Dr Adi Setia: Islamisasi Ilmu, Mengapa Tidak?

Dr Adi Setia Mohammad Dom

Sejak dekade 1980-an, istilah islamisasi sains (mengislamkan ilmu pengetahuan) mulai populer di negara-negara Islam. Namun, karena pengembangan konsepnya yang keliru, istilah tersebut akhirnya kurang bergema, bahkan terkesan mandek. Akibatnya, sebagian orang menjadi apriori dengan istilah tersebut.

 “Ini tidak boleh terjadi. Karena islamisasi sains adalah solusi kunci dari problematika keilmuan yang dihadapi umat Islam saat ini,” terang Dr Adi Setia Mohammad Dom, dosen sains pada Islamic International University Malaysia (IIUM).

Kaum Muslim, menurut pria kelahiran Kuala Lumpur, Malaysia, 13 September 1962, ini harus sadar bahwa hegemoni peradaban Barat yang didominasi oleh pandangan hidup saintifik (scientific worldview) telah membawa dampak negatif terhadap peradaban Islam, khususnya dalam bidang epistemology (paham tentang ilmu).

Kehidupan Barat yang bercirikan sekuler telah menjadikan sains (ilmu pengetahuan) sebagai satu-satunya pengetahuan yang bersifat otentik. Sayangnya, ilmu pengetahuan hanya dikaitkan dengan fenomena semata. Kriteria untuk mengukur sebuah kebenaran juga hanya berpatokan pada rasio. “Pandangan ini tidak sesuai dengan epistimologi Islam,” terang alumni Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) Kuala Lumpur ini.

Menurut Adi, pandangan seperti itu muncul karena sains Barat tidak dibangun di atas wahyu. Ia dibangun di atas budaya yang diperkuat oleh spekulasi filosofis kehidupan sekuler yang memusatkan manusia sebagai makhluk rasional. Akibatnya, ilmu pengetahuan, nilai-nilai etika dan moral, yang diatur oleh rasio manusia, terus menerus berubah.

Kelahiran ilmu dalam Islam, menurut Adi yang juga redaktur Journal Islam and Science yang terbit di Kanada ini, didahului oleh tradisi intelektual yang tak lepas dari lahirnya pandangan hidup Islam yang bersumber dari al-Qur`an dan penjelasannya dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW).

Berdasar inilah, jelas Adi mengutip pendapat gurunya, Syaikh Muhammad Naquib al-Attas, sains dalam Islam menempatkan wahyu sebagai sumber ilmu untuk alat ukur sebuah kebenaran akhir. Wahyu menjadi dasar bagi kerangka metafisis untuk mengupas filsafat sains sebagai sebuah sistem yang menggambarkan realitas dan kebenaran dari sudat pandang rasionalisme dan empirisisme.

Realitas dan kebenaran dalam Islam bukan semata-mata pikiran tentang alam fisik dan keterlibatan manusia dalam sejarah, sosial, politik, dan budaya, sebagaimana yang ada di dalam konsep Barat. Namun, ia dimaknai berdasarkan kajian metafisika terhadap dunia yang tampak dan tidak tampak.

“Jadi, pandangan hidup Islam mencakup dunia dan akhirat. Aspek dunia itu harus dihubungkan dengan cara yang sangat mendalam kepada aspek akhirat, dan aspek akhirat memiliki signifikansi yang terakhir dan final,” jelasnya mantap.

Sains Barat yang berkembang sekarang ini hanya dibangun melalui proses berfikir ilmiah yang tunduk kepada dogma rasional, empiris, dan objektivitas, dengan menafikan wahyu. Karenanya, kebenaran yang dihasilkan bersifat nisbi (relatif) karena berdasar ra`yu (pendapat akal murni) manusia. Sementara manusia merupakan entitas yang tidak sempurna.

Kepada wartawan majalah Suara Hidayatullah beberapa bulan lalu,  Adi bercerita banyak tentang pemikiran dan pandangannya tentang islamisasi ilmu, peradaban Islam, khusunya berkaitan dengan peradaban Melayu dan lain-lain.

Perbincangan dilakukan belum lama ini dalam beberapa tahap. Pertama di kantor INSITS, Kuala Lumpur, Malaysia. Kedua, di rumahnya, juga di Kuala Lumpur.

Mengapa islamisasi sains itu perlu?

Sebab, saat ini telah terjadi westernisasi (pembaratan) ilmu pengetahuan oleh Barat. Sedang epistimologi yang dibangun oleh konsep ilmu ini sangat merugikan Islam dan kaum muslimin. Westernisasi ilmu itu telah melenyapkan wahyu sebagai sumber ilmu. Ia juga memisahkan hubungan antara keduanya.

Apa dampak pemisahan wahyu dengan ilmu?

Bila wahyu dipisahkan dari ilmu maka akan lahir paham dan pemikiran seperti rasionalisme, humanisme, eksistensialisme, marxisme, liberalisme, skeptisisme, relatifisme, atheisme, dan lain-lain. Paham-paham ini jelas tidak sesuai dengan agama kita.

Ironisnya, ia bisa mempengaruhi berbagai disipilin ilmu seperti filsafat, ekonomi, bahkan teologi yang mau tidak mau menjadi rujukan dunia pendidikan, termasuk di dunia Islam. Ini kan berbahaya.

Apa maksudnya berbahaya?

Sains Barat itu dibangun dari pengalaman mereka sendiri, bukan melalui wahyu. Ia bisa dijadikan alat yang sangat halus untuk menyebarluaskan cara pandang hidup mereka.

Oleh sebab itu ilmu pengetahuan modern Barat tidak netral. Ia telah terinfeksi oleh praduga-praduga agama, budaya, dan filosofis, yang berasal dari refleksi kesadaran dan pengalaman mereka. Karenanya, sains Barat tidak harus diterapkan di dunia Muslim. Ilmu itu sendiri kan tidak bebas-nilai (value-free), tetapi sarat nilai (value laden).

Apa semua ilmu dari Barat harus ditolak?

Tidak juga. Karena antara Islam dengan filsafat dan sains modern, sebagaimana dijelaskan al-Attas (Syaikh Muhammad Naquib al-Attas), terdapat persamaan, khususnya menyangkut sumber dan metode ilmu, kesatuan cara mengetahui secara nalar dan empiris, kombinasi realisme, idealisme, dan pragmatisme sebagai pondasi kognitif bagi filsafat sains; proses dan filsafat sains.

Namun di luar itu terdapat sejumlah perbedaan mendasar dalam pandangan hidup mengenai realitas akhir. Kebenaran realitas akhir dalam Islam sangat jelas. Sedang dalam pandangan hidup Barat bisa berubah sewaktu-waktu tegantung fenomena yang ditangkapnya.

Lalu bagaimana sikap kita terhadap ilmu yang dikembangkan Barat?

Secara mendasar, Barat merupakan tantangan dan rival terberat bagi Islam dalam konteks keilmuan. Karena Barat-lah yang mengganti ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) yang universal menjadi sempit dan parsial.

Tapi kemudian yang sempit dan parsial ini dipaksakan menguasai yang komplit dan universal. Akibatnya, banyak kesalahan dan kekurangan yang selalu mengancam eksistensi peradaban umat manusia.

Oleh karena itu, hendaknya kaum Muslimin mengembalikan sains itu sebagaimana mestinya, di tempat dan posisi yang benar, sebagaimana Islam telah menempatkannya.

Bagaimana pandangan Islam tentang ilmu?

Dalam Islam, wahyu dijadikan sebagai sumber ilmu terkait dengan realitas dan kebenaran akhir. Wahyu merupakan dasar kerangka metafisis untuk mengupas filsafat sains sebagai sebuah sistem yang menggambarkan realitas dan kebenaran dari sudat pandang rasionalisme dan empirisisme.

Sains dalam Islam sifatnya menyeluruh dan holistik. Ia berisi ‘perkara yang tetap’ seperti pegangan tauhid dan ‘perkara yang boleh berubah’ seperti aspek ijtihad.

Apa yang dimaksud holistik?

Pandangan hidup Islam tidak mengenal metode dikotomis seperti obyektif dan subyektif, historis dan normatif. Namun, realitas dan kebenaran dipahami dengan metode yang menyatukan (tauhid).

Pandangan hidup Islam bersumber kepada wahyu yang didukung oleh akal dan intuisi. Substansi agama seperti: nama, keimanan dan pengamalannya, ibadahnya, doktrinya, serta sistem teologinya, telah ada dalam wahyu dan dijelaskan oleh Nabi SAW.

Islam telah lengkap, sempurna, dan otentik. Islam tidak memerlukan progresivitas, perkembangan dan perubahan dalam hal-hal yang sudah sangat jelas.

Islam terdiri dari berbagai konsep yang saling terkait, seperti konsep Tuhan, wahyu, pencipatan, psikologi manusia, ilmu, agama, kebebasan, nilai, kebaikan, serta kebahagiaan.

Dari keterangan Anda tadi, islamisasi ilmu itu sudah menjadi keharusan dalam dunia Islam. Lalu bagaimana caranya?

Mengislamkan ilmu bukanlah pekerjaan mudah seperti labelisasi. Apalagi tidak semua ilmu dari Barat mesti ditolak. Ada beberapa yang cocok dengan Islam. Oleh sebab itu, seseorang yang hendak mengislamkan ilmu, harus mampu mengidentifikasi pandangan hidup Islam sekaligus budaya dan peradaban Barat. Setelah itu proses Islamisasi baru bisa dilakukan.

Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan sebagaimana yang dianjurkan oleh al-Attas. Pertama, mengisolir unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang membentuk budaya dan peradaban Barat dari setiap bidang ilmu pengetahuan modern saat ini, khususnya dalam ilmu pengetahuan humaniora.

Kedua, ilmu-ilmu alam, fisika dan aplikasi harus diislamkan, khususnya dalam penafsiran-penafsiran mengenai fakta-fakta dan formulasi teori-teori. Jika ia tidak sesuai dengan pandangan-hidup Islam, berarti fakta itu menjadi tidak benar. Epistemologi sudah berbeda.

Apa yang membedakan epistemologi Barat dan Islam?

Yang membedakannya adalah paham tentang kemampuan inderawi, otoritas, akal, dan intuisi. Perbedaan paham ini akhirnya menjadi titik tolak keyakinan wujud masing-masing. Bagi kita wujud meliputi alam yang tampak dan yang tak tampak. Kedua alam ini bersepadu dalam genggaman al-Dzat al-Wajib al-Wujud. Manusia mampu mencapai ilmu sekadar kemampuannya tentang ketiga kategori wujudi ini.

Bagi saintis modern, wujud dibatasi pada alam yang tampak, yaitu fenomena. Karena itu ilmu manusia hanya mampu mencapai alam yang tampak. Sebab, itulah yang wujud.

Namun kini, pembatasan tersebut menimbulkan banyak masalah. Karena sains empiris sendiri sedang berhadapan dengan hakikat yang melampaui dan mengatasi alam yang tampak.

Mengapa bisa begitu?

Persoalan ini timbul ketika semakin mendalam penelitian tentang matter yang solid ternyata semakin tidak solid. Permasalahan yang agak rumit ini memaksa saintis Barat merombak ontologi (paham wujud), sekaligus epistimologi mereka, sehingga semakin hari semakin mirip dengan ontologi dan epistimologi keagamaan dan keruhanian.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *