Ainul Yaqin
(Sekretaris Umum MUI Jatim)
Inpasonline.com-Konflik antar pengikut agama-agama yang yang mewarnai sejarah peradaban manusia berujung pada munculnya pandangan yang menempatkan klaim kebenaran agama-agama sebagai biangnya. Adanya klaim kebenaran dari masing-masing agama dianggap sebagai ancaman bagi keberlangsungan kehidupan yang damai. Maka antitesisnya agar adqa kehidupan yang damai perlu ada pemikiran sebagai upaya untuk menundukkan klaim-kliam kebenaran yang dimiliki oleh agama-agama. Pemikiran inilah yang disebut dengan pluralisme agama dengan berbagai variannya.
John Hick dalam buku Problems of Religious Pluralism, mendefinisikan pluralisme agama sebagai suatu gagasan bahwa agama-agama besar dunia merupakan persepsi dan konsepsi yang berbeda tentang dan secara bertepatan merupakan respon yang beragam ter-hadap Yang real atau Yang Maha Agung dalam pranata kultural manusia yang bervariasi (lih. John Hick, Problems of Religious Pluralism, (Houndmills, Basingstoke: The Macmillan Press, 1985), page 36).
Dalam tulisan lainya yang dimuat dalam The Encyclopedia of Religion John Hick menjelaskan, secara filosofis terminologi pluralisme agama merujuk pada suatu teori hubungan antara agama-agama dengan segala perbedan dan pertentangan klaim-klaim mereka. Pluralisme agama menerima posisi yang lebih radikal yang diaplikasikan oleh inklisivisme; yaitu suatu pandangan bahwa agama-agama besar mewujudkan persepsi dan konsepsi yang berbeda-beda tentang, dan secara bersama memiliki respon yang berbeda terhadap The Real (Yang Ada) atau The Ultimate, dan bahwa di dalam masing-masing agama itu sendiri secara terpisah merupakan trasnsformasi eksistensi manusia dari pemusatan diri menuju pemusatan realitas sedang terjadi. Dengan demikian tradisi agama–agama besar dianggap sebagai tempat alternatif menuju zat Yang Wujud di mana manusia dapat menemukan keselamatan, pembebasan, dan pemenuhan (dikutip dari: Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, (Jakarta: Gema Insani, 2005), hlm. 334-335).
Teori pluralisme agama menempatkan agama-agama pada posisi yang setara. Sebagaimana dikatakan oleh Josh McDowell, seorang tokoh penginjil berkebangsaan Amerika yang menentang gagasan pluralisme agama menuliskan: “religious pluralism teaches that multiple religions, often contradicting religions are equally true” (pluralisme agama mengajarkan bahwa agama-agama yang banyak, yang sering kontradiksi adalah sama benarnya) (lih. Josh McDowell, O God: A Dialogue on Truth and Oprah’s Spirituality, (Los Angeles: WorlNetDaily, 2009), page 39)
Para penganjur faham pluralisme agama menolak adanya klaim kebenaran yang dilakukan oleh agama-agama. Dalam pandangan mereka ajaran agama mempersepsikan Tuhan analog dengan beberapa orang buta mempersepsikan gajah. Zat Tuhan yang terlampau transendental dipersepsikan secara parsial oleh ajaran dari agama-agama. Teori persepsi ini juga melahirkan pandangan bahwasanya kebenaran Tuhan adalah kebenaran besar yang merupakan kebenaran sesungguhnya yang tidak bisa ditangkap secara utuh oleh manusia. Sedangkan kebenaran masing-masing agama adalah kebenaran kecil yang sifatnya relatif yaitu bagian dari kebenaran Tuhan yang bisa ditangkap oleh manusia. Pluralisme menghilangkan watak dari ajaran agama yang eksklusif karena kebenaran agama-agama dianggap sama.
Newbigin dalam tulisannya menyampaikan, perbedaan-perbedaan antar agama-agama bukan masalah kebenaran dan ketidakbenaran, tetapi perbedaan persepsi tentang suatu kebenaran. Maka kata Newbigin, berbicara tentang kepercayaan-kepercayaan agama sebagai benar atau salah adalah tidak dapat diperkenankan (lih. Lesslie Newbigin, Injil Dalam Masyarakat Majemuk, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), hlm. 20).
Diana L. Eck, pakar pluralisme dalam tulisannya berjudul: “What is Pluralism? menjelaskan bahwa pluralism is not diversity alone but the energetic engagement with diversity (pluralisme bukanlah keberagaman saja, tetapi merupakan sikap yang terlibat secara energik dengan keanekaragaman). Dia juga mengatakan bahwa, pluralism is not just tolerance, but the active seeking of understanding across lines of difference (pluralisme bukan hanya sekedar toleransi, tapi sikap aktif saling mencari pemahaman terhadap lintas perbedaan) (Diana L. Eck; 2006, What is Pluralism?, http://pluralism. org /what-is-pluralism/ diakses 2 Desember 2017).
. Memang seperti kata Diana L. Eck dalam tulisannya itu pula, The new paradigm of pluralism does not require us to leave our identities (paradigma baru pluralisme tidak mengha-ruskan untuk meninggalkan identitas kita). Pluralisme tidak merusak praktik ajaran agama yang menjadi ciri masing-masing. Tetapi klaim sebagai yang paling benar inilah yang ditolak oleh penganjur pluralisme. Dengan demikian substansi pluralisme adalah penolakan terhadap klaim kebenaran ini. Dengan kata lain pluralisme memberikan penegasan bahwa kebenaran tidak tunggal dan bisa jadi milik agama dan kepercayaan mana saja. Agama-agama dengan berbagai ajaran kepercayaan di dalamnya adalah setara dan sama benarnya dalam tinjauan faham pluralisme agama.
Pemikiran pluralisme dengan segala variannya tampaknya oleh sebagian orang dielu-elikan sebagai solusi yang menggiurkan menyikapi kondisi keragaman yang ada di Indonesia. Menurut mereka, Indonesia yang memiliki semboyan bhinneka tunggal ika sangatlah tepat mengambil gagasan pluralisme sebagai model. Secara pragmatis gagasan pluralisme agama telah diadopsi sebagai proyek membangun kesatuan bangsa dalam kemajemukan agama-agama. Pluralisme agama yang semula adalah faham dan pemikiran, telah bergeser menjadi proyek dan gerakan untuk menyemarakkan faham tersebut.
Tampaknya proyek dan gerakan pluralisme ini yang bisa menjelaskan terhadap fenomena yang terjadi akhir-akhir ini. Hari-hari ini orang banyak dikejutkan dengan kejadian yang viral di media sosial, sejumlah anak mengenakan pakaian identitas keislaman membacakan puisi yang nuansanya sangat kental dengan pembenaran atas agama-agama. “Muhammadku, Yesusmu, Krisnamu, Buddhamu, Konfuciusmu, mereka semua guru-guruku,yang mengajarku tentang keluasan dunia, dan cinta”, itulah beberapa penggal dari bait puisi yang dibacakan anak-anak ini, yang konon digubah oleh Ulil Abshar. Tak kurang Prof Dr H Rochmat Wahab, mantan Ketua PWNU DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta), yang merasa prihatin dan geram dengan kejadian ini (https://duta.co). Puisi itu seolah-olah menegaskan kembali yang pernah dikatakan Ulil, “agama adalah baju, perbedaan agama adalah perbedaan baju”. Jika Ulil berkata-kata dalam tulisannya adalah sedang menawarkan pemikiran dan pandangannya, namun ketika anak-anak yang polos itu dilibatkan dalam pembacaan puisinya itu, merupakan sebuah aksi dan gerakan yang mencerminkan sebuah proyek.
Fenomena lain yang mencerminkan adanya proyek dan gerakan pluralisme agama ini dapat dicermati dari adanya praktik pengucapan salam lintas agama. Dalam lima tahun terakhir ini seolah-olah menjadi trend, pada acara-acara resmi atau di forum-forum publik, seseorang harus memulai dengan sederet ucapan-ucapan pembuka yang dimiliki oleh agama-agama. Problem benturan teologis dari masing-masing redaksi salam tak dianggap masalah bahkan pikiran-pikiran yang ingin mempermasalahkan cenderung ingin disisihkan. Bisa difahami ketika Majelis Ulama Indonesia provinsi Jawa Timur menyampaikan taushiyah agar umat Islam mengindari praktik pengucapan salam berderet-deret seperti itu, MUI menghadapi penentang yang luar biasa. Bahkan ada yang sampai terlalu lebay menanggapinya. “MUI pindah saja ke Arab”, kata politisi PSI, M. Guntur Romli (Suara.com 12/11/2019). “Bubarkan saja MUI”, kata Nuril Arifin yang diviralkan di media sosial.
Penjelasan MUI dalam Taushiyahnya, bahwa dalam makna redaksi kalimat pembuka dari masing-masing agama ada benturan makna secara teologis, tidak digubris. Padahal sebagaimana bisa dicermati, misalnya ungkapan yang dimiliki oleh umat Budha, Namo Buddhaya. Ungkapan ini artinya adalah, terpuji Sang Buddha, atau kami memuji Sang Buddha. Akan tampak masalahnya jika ungkapan ini dibandingkan dengan kalimat thayyibah yang biasa diucapkan oleh seorang muslim, “Alhamdulillah (segala puji bagi Allah)”, atau “Nahmadullah (kami memuji kepada Allah)”. Bahkan dalam pembukaan khutbah pun pujian itu disampaikan kepada Allah, nahmaduhu, wa nasta’iinuhu. Kepada Nabi Muhammad saja tidak menyampaikan “nahmadu Muhammad”, tetapi shalawat dan salam yang disampaikan. Anehlah jika justru yang disampaikan adalah pujian pada sang Buddha.
Demikian pula ungkapan yang dimiliki oleh umat Hindhu, “Om Swastiastu”. Dalam keyakinan umat Hindhu, “Om” adalah aksara suci untuk Sang Hyang Widhi. Dalam Bhagawad Gita, ungkapan ‘Om” berarti seruan untuk memanjatkan do’a kepada Sang Hyang Widhi. Dengan demikian uangkapan “Om Swastiastu” kurang lebih artinya “Semoga ada dalam keadaan baik atas karunia Sang Hyang Widhi”. Ungkapan seperti ini apabila diucapkan oleh seorang muslim secara lahiriyah jelas bermasalah.
Tapi itulah yang terjadi, proyek pluralisme telah menjadi gerakan. Ada banyak contoh lain, misalnya bisa disaksikan fenomena pembacaan shalawat Nabi Muhammad Saw di gereja. Juga ada orkestra yang dilaksanakan di gereja ternyata yang dijadikan nyanyian adalah ayat-ayat al-Qur’an yang sempat viral. Seorang penyanyi non muslim yang barusan meninggal, sempat dielu-elukan karena melantunkan shalawat Nabi. Bagi umat Islam perlulah mencermatinya secara kritis hal-hal seperti ini. Bukahkah dulu Nabi Muhammad Saw juga pernah ditawari seperti ini. Maka kita jangan lupa pesan Allah Swt, lakum diinukum wa lia diin.