Inpasonline.com-Pada Hari Ahad, 18 Januari 2015, Institute for the Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) bersama Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Sulawesi Selatan mengadakan sebuah diskusi ilmiah yang bertajuk “Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer” yang diselenggarakan di Aula Aksa Mahmud, Lantai 9 Universitas 45 Bosowa Makassar.
Acara ini dibuka oleh ketua MIUMI Sulawesi Selatan, Dr. Rahmat Abdurrahman, M.A., dan Rektor Universitas Bosowa 45 Makasar, Dr. Ir. H. Moh.Saleh Pallu, M. Eng.
Selaku key note speaker, Prof. Dr. Wan MohdNor Wan Daud, pendiri sekaligus Direktur CASIS (Center for Advanced Studies on Islam, Science andCivilisation), Universiti Teknologi Malaysia (UTM). Prof. Wan dalam ceramahnya mengapresiasi sosok Syaik Yusuf.
“Syekh Yusuf bukan hanya seorang ulama besar, tetapi dia juga merupakan sosok ilmuwan besar”, ujarnya.
Prof. Wan bercerita, saat diasingkan ke Cape Town, Syekh Yusuf selain tetap berdakwah sebagai seorang ulama, beliau juga merupakan seorang pembebas politik sekaligus sebagai seorang ilmuwan.
“Olehkarena itu, manuskrip tentang Syekh Yusuf itu penting”, lanjutnya.
Wan Daud, mengungkapkan hal ini karena sejarah menurutnya penting untuk melihat kembali kegemilangan Islam di zaman dulu. Tapi yang mesti digaris bawahi, proses islamisasi itu tidak harus eksklusif dan bersifat nostalgia, tetapi justru mengambil segala kebaikan saintifik.
“Islam tidak harus dicurigai, inklusif dan berprinsip”, imbuhnya.
Adapun prinsip yang dimaksud adalah menerima apa saja, tetapi tidak melewati batas-batas worldviewnya, yaitu batas-batas syariah, adab, akhlak dan akidah.
Lebih lanjut, Wan Daud menjelaskan bahwa bagian terpenting dalam Islamisasi pengetahuan adalah dengan menjelaskan kata-kata kunci dalam worldview, atau dalam bahasa Melayu disebut sebagai pandangan alam.
Wan Daud menyatakan, Islamisasi bukan hanya melahirkan teks-teks atau prosiding semata, tetapi Islamisasi harus melahirkan manusia yang mulia sebaga itu juan akhirnya.
Sementara itu diskusi ilmiah dibawakan oleh associate professor dari UTM, Dr. Syamsuddin Arif. Pria kelahiran Jakarta yang juga merupakan peneliti di INSISTS ini membuka diskusi dengan menyebutkan tiga argumen yang jamak dilontarkan bagi orang-orang yang bersebrangan dengan gagagasan Islamisasi ilmu.
Yang pertama adalah bahwa ilmu atau sains bersifat netral (value free), tidak ada warna ideologi atau unsur-unsur subjektif dalam ilmu. Argument kedua adalah bahwa ilmu itu universal dimana ia bisa ditemukan dimanapun dan dilakukan kapanpun dan dimanapun. Yang terakhir adalah bahwa sains tidak ada hubungannya dengan agama apapun. Tapi benarkah dengan argumen-argumen ini?
“Pendapat yang mengatakan bahwa ilmu itu tidak netral, karena memuat epistemic values atau nilai-nilai epistemologis adalah pandangan kurang teliti dan hanya merupakan pretense”, jelas Syamsuddin.
Di zaman sekarang kata Syamsuddin, sains dan saintis tidak bisa lepas dari kepentingan, seperti kepentingan industri, kepentingan dan penelitian.
”Personal interest pasti berhubungan dengan ideologinya”, tambahnya.
Dia menerangkan, sains tidak seratus persen universal karena sains juga memantulkan unsur-unsur partikular atau hal-hal khusus.
“Sains yang dikembangkan oleh`tiap-tiap negara tidak seratus persen sama, karena dipancarkan dari wordview penulisnya”, ungkap Syamsuddin.
Dia mengkritisi pandangan yang mengatakan bahwa sains tidak ada hubungannya dengan agama. Beliau mengatakan bahwa agama lain boleh saja tidak berhubungan dengan ilmu pengetahuan, tapi Islam adalah agama yang berurusan dengan ilmu pengetahuan.
Pemateri kedua dalam diskusi ilmiah ini adalah Dr. Adian Husaini. Ia menjelaskan sekularisasi dan Islamisasi kurikulum pendidikan.
Adian menjelaskan bahwa untuk Islamisasi kurikulum pendidikan di Indonesia itu sendiri sudah dimulai sejak 1983 di Universitas Ibnu Khaldun Bogor, Cuma saat itu konsep dan aplikasinya belum jelas.
“Ibnu Khaldun sampai saat ini telah melahirkan sekitar 70-an doctor dalam bidang pemikiran Islam. Islamisasi ini sudah berlangsung”, ungkapnya.
Adian juga menyorot sejarah bangsa Indonesia yang telah didesain sedemikian rupa sehingga mengaburkan peranan para ulama nusantara dan mewariskan figur-figur pergerakan yang ‘lebih disenangi’ oleh pemerintah kolonial Belanda.
Seminar yang dihadiri sekitar seratus peserta ini diadakan dalam rangkan memperingati 12 tahun milad INSISTS.(laporan Halim/ITJ Makassar)