Paradigma Studi Islam dan Fenomena Penghinaan Agama

Written by | Opini

 

Oleh: Kholili Hasib

10620615_756716664388573_1298616081138073000_nInpasonline.com – Tuhan Membusuk” [Konstruksi Fundamentalisme menuju Islam Kosmopolitan], demikian salah satu tema besar kegiatan Orientasi Akademik dan Cinta Almamater (OSCAAR)  yang diadakan oleh Senat Mahasiswa (SEMA) Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya mulai tanggal 28-30 Agustus 2014.

Entahlah, apa yang ada dalam pikiran mereka. Jangan-jangan anak-anak mahasiswa ini ingin meniru Nietszche (1844-1900), filosof Jerman yang ateis. Nietszche pernah memplokamirkan “Tuhan telah Mati”. Maksudnya, ia ‘membunuh’ hal-hal terkait dengan nilai ketuhanan. Menghilangkan nilai ketuhanan dalam pikiran manusia. Filosof Hegel (1770-1831) juga pernah mengatakan “Tuhan adalah tiran”. Maksud dibalik kalimat ini adalah agama (baca; Tuhan) mengebiri pikiran manusia, sehingga harus ‘dibunuh’ dan boleh dihina. Inilah ateis modern. Gara-gara maksud kalimat dua filosof di atas, Barat menjadi sekuler bahkan ateis modern saat ini.

Apapun alasan makna di balik tema kontroversial tersebut, yang jelas tema ini menujukkan perlawanan terhadap Tuhan. Minimal, meremehkan. Mahasiswa di atas mungkin bukan maksudnya wujud (eksistensi) Tuhan yang membusuk, tapi nilai-nilai keagamaan yang membusuk. Ini mirip dengan Nietszche dan Hegel yang melahirkan ateisme modern itu.

Kasus-kasus penistaan yang sama pernah terjadi beberapa tahun silam, di Bandung, Semarang, Surabaya, dan Jember. Munculnya fenomena tersebut tidak terlepas dari konsep dan pola kurikulum studi agama yang dijalankan.

Metodologi studi agama ‘mengekor’ kepada studi kaum orientalis Barat. Dr. Adian Husaini sudah mengingatkan bahaya metode studi agama ini. Ia menulis buku “Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi. Dari hasil penelitiannya disimpulkan bahwa arah studi Islam di perguruan tinggi Islam membelok ke arah framework orientalis.

Asal-mula berubahnya paradigma studi agama di perguruan tinggi Islam ini dijelaskan dalam buku Paradigma Baru Pendidikan Islam yang ditulis oleh para alumni studi Islam McGill University. Menurut Adian, buku ini merupakan laporan keberhasilan pembaratan studi Islam. Di dalam buku tersebut ditulis: “Melalui pengiriman para dosen IAIN ke McGill dalam jumlah yang sangat massif dari seluruh Indonesia, berarti juga perubahan yang luar biasa dari titik pandang tradisional studi Islam kea rah pemikiran modern ala Barat. Perubahan yang paling menyolok terjadi pada tingkat elit. Tingkat elit inilah yang selalu menggerakkan tingkat grass root” (Kusmanan dkk,Paradigma Baru Pendidikan Islam sebagaimana dikutip Adian Husaini dalam Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam, hal. 81).

Framework studi Islam tersebut menempatkan ajaran agama bersifat relatif dan terkait dengan konteks sosial-budaya tertentu. Tuhan juga relatif. Islam ditempatkan sebagai agama budaya yang selalu berevolusi. Faham agama yang berevolusi menghancurkan konsep ushul (pokok-pokok agama). Menafikan bagian-bagian tsawabit  (yang tetap) dalam agama. Syariat dan ushul agama berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan zaman dan tempat. Metode ini telah menjadi trend di perguruan tinggi Islam.

Pendekatan sekuler tersebut berasal dari pemikiran sosiolog Barat. Peter L. Berger dalam The Social Reality of Religion menjelaskan bahwa dalam perspektif sosiologis, agama-agama dimasukkan sebagai produk budaya. Michael S. Northocott juga mengatakan pendekatan sosiologi dan antropologi agama dinyatakan, agama adalah bentuk konstruk sosial budaya (Peter Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama, hal. 40).

Dalam pendekatan historis, agama, ajaran dan aliran pemikiran agama diteropong dengan analisis sosiologis non-teologis. Bahwa ajaran dan aliran pemikiran tidak sakral, senantiasa berubah.

Inilah penjajahan intelektual. Cendekiawan Muslim di perguruan Tinggi Islam dipaksa menggunakan metode tersebut. Mahasiswa ditekankan untuk mengikuti studi agama ala Barat daripada studi Islam menurut para ulama.

Studi Filsafat di perguruan tinggi Islam Indonesia juga membahayakan karena mengikuti framework orientalis. Pelajaran filsafat di perguruan tinggi Islam Indonesia adalah belajar filsafat Barat bukan filsafat Islam. Ada anggapan keliru, bahwa filsafat itu hanya ada di Barat. Islam tidak memiliki filsafat.

Menurut orientalis, Islam tidak memiliki tradisi pemikiran rasional dan filosofis. Kaum Muslim hanya mengadopsi. Akibatnya, yang dipelajari adalah filsafat Barat dengan cara belajar menurut framework Barat. Implikasi dari pemikiran ini adalah; para mahasiswa yang termakan framework tersebut hanya mempelajari filsafat sekuler. Filsafat yang dikonstruk ilmuan Barat tanpa reserve  dan kajian kritis. Cara belajar yang begini yang menjauhkan dari Allah Swt, karena tidak memakai framework Islam dan worldview Islam.

Apa yang terjadi dalam pembelajaran studi agama di perguruan tinggi Islam adalah penaklukkan konsep-konsep Islam untuk tunduk kepada konsep-konsep Barat. Tuhan, agama, Nabi, al-Qur’an dan lain-lain dilihat dari kacamata Barat Liberal bukannya kacamata konsep Islam melihat studi Barat Liberal. Jika dibiarkan bahkan dikembangkan, akan menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu menjadi ledakan besar di kalangan generasi Muslim.

Padahal, niat, tujuan dan semangat para tokoh Islam mendirikan kampus Islam bernama IAIN adalah untuk perjuangan Islam. Diharapkan dari kampus ini lahir para cendekiawan dan ulama yang tinggi ilmu dan kuat mental Islamnya (Adian Husaini,Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam,hal.59).

Adian Husaini menulis dalam bukunya tujuan pendirian IAIN. Dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 11 tahun 1960 tentang pembentukan IAIN ditulis tujuan didirikannya: “Bahwa sesuai dengan Piagama Djakarta tertanggal 22 Djuni 1945, yang mendjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan merupakan rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut, untuk memperbaiki dan memadjukan pendidikan tenaga ahli Agama Islam guna keperluan Pemerintah dan masjarakat dipandang perlu untuk mengadakan Institut Agama Islam Negeri”.

Niat baik didirikannya juga dijelaskan secara jelas dalam Perpres tersebut, bahwa pendidikan Agama dan Ilmu Keagamaan Islam sangatlah penting mengingat agama Islam dipeluk oleh sebagian besar bangsa Indonesia. Bagi bangsa Indonesia, selain sebagai suatu agama, Islam juga merupakan dan sudah meluluh adat-istiadat jang meresapi segala aspek hidup dan kehidupannya. Dengan demikian mempertinggi taraf pendidikan dalam lapangan Agama dan Ilmu Pengetahuan Islam adalah berarti mempertinggi taraf kehidupan bangsa Indonesia dalam spiritual dan atau-pun dalam taraf intelektualnya.

Fenomena kerusakan ilmu ini adalah tantangan terbesar yang dihadapai kaum Muslimin. Prof. al-Attas mengatakan: “Telah banyak tantangan yang muncul di tengah-tengah kekeliruan manusia sepanjang sejarah, tetapi barangkali tidak ada yang lebih serius dan lebih merusak terhadap manusia daripada tantangan yang dibawa oleh peradaban Barat ini. Saya berani mengatakan bahwa tantangan terbesar yang muncul secara diam-diam di zaman kita adalah tantangan ilmu…” (Syed Muhammad Naquib al-Attas,Islam dan Sekularisme terj. Khalif Muammar, hal. 165).

Ilmu dalam pandangan Barat sekuler tidak dibangun di atas wahyu namun berdasarkan spekulasi filosofis. Prinsip utama ilmu Barat tidak dikaitkan dengan agama. Rasio menjadi sumber utama kebenaran, bukan wahyu. Relativisme dan skeptisisme (keragu-raguan) dingkat menjadi metodologi ilmiah. Bahwa, untuk menguji suatu objek ilmu misalnya harus menggunakan paradigma ‘keragu-raguan’ agar disebut ilmiah, adil dan netral. Metodologi Barat yang seperti ini tidak akan bisa diterapkan dalam studi Islam. Sebab, seorang Muslim belajar Islam bertujuan agar keimanannya kepada Allah Swt meningkat, dekat dengan-Nya, dan Dia ridha kepadanya. Bukan sebaliknya menjadi ragu terhadap agamanya dan inkar kepada Tuhan-nya.

Studi agama di perguruan tinggi Islam harus dikembalikan kepada tujuan awalnya, yang sesuai dengan konsep-konsep ilmu Islam. Pembelajaran filsafat sekuler di perguruan tinggi Islam juga terbukti tidak membawa kontribusi perkembangan sains dan teknologi. Justru kerusakan akhlak yang terjadi. Barat zaman dahulu meskipun akhlak dan agamanya rusak, tetapi filsafatnya mengembangkan sains. Sedangkan di sini, akhlak, agama rusak, di bidang sains pun tidak ada kontribusinya.

Sudah saatnya, para cendekiawan Muslim yang memiliki semangat jihad ilmi, menyusun buku-buku teks yang bisa dikonsumsi mahasiswa. Filsafat Ilmu perspektif Islam, sejarah Filsafat Islam, pengantar studi Islam, buku kuliah agama Islam, Ilmu Kalam dan Tasawuf – yang semuanya berparadigma Islami. Setidaknya bisa mengimbangi perkembangan ‘liar’ studi agama di perguruan tinggi Islam.*

Last modified: 08/09/2014

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *