Oleh: Ahmad Kholili Hasib
Inpasonline.com-Ketika para muballigh penyebar agama Islam datang ke Nusantara, mereka menggunakan, salah satunya, bahasa sebagai media pengislaman. Terma-terma bahasa Arab digunakan dan dikenalkan. Tetapi dengan adaptasi terhadap bahasa lokal. Sehingga kemudian melahirkan tradisi, ritual dan kebiasaan yang sama sekali lepas dari Hindu, Budha, Animisme dan Dinamisme.
Ketika tradisi sesajen berlaku di dalam masyarakat Jawa, misalnya. Maka para muballigh itu tidak langsung membuang. Tapi diganti istilah dan dimodifikasi isi ritualnya. Dalam sesajen, masyarakat Jawa memberikan saji berupa aneka makanan untuk ‘penunggu’ suatu pohon, batu, laut dan lain-lain. ‘Penunggu’ itu konon jin atau yang dipertuhankan yang diyakini memiliki kekuatan.
Tradisi syirik ini lalu direka bentuk menjadi Islami. Aneka makanan itu dialihkan diberikan kepada tetangga dan para faqir-miskin. Namanya sedekah. Tradisinya kemudian diberi nama salamatan (salamah dari bahasa Arab) atau selametan. Hingga lahir tradisi selametan desa, selametan kampung, dan lain-lain. Tentu saja tradisi salamatan sudah tidak ada lagi ritual berbau syirik. Tetapi isinya berdzikir kepada Allah Swt dan meminta doa kepada-Nya. Seusai baca dzikir, makanan dibagi-bagikan kepada para faqir dan tetangga dengan niat sedekah. Hingga kini masyarakat kita mengenal istilah “selametan” dari istilah “salamah”.
Ketika ada tradisi sesajen itu dikembalikan kepada asal mulanya, maka para ulama dari kalangan NU mengharamkannya. Pada Muktamar NU ke-5 di Pekalongan pada 7 September 1930 M membahasanya. Dalam forum bahsul masail ada soal: Bagaimana hukumnya mengadakan pesta dan perayaan guna memperingati jin penjaga desa (mbahu rekso) untuk mengharapkan kebahagiaan dan keselamatan, dan kadang terdapat hal-hal yang mungkar. Perayaan tersebut dinamakan “sedekah bumi” yang biasa dikerjakan penduduk (kampung), karena telah menjadi adat kebiasaan sejak dahulu kala?
Forum bahsul masail itu menjawab, adat kebiasaan sedemikian itu hukumnya haram. Dengan mengutip al-Jamal ala al-Jalalain yang artinya: Orang pertama yang meminta perlindungan kepada jin adalah kaum dari bani Hanifah di Yaman,kemudian hal tersebut menyebar di Arab. Setelah Islam datang, maka berlindung kepada Allah Swt menggantikan berlindung kepada jin.(Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama 1926-1999 M, hal. 93).
Jadi, setelah tradisi sesajen sedekah bumi tersebut diislamkan dengan nama tradisi selametan, maka para ulama NU melarang mengembalikan lagi tradisi lama. Inilah upaya ulama NU mempertahankan produk islamisasi para muballigh dahulu agar tidak kembali lagi pada asal mula yang sebetulnya telah mulai luntur. Tidak dibuang seratus persen, tetapi dimodifikasi menjai lebih Islami dan syar’i. Inilah salah satu kearifan para muballigh masa itu.
Internalisasi bahasa dengan terma-terma dari bahasa Arab ini memang ternyata sangat efektif dalam mengubah pandangan hidup (worldview) masyarakat. Noam Chomsky, seorang ahli linguistic modern, menyatakan bahwa setiap bahasa pada dasarnya adalah suatu sistem ilmu (system of knowledge) yang wujud dalam akal setiap penutur bahasa itu (Noam Chomsky, Language and Responsibility (New York: Pantheon Books, 1).
Konon istilah “gapura” itu dari “ghofuro” yang artinya pengampunan. Sebelum bernama “Gapura” bangunan ini dahulu adalah bangunan khas arsitektur Hindu. Bangunan ini dimanfaatkan oleh para wali songo. Diganti dengan nama Ghapura, yang digunakan sebagi syarat masuk pertunjukan wayang setelah melakukan sesuci dan mengucapkan dua kalimah syahadat.
Dalam bahasa Melayu-Indonesia kita temukan banyak sekali istilah serapan dari bahasa Arab. Prof. Dr. Tatiana Danissova, pakar sejarah Melayu asal Rusia yang kini mengajar di CASIS Malaysia pernah menjelaskan dalam satu diskusi bahwa kata Melayu yang berasal dari bahasa Arab berjumlah sekitar 40 %.
Sebagai contoh kata istilah bahasa Indonesia yang popular adalah abad, abadi, abah, abdi, adat, adil, amal, aljabar, almanak, asli, awal, akhir, azan, bakhil, baligh, batil, barakah, daftar, hikayat, hikmah, halal, haram, hakim, haji, ilmu, insan, jawab, khas, khianat, khidmat, khitan, kiamat, (al)kitab, kuliah, kursi, kertas, lafaz, munafik, mualaf, musyawarah, markas, mistar, malaikat, mahkamah, musibah, mungkar, maut, mimbar, nisbah, napas, berkah, barakat, atau berkat dari kata barakah, buya dari kata abuya, derajat dari kata darajah, jenis dari kata jins, kabar dari kata khabar, katulistiwa dari kata khat al-istiwa, lafal dari kata lafazh, lalim dari kata zhalim, makalah dari kata maqalatun, masalah dari kata mas-alatun, menara dari kata minarah,mungkin dari kata mumkinun, resmi dari kata rasmiyyun, soal dari kata suaalun, rezeki dari kata rizq, Sekarat dari kata sakaraat, Serikat dari kata syirkah, dan seterusnya.
Dengan memperhatikan banyaknya terma bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Arab, maka boleh dikatakan bahwa bahasa Melayu Indonesia sesungguhnya telah menjadi bahasa Islam. Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas berpendapat:
“…bahwa bahasa-bahasa asli orang-orang Islam semuanya, yang bukan orang Arab, telah diperislamkan dengan dimasukkan ke dalam bahasanya masing-masing peristilahan-dasar kata-kata Arab yang merupakan pandangan alam al-Qur’an al-Karim dan Islam. Dan dengan demikian maka wujudlah kenyataan bahasa Islam di kalngan bangsan insani. Tiada bahasa orang Islam yang bukan Islam, sebab semua bahasa orang Islam mengandungi peristilahan-dasar Islam yang juga merupakan peristilahan-dasar bahasanya masing-masing” (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, hal. 103).
Sebuah pemikiran dan keyakinan bisa dengan mudah meresap ke salam pikiran manusia paling mudah melalui bahasa. Sebalikya, kerancuan dan kekeliruan suatu pemikiran disebabkan kesalahan menggunakan bahasa secara tidak tepat. Ketika al-Qur’an turun kepada Nabi Muhammad Saw, ia membawa istilah-istilah dasar dengan makna yang baru yang sebelumnya makna itu tidak dikenali oleh Arab Jahiliyah. Seperti istilah “taqwa”, “karim”, “hikmah”, “adil”, “iman”, “shalat”, dan lain-lain. Dimana makna istilah tersebut kemudian berlaku hingga kini. Maka, Prof. Al-Attas menyatakan bahwa bahasa Arab saat ini merupakan bahasa Arab yang telah diperislamkan oleh al-Qur’an (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, hal. 102).
Al-Qur’an yang memiliki sifat abadi ini berperangaruh terhadap tetapnya (tidak berubah) bahasa Arab. Tidak seperti bahasa kitab suci agama lainnya, bahasa Arab saat ini sama dengan bahasa Arab ketika al-Qur’an diturunkan. Bahasa kitab suci agama lainnya yang asli sudah lama ditinggalkan, hampir punah, dan struktur nya telah berubah.
Disebut dalam kitab Fiqih Lughah setelah turun al-Qur’an dengan bahasa Arab itu, bahasa Arab menjadi lebih kuat sebagai bahasa yang fasih, kekal dan penyebarannya lebih meluas (Ali Abdul Wahid Wati, Fiqih Lughah, hal. 114). Prof. Al-Attas menyebut karakteristik bahasa Arab seperti ini dengan istilah “bahasa Tanzil”.
Melalui pengenalan istilah-istilah tersebutlah terjadi internalisasi pandangan hidup Islam ke dalam pikiran manusia. Masuknya suatu istilah dasar berarti masuknya suatu pemikiran dan keyakinan. Karena setiap peristilahan dasar mengandungkan satu pemikiran, ide, gagasan dan keyakinan tertentu.
Setelah bahasa Arab Islam ini memiliki keistimewaan dengan bahasa-bahasa lainnya. Selain diperkuat oleh Al-Qur’an, kelebihan bahasa Arab – sebagai bahasa konsep dasar Islam – adalah kemampuan menangkis segala perubahan. Ketetapan dan menangkis segala perubahan itu terletak pada bentuk kalimat yang mengikuti sistem akar kata. Paham-paham yang terkandung dalam kata-kata dasar kunci berkait dengan kata lain yang satu asal kata. Sehingga hal ini menayangkan suatu pandangan hidup. Kata prof al-Attas, tiada satu pun kata dasar yang mendandung faham dasar dalam al-Qur’an yang berdiri sendiri tanpa penisbatan makna dengan kata lain yang serumpun. Tetapi semuanya saling bernisbat mengikuti kedudukan dalam susunan makna peristilahan dasar sehingga merujuk kepada kata dasar agung dan tunggal yang mengawal segala penumpuan faham kepadanya.
Dengan demikian benarlah apa yang telah dikemukakan oleh Prof. Al-Attas bahwa alat utama Islamisasi bangsa Arab pra-Islam adalah melalui islamisasi bahasa Arab itu sendiri (Prof.Wan Moh Nor Wan Daud, Falsafah dan Amalan Pendidikan Islam Syed M Naquib al-Attas Satu Huraian Konsep Asli Islamisasi, hal. 230). Karena itu, Prof. Al-Attas mengharapkan kaum terpelajar Muslim memusatkan perhatian pada penguasaan bahasa, terutama bahasa Arab dan bahasa-bahasa Islam yang lain sebagai alat penyampaian dan pencarian ilmu dan kebenaran.