Indonesia, Pancasila dan Islam

Written by | Pemikiran Islam

“Apabila suatu tujuan teramat suci dan mulia, sukarlah jalan yang harus ditempuh dan banyaklah penderitaan yang akan ditemui di tengah jalan”
(Imam Ghazali)

inpasonline.com – Keinginan kalangan Islam untuk memasukkan syariat Islam dalam negara adalah sesuatu yang patut dihormati. Terkait ini menarik jika kita kaji, bagaimana tokoh bangsa generasi awal memberi teladan dalam memandang relasi Islam dan negara serta sekaligus memperjuangkannya.

Menoleh Sejarah

Oleh karena UUD 1945 termasuk bentuk kesepakatan bersama, maka relevan jika kita melihat bagaimana konstitusi itu mengatur agama (termasuk dan terutama Islam). Terkait ini, agar tak kehilangan konteks, bisa kita baca sejarah terbentuknya konstitusi kita.

Pada 18 Agustus 1945, ditetapkan UUD 1945. Mengikuti perkembangan keadaan, kemudian diganti dengan Konstitusi RIS 1949, lalu diubah menjadi Undang-undang Dasar Sementara Negara Kesatuan RI 1950, dan “terakhir” kembali ke UUD 1945 lewat Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Ada sisi menarik dan penting untuk kita cermati, bahwa salah satu konsideran Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menjadi dasar pertimbangan kembali berlakunya UUD 1945, adalah kalimat ini: “Bahwa kami berkeyakinan Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut”.

Perhatikanlah! Disebutkan, Piagam Jakarta menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan UUD 1945. Lalu, apa keistimewaan Piagam Jakarta? Sesungguhnya, piagam inilah yang dipersiapkan menjadi pembukaan UUD 1945. Tetapi, karena ada frase dari piagam itu yang dianggap dapat menimbulkan “persoalan”, yaitu pernyataan “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” (terkenal dengan istilah “tujuh kata”), maka -lewat pengorbanan kalangan Islam- dihapuslah kalimat itu. Selanjutnya, kalimat “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti dengan “Ketuhanan yang Maha Esa”. Piagam Jakarta dengan perubahan di bagian yang disebut di atas itulah yang sekarang menjadi pembukaan UUD 1945.

Hal lain yang berkait erat, bahwa UUD 1945 mengatur secara khusus tentang agama, yaitu bab XI pasal 29. Pasal 29 ayat 1 berbunyi: Negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa. Dari ayat ini, setidaknya bisa disebut dua hal yang dapat menjadi konsekwensi logisnya.

Pertama, sebenarnya kurang tepat ungkapan yang selama ini terlanjur popular, yaitu bahwa Indonesia bukan negara agama tetapi juga bukan negara sekular. Pernyataan itu tak tepat sebab sesungguhnya Indonesia –berdasar konstitusi- adalah negara yang pengelolaannya seharusnya mendasarkan pada prinsip Ketuhanan yang Maha Esa. Adapun tentang ini, sejatinya merupakan ungkapan syukur kepada Allah yang Maha Kuasa atas rahmat-Nya berupa kemerdekaan Indonesia (lihat paragraf tiga pembukaan UUD 1945).

Kedua, oleh karena Piagam Jakarta disebut menjiwai dan menjadi satu kesatuan, maka ketika kita mencoba memahami pasal 29 ayat 1 UUD 1945 haruslah tak meninggalkan semangat Piagam Jakarta itu. Oleh karena itu, kurang lebih, bertemulah kita dengan spirit bahwa Indonesia adalah negara yang berdasar kepada ketuhanan, dengan salah satu indikatornya berupa terjaminnya umat Islam dalam menjalankan syariat agamanya secara leluasa.

Hal di atas semakin menjadi jelas, jika kita memperhatikan pasal 29 ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Artinya, konstitusi sangat menjamin Muslim manapun untuk mengamalkan seluruh ajaran agamanya, yang diyakininya telah mengatur secara lengkap dan sempurna seluruh aspek kehidupan. Maka, tak menjadi masalah jika dalam kehidupan sosial dan politiknya, seorang Muslim mengaktualisasikan ajaran agamanya, sebab –kita tahu– Islam tidak memisahkan antara urusan dunia dan akhirat..

Dari uraian di atas, terlihat bahwa sesungguhnya negara Indonesia –lewat konstitusi- sejak awal telah dirancang untuk selalu bersuasana religius (dan dalam konteks kaum Muslim, religius itu bermakna Islami). Di titik inilah, misalnya, berbagai Peraturan Daerah (Perda) bernuansa syariat Islam menemukan pijakan konstitusionalnya yang sangat kukuh.

Selanjutnya, dalam suasana seperti yang telah tergambarkan di atas, seluruh umat Islam -siapa pun- tak perlu ragu untuk mengekspresikan spirit keislamannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejauh melalui aturan main yang telah disepakati, tak ada masalah jika berbagai spirit keislaman mewarnai bermacam-macam peraturan perundang-undangan kita. Fakta yang ada di sekitar kita, semua Perda di berbagai daerah telah berjalan sesuai desain itu.

Bagi pribadi Muslim, situasi seperti ini, tentu saja cukup melegakan. Sebab, seluruh kaum Muslim pastilah memendam rindu untuk total bersyariat Islam di sepanjang perjalanan hidupnya. Dengan demikian, tak akan ada kaum Muslim yang mengatakan bahwa penegakan syariat Islam bukan sesuatu yang mendasar.

Bagi seorang Muslim, menegakkan syariat Islam adalah sesuatu yang mendasar. Hal ini, karena bersesuaian dengan tujuan Allah menciptakan manusia. Maka, hanya dengan syariat Islam seorang Muslim akan selamat dan bahagia dalam menjalani kehidupan dunia (dan kelak di akhirat).

Sang Teladan

NU adalah jam’iyah yang menghimpun para ulama untuk bersama-sama mencapai tujuan menegakkan ajaran Islam menurut Ahlus-Sunnah wal Jamaah di tengah-tengah kehidupan masyarakat di dalam wadah NKRI. Dengan demikian, jelas NU didirikan justru untuk memfasilitasi proses penegakan syariah Islam.

Maka, marilah kita lihat jejak tokoh NU generasi awal. Kita seksamai apa yang telah diperagakan oleh KH A. Wahid Hasyim.

Pada 1944 KH A. Wahid Hasyim terpilih sebagai salah seorang anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Tugas utama BPUPKI adalah merumuskan Dasar Negara.

Di lembaga itu, terjadilah perdebatan sengit antara kalangan nasionalis dan Islamis. Dalam perdebatan tersebut, KH A. Wahid Hasyim masuk di pihak Islamis.

Pada rapat 13/07/1945, KH A. Wahid Hasyim mengusulkan agar Presiden adalah orang Indonesia asli dan “yang beragama Islam”. Begitu juga draft pasal 29 diusulkan dengan redaksi: “Agama negara ialah agama Islam”, dengan menjamin kemerdekaan orang-orang yang beragama lain, untuk (….. dan seterusnya, pen.). Kata KH A. Wahid Hasyim: “Hal ini erat perhubungannya dengan pembelaan. Pada umumnya pembelaan yang berdasarkan atas kepercayaan sangat hebat, karena menurut ajaran agama, nyawa hanya boleh diserahkan buat ideologi agama” (Adian Husaini, 2009: 42).

Fragmen di atas sungguh bisa menggambarkan betapa gigihnya KH A. Wahid Hasyim dalam memerjuangkan tegaknya Islam dan bahkan sampai di tingkat yang sangat strategis, yaitu di level negara. Bahwa kemudian perjuangan beliau tak berhasil, dari apa yang telah diusahakannya kita mendapatkan pelajaran yang sangat berharga: Bahwa, Islam harus bisa kita perjuangkan di tingkat mana saja.

KH A. Wahid Hasyim termasuk satu di antara sembilan Penadatangan Piagam Jakarta. Putra KH Hasyim Asy’ari tersebut, dalam proses penyusunan Konstitusi disebut-sebut mewakili faksi nasionalis Islami.

Mari, lebih kita cermati lewat dua contoh berikut ini. Pertama, ketika di rapat perumusan UUD (13 Juli 1945) di draf pasal 4 ayat 2 tentang presiden, tertulis: “Yang dapat menjadi Presiden dan Wakil Presiden hanya orang Indonesia asli,” maka KH A. Wahid Hayim mengajukan usul, bahwa kalimat perlu ditambah “yang beragama Islam”. Argumentasi beliau: “Buat masyarakat Islam, penting sekali perhubungan antara pemerintah dan masyarakat”. Sehingga, lanjut KH A. Wahid Hasyim, “Jika Presiden orang Islam, maka perintah-perintah berbau Islam, dan akan besar pengaruhnya”. Sementara, ketika membahas pasal 29 tentang agama, draf diubah sehingga berbunyi: Agama negara ialah agama Islam, dengan menjamin kemerdekaan orang-orang yang beragama lain.

Kedua, pada 4 Februari 1953, PBNU mengeluarkan surat protes kepada Presiden Soekarno, karena Soekarno berpidato di Amuntai, Kalimantan Selatan, sebagai berikut: “Kalau kita dirikan negara berdasarkan Islam, banyak daerah yang penduduknya tidak beragama Islam akan melepaskan diri, misalnya Maluku, Bali, Flores, Timor, Kai, dan juga Irian Barat -yang belum masuk wilayah Indonesia- tidak akan mau ikut dalam Republik.”

Atas pidato itu, PBNU lalu berkirim surat yang ditandatangani oleh KH A. Wahid Hasyim dan ditujukan kepada Presiden Soekarno:

“… pernyataan bahwa pemerintahan Islam tidak akan dapat memelihara persatuan bangsa dan akan menjauhkan Irian, menurut pandangan hukum Islam, adalah pernyataan mungkar yang tidak dapat dibenarkan syariat Islam dan wajib bagi tiap-tiap Muslim menyatakan ingkar atau tidak setujunya.”

Itu, sekadar dua bukti betapa Tokoh NU dan NU (sebagai lembaga), sangat peduli pada usaha-usaha penegakan syariat Islam terutama pada level Negara. Sungguh, terang sekali, sikap NU dan tokoh (generasi awal)-nya, sangat mengusahakan didirikannya negara berlandaskan Islam.

Jalan Panjang

Tentu saja, perjuangan untuk menegakkan syariat Islam –dalam bingkai apapun- memerlukan energi besar. Ini memang sunnatullah, bahwa tak mudah jalan menuju surga. Untuk itu perlu jihad (dalam artian luas) dan sabar.

Sebagai Muslim, berapapun energi yang yang harus kita keluarkan, berapapun lama waktu yang kita butuhkan, hal itu bukanlah persoalan yang harus kita jadikan penghalang serius untuk menegakkan syariat Islam. Maka, marilah dengan kapasitas yang kita miliki masing-masing, berusaha keras tak kenal henti untuk menegakkan syariat Islam.

Komitmen di atas, sejatinya, sekadar manifestasi dari tugas semua kaum Muslim. Sebagai Muslim, mereka sangat sadar bahwa syariat Islam tak hanya akan membahagiakan kaum Muslim saja, tetapi juga umat yang beragama lain. Benar, karena syariat Islam itu rahmat bagi semesta alam. []

* Naskah ini dimuat di Majalah Al-Haromain, edisi Agustus 2020

Last modified: 21/01/2024

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *