Sejumlah Soal
Syahid adalah orang yang menjumpai kematian saat berjihad. Sementara, jihad adalah amal shalih bernilai sangat tinggi dan mereka yang menemui syahid akan mendapat surga-Nya. Sayang, nyaris semua tulisan mereka senada, mengerdilkan makna jihad.
Makna jihad menjadi kerdil karena para penelaah itu mengambil contoh para pelaku radikalisme agama sebagai pelaku jihad, tanpa menyebut contoh konkrit siapa mereka. Maka, yang terasa adalah semacam pengadilan ‘in absentia’ terhadap ‘pelaku’ jihad. Tulisan mereka -rasanya- akan berbeda jika untuk si pelaku jihad mengambil contoh Soedirman atau Bung Tomo, misalnya.
Jihad adalah segala bentuk usaha / perjuangan yang dilakukan secara bersunguh-sungguh untuk menegakkan yang haq dan memberantas yang bathil. Termasuk ruang lingkup jihad adalah jihadunmali yaitu berjuang di jalan Allah dengan harta yang kita miliki. Ada pula jihad binnafsi yaitu berjuang secara fisik, yang bisa melalui perkataan, tulisan, dan kekuatan senjata.
Terutama dalam pengertian jihad binnafsi, jika kita jujur, negeri ini sangat berhutang budi pada jihad. Hampir di semua kisah perjuangan merebut kemerdekan, jihad menjadi energi utama. Pangeran Diponegoro, adalah sekadar menyebut satu contoh.
Maka, sangat tak beralasan jika jihad dimaknai secara dangkal. Misal, di JP 26/9/09 M. Syafi’I Anwar (MSA) tampak tak proporsional. Kata dia, secara umum, NU maupun Muhammadiyah sangat menekankan pendekatan dakwah yang inklusif dan moderat. Hal itu, lalu dia ’benturkan’ dengan kalangan lain yang dia golongkan sebagai eklusif dan fatalistik. Jika, perspektif yang dibangun seperti itu, bagaimana menjelaskan fenomena Resolusi Jihad NU? Di www.nu.or.id 22/10/2005 bisa kita baca bahwa pada 21-22 Oktober 1945, wakil-wakil dari cabang NU di seluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya. Dipimpin langsung oleh Rois Akbar NU Hadrotus Syekh KH. Hasyim Asy’ary dideklarasikanlah perang kemerdekaan sebagai perang suci alias jihad. Belakangan deklarasi ini populer dengan istilah Resolusi Jihad. Ada catatan, fatwa jihad itu lalu digelorakan Bung Tomo lewat radio: “Bismillah, Allahu-Akbar, Merdeka!” Eklusif dan fatalistikkah Bung Tomo?
Sementara, kata MSA, ”Muhammadiyah dikenal dengan usahanya dalam mengembangkan dakwah amar ma’ruf nahi munkar melalui ”teologi Al Ma’un” yang ditransformasikan melalui pemberdayaan umat, terutama kaum mustad’afin (kelompok dhuafa). Tafsir sosial dan teologi transformatif itulah yang menjauhkan warga Muhammadiyah dari fatalisme keagamaan dan mengimplementasikan makna jihad secara positif dan konstruktif dalam kerja-kerja kultural dan intelektual”.
Jika jihad versi Muhammadiyah –menurut MSA- hanya diimplementasikan secara positif-konstruktif dalam kerja-kerja kultural dan intelektual, bagaimana menjelaskan kegigihan Soedirman –salah satu kader terbaik Muhammadiyah- saat berkesempatan memimpin tentara nasional sebagai Panglima Besar? Sebab, dalam sejarah, energi jihad sangat memengaruhi seluruh riwayat perjuangannya. Termasuk dalam kerja-kerja kultural dan intelektual-kah aksi jihad Soedirman itu?
Siti Musdah Mulia (SMM) menulis “Berani Mengelola Hidup Bermakna” (JP 3/10/09). Bagi SMM isy kariman (hiduplah secara terhormat) perlu ditafsiri sebagai “Hidup penuh pengabdian tulus kepada Sang Pencipta kehidupan dengan jalan merawat kehidupan yang dianugerahkan-Nya”.
Atas pernyataan itu banyak yang akan setuju. Tapi, mengapa di bagian lain tulisannya dia menyebut bahwa “Manusia justru ditantang untuk lebih berani mengelola hidup daripada berani mati” tanpa penjelasan berani mati dalam konteks apa?
Mari perhatikan alur berpikir ini. Kita diminta berbekal takwa dalam menjalani hidup dan kehidupan. Jika takwa telah menjadi keseharian kita, maka itulah manusia paling mulia di sisi-Nya.
Takwa adalah usaha terus menerus untuk selalu melaksanakan semua perintah-Nya dan meninggalkan segenap larangan-Nya. Di antara ajaran-Nya, Allah mewajibkan orang beriman berdakwah beramar-ma’ruf dan bernahi-munkar. Perintah itu disampaikan-Nya dalam “satu tarikan nafas” dengan perintah shalat dan zakat (QS [9]: 71).
Mereka yang mengamalkan amar ma’ruf nahi munkar semata-mata untuk mengabdi kepada Tuhannya dan dengan begitu mereka berharap Islam sebagai rahmat bagi alam semesta dapat dirasakan oleh semua penghuni jagat ini tanpa kecuali, maka sesungguhnya mereka sedang berjihad.
Dengan pemahaman seperti itu, kita harus bernahi munkar atas berbagai kezaliman yang ada di sekitar kita. Ada penguasa zalim kita dakwahi untuk kembali ke jalan yang benar. Jihad yang paling utama adalah kalimat haq yang diucapkan kepada raja (penguasa) yang kejam/zalim (HR Abu Dawud dan Turmudzi).
Tidak sebagaimana amar ma’ruf, aktivitas nahi munkar beresiko. Misal, dibenci orang, dipenjara, bahkan dibunuh. Tetapi, bagi yang berakidah kuat, mati membela agama-Nya bukanlah sesuatu yang harus dihindari sebab yang dikerjakannya justru untuk terwujudnya kesejahteraan manusia pada umumnya. Jika demikian, mengapa ada yang menyindir mereka yang siap mati dalam bernahi-munkar (baca: berjihad) sebagai sikap orang takut hidup. Justru karena mereka ingin –meminjam istilah SMM- “mengelola hidup bermakna”, mereka berani berjihad dengan resiko mati jika keadaan mengharuskannya.
Ungkapan “Isy kariman au mut syahidan” (hidup mulia atau mati syahid di jalan-Nya) lahir dari cara pandang Islam. Bagi Islam, hidup akan lebih mulia dengan berjuang di Jalan Allah (dengan cara menjalankan segenap aturan-Nya) jika dibandingkan dengan hidup biasa-biasa saja tanpa tujuan dan tanpa makna.
Jangan Undang!
Jihad menyelamatkan kita dari azab Allah. Sebaliknya, kita terkategori mengundang azab jika kita meninggalkan jihad. Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya (QS [61]: 10-11).
Lihat saja ulasan Imam Qurthubi yang membenarkan bahwa jihad, usaha yang dibenci tapi itu baik bagi umat Islam. Mufassir dari Qordova ini menyaksikan sendiri kehancuran umat Islam di Andalusia yang meninggalkan jihad karena sifat pengecut, hingga musuh berhasil menguasai mereka. Banyak yang ditawan, dibunuh, dan harta mereka dirampas. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun (Jami’ Al-Akhkam 2/39).
Sungguh, jika kita abai terhadap aktivitas jihad yaitu beramar ma’ruf nahi munkar, sanksinya sangat berat. Yaitu, bencana / azab Allah akan turun jika di sekitar kita ada kemaksiatan/kemunkaran dan itu kita biarkan. Azab Allah tersebut bisa menimpa siapa saja, tak pandang bulu. Semua (seperti ulama, cendekiawan, pemimpin, bahkan termasuk rakyat awam) akan merasakan siksa-Nya. Sesungguhnya manusia, jika mereka melihat kemunkaran, sedangkan mereka tidak mengubahnya, maka datanglah saatnya Allah menjatuhkan siksa-Nya secara umum (HR Abu Dawud). []