Puasa; Ibadah dengan Titah Indah

Oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku ”Berdekat-dekat kepada Yang Maha Dekat” dan 12 judul lainnya

inpasonline.com – Ramadhan datang, alhamdulillah! Berpuasa di Ramadhan, nikmat, masya Allah! Oleh karena itu, sambut Bulan Suci Ramadhan sepenuh sukacita. Mengapa?

Perhatikan ayat berikut ini dengan saksama: ”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS Al-Baqarah [2]: 183).

Ayat di atas menunjukkan cara Allah dalam menyampaikan syariat puasa, yang menggugah sekaligus indah. Di ayat tersebut terlihat ada tiga poin penting yang menarik kita kaji. Pertama, pendekatan iman. Kedua, perspektif sejarah. Ketiga, pemberian motivasi.

Di awal, Allah kondisikan jiwa manusia dengan panggilan spesial: Duhai orang-orang beriman. Di tengah, Allah beri kewajiban puasa. Dalam firman-Nya, Allah serangkaikan kewajiban itu dengan mengajak kaum beriman untuk mengingat bahwa umat terdahulu juga telah mendapat kewajiban yang sama. Di akhir, Allah memberi motivasi. Bentuknya, menjanjikan kepada yang berpuasa akan menjadikan mereka sebagai insan takwa yaitu manusia paling mulia di hadapan Allah.

Hal Spesial

Mari kaji yang pertama, pendekatan iman. Di pembukaan QS Al-Baqarah [2]: 183 Allah menyeru orang-orang yang berkualifikasi beriman. Jelas, ini panggilan sayang. Maka, yang diseru akan memberi respons positif sebagai konsekwensi dari keimanannya.

Perhatikan ayat ini: ”Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan ’Kami mendengar dan kami patuh’. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS An-Nuur [24]: 51).

          Respons “Kami mendengar dan kami patuh’ mengungkapkan ekspresi kepatuhan yang tulus seorang hamba. Selanjutnya, jiwa kepatuhan itu akan membimbing si hamba untuk merasa ringan bahkan senang dalam melaksanakan kewajiban.

Terkait, mari cermati ungkapan salah satu Sahabat Nabi Muhammad Saw yaitu Abdullah bin Mas’ud Ra. Sang Sahabat, yang seorang ahli tafsir, mengatakan bahwa jika suatu ayat dimulai dengan panggilan kepada orang-orang yang beriman sebelum sampai ke akhirnya (yaitu ”pemberian kewajiban”), maka kita sudah tahu bahwa ayat tersebut akan mengandung suatu perihal yang penting ataupun larangan yang berat. Hal ini karena Tuhan Yang Maha Tahu telah memperhitungkan terlebih dahulu bahwa yang bersedia tunduk untuk melaksanakan perintah Tuhan itu hanya orang-orang yang beriman. Lihatlah, puasa adalah salah satu kewajiban yang dalam pelaksanaannya meminta kaum beriman untuk mengorbankan kesenangan diri dan kebiasaan tiap hari (Hamka, Tafsir Al-Azhar, 2007: 417).

Pelajaran Besar

Kaum beriman itu punya sikap yang kuat. Mereka tidak akan mudah berubah. Mereka akan tetap bersama Allah dan Rasul-Nya. Perhatikan ayat ini: ”Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” (QS Al-Ahzab [33]: 36)

Kaum beriman akan teguh mempertahankan keyakinannya. Untuk itu, apapun resikonya akan mereka hadapi. Apapun akibatnya, ringan atau berat, akan diterima dengan sepenuh kesadaran.

 Sungguh, landasan iman dalam merespons sesuatu akan memberikan kekuatan kepada jiwa. Lihatlah kisah para tukang sihir Fir’aun setelah kalah dari Musa As. Ada pelajaran penting di sana.

Sesudah para tukang sihir itu kalah dalam ”adu ilmu” dengan Nabi Musa As, mereka pun beriman. Melihat hal itu, Fir’aun mengancam mereka dengan hukuman sangat barat yaitu potong tangan dan kaki secara bersilang. Perhatikan ayat ini: ”Berkata Fir’aun: ’Apakah kamu telah beriman kepadanya (Musa) sebelum aku memberi izin kepadamu sekalian. Sesungguhnya ia adalah pemimpinmu yang mengajarkan sihir kepadamu sekalian. Maka sesungguhnya aku akan memotong tangan dan kaki kamu sekalian dengan bersilang secara bertimbal balik, dan sesungguhnya aku akan menyalib kamu sekalian pada pangkal pohon kurma dan sesungguhnya kamu akan mengetahui siapa di antara kita yang lebih pedih dan lebih kekal siksanya’.” (QS Thaahaa [20]: 71).

Ancaman Fir’aun itu ditanggapi secara argumentatif oleh mereka yang telah beriman. Mereka siap menerima segala resiko, sebagai bagian dari konsekwensi keimanan. Perhatikan ayat ini: ”Mereka berkata: ’Kami sekali-kali tidak akan mengutamakan kamu daripada bukti-bukti yang nyata (mukjizat), yang telah datang kepada kami dan dari Tuhan yang telah menciptakan kami; maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan. Sesungguhnya kamu hanya akan dapat memutuskan pada kehidupan di dunia ini saja’.” (QS Thaahaa [20]: 72).

Cermati dengan saksama respons kaum beriman di atas. Itu, adalah sebentuk jawaban yang tegas. Itu, sebuah jawaban yang terbit dari iman yang mantap.

          Simak juga lanjutan pernyataan iman yang kuat dari “mantan tim penyihir Fir’aun” di ayat ini: ”Sesungguhnya kami telah beriman kepada Tuhan kami, agar Dia mengampuni kesalahan-kesalahan kami dan sihir yang telah kamu paksakan kepada kami melakukannya. Dan Allah lebih baik (pahala-Nya) dan lebih kekal (azab-Nya).” (QS Thaahaa [20]: 73).

          Sekarang, yang kedua. Di bagian tengah QS Al-Baqarah [2]: 183 ada pendekatan sejarah. Perhatikan bagian ayat ini: ”Sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu”. Artinya, dahulu, puasa juga telah diwajibkan. Misalnya, Nabi Musa As berpuasa 40 hari.

Selanjutnya, yang ketiga. Di bagian akhir QS Al-Baqarah [2]: 183 ada pendekatan motivasi. Allah beri gambaran bahwa akan ada ”hasil akhir yang indah bagi orang yang berpuasa”. Perhatikan bagian ayat ini: ”Agar kamu bertakwa”. Tentu, hal tersebut bisa kita hubungkan dengan ayat berikut: ”Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu” (QS Al-Hujuraat [49]: 13). Juga, dapat kita hubungkan dengan sabda Nabi Saw ini: “Barangsiapa yang berpuasa karena iman dan mengharap pahala, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR Bukhari).

Kembali, Kembali!

Demikianlah, puasa adalah ibadah yang kewajibannya disampaikan secara indah. Terasa, perintah puasa agar menjadi ibadah kaum yang beriman bisa menggugah jiwa untuk melakukannya dengan rela dan rasa senang.

Mari sambut Bulan Suci Ramadhan dengan sepenuh rasa gembira. Mari tunaikan puasa Ramadhan dengan sepenuh sikap ikhlas sebagai kaum beriman. Semoga dengan cara itu, ketika nanti Idul Fitri tiba kita akan menjadi manusia yang kembali kepada fitrahnya. Aamiin, Yaa Allah. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *