merupakan kekuatan terbesar revolusi di republik ini.

Sekadar menyegarkan ingatan, sejak kolonialis datang ke tanah air, para ulama serta santrinya adalah stake holder yang paling keras melakukan perlawanan terhadap kolonial. Perang Diponegoro (1825-1830) yang dikompradori oleh para santri (Pangeran Diponegoro, Sentot Ali Basa, Kyai Mojo) berhasil meluluhlantakkan anggaran keuangan negeri Hindia Belanda hingga kas Belanda nyaris bangkrut, dan merupakan perang terbesar dalam sejarah Hindia Belanda. Data yang dihimpun oleh Ir. Arif Wibowo dalam tulisannya Diponegoro : Pangeran Santri Penegak Syari’at menyebutkan bahwa Peter Carey dalam ceramahnya berjudul Kaum Santri dan Perang Jawa pada rombongan dosen IAIN pada tanggal 10 April 1979 di Universitas Oxford Inggris menyatakan keheranannya karena cukup banyak kyai dan santri yang menolong Diponegoro. Dalam naskah Jawa dan Belanda, Carey menemukan 108 kyai, 31 haji, 15 Syeikh, 12 penghulu yogyakarta dan 4 kyai guru yang turut berperang bersama Pangeran Diponegoro, yang nasabnya bersambung ke Sunan Ampel.

Maka, menjadi konsekuensi logis jika pengalaman sejarah republik ini senantiasa memberikan sinyal kuat bahwa kekuatan basis massa pesantren tidak bisa diabaikan dalam perjuangan kemerdekaan maupun dalam menggapai cita-cita politik. Dalam situasi genting menjelang kedatangan NICA, Mbah Hasyim yang memiliki basis massa santri di Jawa dan Madura rupanya tidak kalah cepat tanggap dari Sukarno. Sebelumnya beliau sudah mengeluarkan fatwa jihad. Setelah mengadakan pertemuan dengan para kyai; yakni KH. Wahab Chasbullah, KH. Bisri Syamsuri, dan kyai-kyai lain, maka pada 22 Oktober 1945, Mbah Hasyim atas nama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama mendeklarasikan seruan jihad fi sabilillah, yang kemudian dikenal dengan Resolusi Jihad. Adapun resolusi yang diputuskan dalam rapat para konsul NU se-Jawa itu berbunyi:

 

Resolusi Jihad-1

Resoloesi N.U. Tentang Djihad fi Sabilillah

Bismillahirrochmanir Rochim

Resoloesi:
Rapat besar wakil-wakil Daerah (Konsul 2) Perhimpoenan Nahdlatoel Oelama seluruh Djawa-Madura pada tanggal 21-22 Oktober 1945 di Surabaja.
Mendengar:
Bahwa di tiap2 Daerah di seluruh Djawa-Madura ternyata betapa besarnya hasrat
Ummat Islam dan Alim Oelama di tempatnya masing 2 untuk mempertahankan dan
menegakkan AGAMA, KEDAULATAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA MERDEKA.
Menimbang:
a. bahwa untuk mempertahankan dan menegakkan Negara Republik Indonesia menurut hukum agama Islam, termasuk sebagai kewajiban bagi tiap 2 orang Islam.
b. bahwa di Indonesia mi warga Negaranya adalah sebagian besar terdiri dan Umat Islam.

Mengingat:
a. bahwa oleh pihak Belanda (NICA) dan Djepang yang datang dan berada disini telah banyak sekali didjalankan kedjahatan dan kekedjaman jang mengganggu ketentraman umum.

b. bahwa semua jang dilakukan oleh mereka itu dengan maksud melanggar Kedaulatan Negara Republik Indonesia dan Agama, dan ingin kembali mendjadjah disini maka dibeberapa tempat telah terdjadi pertempuran jang mengorbankan beberapa banyak jiwa manusia.

c. bahwa pertempuran 2 itu sebagian besar telah dilakukan oleh Ummat Islam jang merasa wajib menurut Agamanya untuk mempertahankan Kemerdekaan Negara dan Agamanya.

d. bahwa didalam menghadapi sekalian kedjadian 2 itu perlu mendapat perintah dan tuntunan jang njata dari Pemerintah Republik Indonesia jang sesuai dengan kedjadian 2 tersebut.

Memutuskan:
1. memohon dengan sangat kepada Pemerintah Republik Indonesia supaja menentukan suatu sikap dan tindakan jang njata serta sepadan terhadap usaha usaha jang akan membahajakan Kemerdekaan dan Agama dan Negara Indonesia terutama terhadap fihak Belanda dan kaki—tangannya.

2. supaja memerintahkan melandjutkan perjuangan bersifat “sabilillah” untuk tegaknya Negara Republik Indonesia Merdeka dan Agama Islam.

Surabaja, 22-10-1945

HB. NAHDLATOEL OELAMA

Resolusi Djihad-II
NADLATOEL OELAMA
“R E S 0 B L U S 1”


MOEKTAMAR NAHDLATOEL ‘OELAMA’ ke-XVI jadi diadakan di POERWOKERTO moelai
malam hari Rebo 23 hingga malam Sabtoe Rb. ‘oetsani 1365, bertepatan dengan 26 hingga 29 Maret 1946.

Mendengar:
Keterangan2 tentang soesana genting jang melipoeti Indonesia sekarang, disebabkan datangja kembali kaoem pendjadjah, dengan dibantoe oleh kakitanganja jang menjeloendoep ke dalam masjarakat Indonesia:
Mengingat:

a. bahwa Indonesia adalah negeri Islam

b. bahwa Oemmat Islam dimasa laloe telah tjoekoep menderita kedjahatan dan kezholiman kaoem pendjadjah;

Menimbang:
a. bahwa mereka (Kaoem Pendjajah) telah mendjalankan kekedjaman, kedjahatan dan kezholiman dibeberpa daerah daripada Indonesia.

b. bahwa mereka telah mendjalankan mobilisasi (Pengerahan tenaga peperangan) oemoem, goena memeperkosa kedaoelatan Repoeblik Indonesia;
Berpendapatan:
Bahwa oentoek menolak bahaja pendjadjahan itoe tidak moengkin dengan djalan pembitjaraan sadja;

1. Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe ‘ain (yang harus dikerdjakan oleh tiap2 orang Islam, laki2, perempoean, anak2, bersendjata atau tidak (bagi orang jang berada dalam djarak lingkaran 94 Km. Dan tempat masoek kedoedoekan moesoeh).

2. Bagi orang2 jadi berada diluar djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu fordloe kifayah (yang tjoekoep, kalau dikerdjakan sebagian sadja).

3. Apa bisa kekoeatan dalam No. I beloem dapat mengalahkan moesoeh, maka orang2 jang berada diloar djarak lingkaran 94 Km. Wadjib berperang djoega membantoe No. 1, sehingga moesoeh kalah.

4. Kaki tangan moesoeh adalah pemetjah kegoelatan teqad dan kehendak ra’jat, dan haroes dibinasakan menoeroet hoekoem Islam sabda Chadits, riwajat Moeslim.
Resoeloesi mi disampaikan kepada:

1. P.J.M. Presiden Repoeblik Indonesia dengan perantaraan Delegasi
Moe’tamar.

2. Panglimatertinggi T.R.l.

3. M.T. Hizboellah

4. M.T. Sabilillah

5. Ra’jat Oemoem

Begitu Resolusi Jihad ini dideklarasikan, para kyai beserta ribuan santrinya memenuhi bumi jihad Surabaya. Butir-butir resolusi jihad itu menunjukkan bahwa kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 harus dipertahankan oleh seluruh rakyat Indonesia. Muh. Kholid A.S., redaktur pelaksana Majalah MATAN PW Muhammadiyah Jatim dalam opininya di harian Jawa Pos mengatakan, seturut dengan resolusi jihad itu, berbagai ulama meresistansi keinginan Belanda untuk kembali menjajah Indonesia. Di Jogjakarta, misalnya, Ketua PP Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo menegaskan perang kemerdekaan adalah jihad fi sabilillah. Siapa  saja yang belum pernah ikut berperang melawan penjajah dan bahkan hatinya tidak berhasrat, status munafik akan mengiringinya saat meninggal dunia.

Resolusi jihad mampu menyulap berbagai pesantren dari tempat pendidikan menjadi markas laskar Sabilillah dan Hizbullah untuk diberangkatkan ke Surabaya. Di antara alumnus dua laskar yang masyhur ikut bertempur di Surabaya adalah KH Munasir Ali, KH Yusuf Hasyim, KH Baidowi, KH Mukhlas Rowi, KH Sulanam Samsun, KH Amien, KH Anshory, dan KH Adnan Nur. Tidak lupa pula kyai Abbas dari Cirebon, kyai Maskur dan kyai Zainul Arifin turut angkat senjata. Adaby Darban, dosen sejarah UGM dan UMS dalam sebuah kuliahnya menjelaskan bahwa kedua laskar bentukan para kyai ini (Hizbullah dan Sabilillah) kemudian menjadi cikal-bakal terbentuknya Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Wallahu ‘alam bishshawwab

 

*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta serta Peneliti InPAS

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *