Dalam buku Paradigma Baru Pendidikan Islam (Kusman dkk, 2008), misalnya, dijelaskan bahwa studi Islam di perguruan tinggi menggunakan metode ala Barat. Memisahkan secara dualis antara kajian historis dan kajian normatif. Kajian historis dinilai lebih tepat karena lebih demokratis, dan toleran. Persoalannya, seperti ditulis dalam buku itu, kajian historis meniscayakan pandangan bahwa agama itu bereveolusi. Jika demikian, maka konsep-konsep ushul dan furu’ dihilangkan. Inilah proyek liberalisasi agama, yang justru menjauhkan studi Islam kepada mengenal dan cara mengabdi kepada Allah swt. Jadi, problem mendasarnya di sini adalah paradigma pendidikan yang lebih berorientasi kepada materialisme dan sekularisme.
Maka, dalam upaya mengembalikan tujuan pendidikan Islam kepada jalan yang selama ini terlupakan, diperlukan upaya paradigmatis. Bukan sekedar menambah jam pelajaran agama. Salah satunya dengan mengedepankan pendidikan konsep ta’dib. Ta’dib yang digagas ilmuan kontemporer Syed Muhammad Naquib al-Attas, sebagai suatu konsep pendidikan Islam lebih berorientasi kepada pembentukan individu beradab, tidak sekedar meningkatkan kemampuan skill/intelektual.
Ta’dib merupakan usaha revolusioner mengislamkan paradigma pendidikan modern yang sekular. Sehingga, konsep ta’dib sesungghunya bukan sekedar pendidikan etika. Lebih dari itu, menawarkan sistem dasar pendidikan holistik dengan praktik dinamisasi ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah yang berbasis keimanan. Aplikasinya tidak hanya untuk pendidikan syari’ah (agama), namun juga juga penerapannya pada pendidikan sains secara umum.
Ide pendidikan konsep ta’dib dilatarbelakangi temuan al-Attas bahwa krisis ilmu yang sedang dialami oleh kaum muslim kontemporer berimplikasi sangat berat dalam kehidupan beragama kaum Muslim. Kesalahan di bidang ilmu merupakan krisis terbesar, dimana umat Muslim belum mengalami kondisi seberat ini. Kaum Muslim telah kehilangan adab (the loss of adab). Kehilangan adab di sini maksudnya kehilangan identitas. Identitas ilmu-ilmu keislaman dan identitas sebagai ilmuan Muslim. Sains di zaman westernisasi semakin jauh meninggalkan Tuhan.
Globalisasi (westernisasi) yang dibawa Barat memuat pandangan hidup (worldview) sekuler. Nilai, kultur dan tradisinya lepas dari kepercayaan transenden. Sistem yang berlaku sangat positivistik, menafikan agama dan nilai ketuhanan dalam kegiatan ilmu. Inti pandangan hidup sekuler tersebut adalah, dikotomi ilmu, anti-otoritas, humanisme, relativisme, desakralisasi, dan nihilisme.
Ilmu-ilmu produk ilmuan Barat menimbulkan persoalan pelik yang tidak menguntungkan bagi pandangan Muslim. Persoalan utamanya adalah pergeseran paradigma ilmu. Epistemologi yang digunakan dalam proses mendapatkan ilmu adalah epistemologi rasionalis-empiris, membuang dimensi metafisik.
Al-Attas menyebut lima poin yang menjiwai budaya keilmuan Barat. Yaitu, mengandalkan akal untuk membimbing kehidupan manusia, menggunakan pendekatan dikotomis atau dualistik terhadap realita kebenaran, menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup sekuler yang cenderung berpaham humanisme dan menjadikan tragedi sebagai faktor yang dominan dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan. Dengan pendekatan ini, ilmuan dipaksa untuk tidak memasukkan unsur-unsur metafisik atau penafsiran-penafsiran agama. Sehingga dalam hasil kajian ilmiah, sains tidak boleh bertemu dengan penafsiran agama.
Oleh sebab itulah, ilmu-ilmu modern harus diperiksa dengan teliti. Ini mencakup metode, konsep, praduga, dan simbol dari ilmu modern; beserta aspek-aspek empiris dan rasional, dan yang berdampak kepada nilai dan etika; penafsiran historisitas ilmu tersebut, bangunan teori ilmunya, praduganya berkaitan dengan dunia, dan rasionalitas proses-proses ilmiah, teori ilmu tersebut tentang alam semesta, klasifikasinya, batasannya, hubung-kaitnya dengan ilmu-ilmu lainnya serta hubungannya dengan sosial harus diperiksa dengan teliti.
Paradigma sekuler dalam dunia pendidikan mengakibatkan kesalahpahaman tentang ilmu, antara umum dan agama dinilai tidak ada korelasinya sama sekali. Akibatnya, ahli kedokteran, kimia, fisika, psikologi, biologi dan teknik –misalnya- tidak paham ilmu fikih, atau ilmu-ilmu syariah lainnya. Ilmu-ilmu ini dinilai sama sekali tidak ada kaitannya dengan agama dan dilarang untuk memasukkan konsep-konsep paradigma Islam ke dalamanya. Bahkan spesifikasi belajar agama semakin menyempit, dibagi menjadi jurusan-jurusan yang bermacam-macam. Belum lagi, belajar ilmu-ilmu syari’ah dengan framework Barat, bisa dipastikan hasilnya bukan kedekatan kepada Allah swt.
Menurut al-Attas, inilah tantangan terbesar yang dihadapi kaum muslim kontemporer, yang memerlukan gerakan sinergis untuk melakukan Islamisasi ilmu. Proyek ini tidak-lah mudah, membutuhkan individu-individu unggul untuk mengislamkan sains. Individu yang dimaksud adalah individu yang berpandangan hidup Islam. yang memahami konsep-konsep kunci dalam Islam. Dalam rangka itulah maka al-Attas menggagas konsep ta’dib untuk pendidikan Islam. Ini sebuah terobosan baru di era kontemporer untuk menyuguhkan pendidikan integral, kohern dan berpandangan hidup Islam.
Makna konsep ta’dib dibangun dari makna kata dasar adaba dan derivasinya. Kata addaba dan derivasinya, bila maknanya dikaitkan satu sama lain, akan menunjukkan pengertian pendidikan yang integratif. Di antara makna-makna tersebut adalah kesopanan, keramahan, dan kehalusan budi pekerti. Makna ini identik dengan akhlak. Adab juga yang secara konsisten dikaitkan dengan dunia sastra, yakni adab dijelaskan sebagai pengetahuan tentang hal-hal yang indah yang mencegah dari kesalahan-kesalahan.
Dalam hadits Rasulullah saw memakai kata addaba yang bermakna mendidik. Diriwayatkan dari Ibn Mas’ud, Rasulullah saw bersabda: “Addabaniy Rabbiy fa ahsana ta’dibiy (HR al-Sam’ani). Berdasarkan hal itu, al-Attas mendefinisikan adab dari analisis semantiknya, yakni, adab adalah pengenalan dan pengakuan terhadap realita bahwasannya ilmu dan segala sesuatu yang ada terdiri dari hirarki yang sesuai dengan kategori-kategori dan tingkatan-tingkatannya, dan bahwa seseorang itu memiliki tempatnya masing-masing dalam kaitannya dengan realitas, kapasitas, potensi fisik, intelektual dan spiritual. Dalam hal ini, al-Attas memberi makna adab secara lebih dalam dan komprehensif yang berkaitan dengan objek-objek tertentu yaitu pribadi manusia, ilmu, bahasa, sosial, alam dan Tuhan.
Pada dasarnya, konsep adab al-Attas ini adalah memperlakukan objek-objek tersebut sesuai dengan aturan, nilai-nilai keimanan, wajar dan tujuan terakhirnya adalah kedekatan spiritual kepada Tuhan. Berkenaan dengan hal ini, maka adab juga dikaitkan dengan syari’at dan Tauhid. Orang yang tidak beradab adalah orang yang tidak menjalankan syari’at dan tidak beriman (dengan sempurna). Maka orang beradab menurut al-Attas adalah orang yang baik yaitu orang yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab dirinya kepada Tuhan Yang Haq, memahami dan menunaikan keadilan terhadap dirinya dan orang lain dalam masyarakat, berupaya meningkatkan setiap aspek dalam dirinya menuju kesempurnaan sebagai manusia yang beradab.
Makna beradab secara sederhana adalah, tidak berbuat dzalim. Maksudnya, orang beradab adalah orang yang menggunakan epistemologi ilmu dengan benar, menerapkan keilmuan kepada objeknya secara adil, dan mampu mengidentifikasi dan memilah pengetahuan-pengetahuan (ma’rifah) yang salah. Setelah itu, metode untuk mencapai pengetahuan itu harus juga benar sesuai kaidah Islam. Sehingga, seorang yang beradab (insan adabi) mengerti tanggung jawabnya sebagai jiwa yang pernah mengikat janji dengan Allah swt sebagai jiwa bertauhid. Ikatan janji itu selalu ia aplikasikan dalam setiap aktifitasnya.
Berdasarkan hal itu, maka konsep ta’dib merupakan konsepsi pendidikan Islam yang menggunakan pendekatana tawhidy dan objek-objeknya diteropong dengan pandangan hidup Islami (worldview Islam). Pendekatan tawhidy adalah pendekatan yang tidak dikotomis dalam melihat realitas. Menurut al-Attas, pendidikan Islam bukanlah seperti pelatihan yang akan menghasilkan spesialis. Melainkan proses yang akan menghasilkan individu baik (insan adabi), yang akan menguasai pelbagai bidang studi secara integral dan koheren yang mencerminkan padandangan hidup Islam.
Manusia yang beradab, akan melihat segala persoalan di alam ini dengan kacamata worldview Islam. Worldview Islam menjadi ‘pisau’ analisa setiap persoalan keduniawiyan. Sebagaimana dinyatakan al-Attas, insan adabi itu harus berbuat selaras dengan ilmu pengetahuan secara positif. Yakni, seorang manusia yang selalu menggunakan epistemologi Islam dalam dialognya dengan realita alam. Individu-individu yang beradab seperti ini adalah berperan penting secara sosial dalam pembentuk sebuah masyarakat beradab.
Dengan demikian, pendidikan Islam yang holistik dengan penerapan dinamisasi konsep fardhu ‘ain dan fardlu kifayah sangat signifikan menunjang pembaharuan pendidikan yang lebih beradab. Ilmu fardhu ‘ain adalah ilmu yang wajib bagi tiap-tiap individu muslim mengetahuinya. Mencakup ilmu yang berkenaan dengan i’tiqad (keyakinan). Ilmu-ilmu yang menyelamatkan dari keraguan (syakk) iman. Tujuan ilmu ini untuk menghilangkan kekeliruan iman dan bisa membedakan antara yang haq dan bathil. Dimensi lain dari ilmu fardhu ‘ain adalah ilmu-ilmu yang berkenaan dengan perbuatan wajib yang akan dilaksanakan. Misalnya, orang yang akan berniaga wajib mengetahui hukum-hukum fiqih perniagaan, bagi yang akan menunaikan haji wajib baginya memahami hukum-hukum haji. Dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan persoalan-persoalan yang harus ditinggalkan seperti sifat-sifat tidak terpuji dan lain-lain. Sedang ilmu fardhu kifayah adalah ilmu yang wajib dipelajari oleh sebagian masyarakat Islam, bukan seluruhnya. Dalam fardhu kifayah, kesatuan masyarakat Islam secara bersama memikul tanggung jawab kefardhuan untuk menuntutnya.
Konsep pendidikan ini mengikis pandangan-pandangan relativisme berkeyakinan. Karena itu implikasinya sangat luas. Ia akan adil melihat pandangan-pandangan aliran sesat. Cerdas memilah antara konsep ushul dan furu’. Tidak mengaburkan pandangan Islam, apalagi mendekonstruksi. []
*Penulis adalah peneliti InPAS