وَأَرْضِهِ، الَّذِيْ خَلَقَ اْلخَلْقَ بِقُدْرَتِهِ، وَمَيَّزَهُ بِأَحْكَامِهِ، وَأَعَزَّهُمْ بِدِيْنِهِ، وَأَكْرَمَهُمْ بِنَبِيِّهِ مُحَمَّدٍ صَلىَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ اسْمُهُ وَتَعَالَتْ عَظَمَتُهُ، جَعَلَ الْمُصَاهَرَةَ سَبَبًا لَاحِقًا وَأَمْرًا مُفْتَرضًا، أَوْشَجَ بِهِ الْأَرْحَامَ، وَأَلْزَمَ الْأَنَامَ، فَقَالَ عَزَّ مِنْ قَائِلٍ: {وَهُوَ الَّذِيْ خَلَقَ مِنَ الْمَاءِ بَشَرًا، فَجَعَلَهُ نَسَبًا وَصِهْرًا، وَكَانَ رَبُّكَ قَدِيْرًا} /الفرقان 54
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ، نَحْمَدُهُ تَعَالىَ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، وأشهد أنه قد بلغ الرسالة وأدى الأمانة ونصح الأمة وجاهد في سبيل الله حق جهاده حتى أتاه اليقين. اللهم صل وسلم على هذا النبي الكريم وعلى آله وصحبه والتابعين أجمعين ومن اهتدى بهديه واستنى بسنته إلى يوم الدين. أما بعد:
أوصيكم وإياي بتقوى الله عز وجل، فقد قَالَ اللَّهُ تَعَالَى فِيْ كَتَابِهِ الْكَرِيْمِ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ} (آل عمران: 102). وَقَالَ اَيْضًا: {يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً، وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ واْلأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا} (النساء: 1)
معاشر المسلمين رحمكم الله،
Itulah sebagian pembukaan khutbah nikah yang pernah dibaca oleh Rasulullah SAW sewaktu menikahkah putrinya yang bernama Siti Fatimah Al-Zahra’, dengan Sayyidina Ali Bin Abu Thalib karromalloohu wajhah, yang sengaja saya baca dengan harapan agar ‘Aqd al-Nikāḥ pada pagi hari ini mendapatkan barakah. Terutama bagi kedua mempelai, diharapkan memperoleh kebahagiaan hidup, sebagaimana kebahagiaan pada rumah-tangga Nabi Muhammad SAW dengan Siti Khodijah dan rumah tangga Sayyidina Ali dengan Siti Fatimah Al-Zahra’.
Selanjutnya Rasulullah SAW mengatakan, bahwa semua peristiwa yang terjadi di dunia ini tidak lepas dari qadha’-qadarnya Allah SWT. Termasuk di dalamnya adalah peristiwa pernikahan atau perjodohan, yang tidak cukup hanya dengan mengandalkan usaha manusia.
Karena banyak orang yang sudah sekian lama berpacaran dan memadu cinta, ternyata ujung-ujungnya kandas di tengah jalan. Dan tidak sedikit pula orang tua yang sudah menjodohkan anaknya dengan calon menantu yang mereka sukai, akan tetapi keinginan mereka tersebut pada akhirnya juga tidak terwujud.
Itulah yang namanya perjodohan, yang tidak dapat dilepaskan dari Qadha’-qodar Allah SWT.
فَإِنَّ الأُمُوْرَ كُلَّهَا بِيَدِ اللَّهِ، يَقْضِى فِيْهَا مَا يَشَاءُ وَيَحْكُمُ مَا يُرِيْدُ
(Semua persoalan dalam kehidupan ini berada dalam kekuasaan Allah. Allah memutuskan dan menetapkan semua peristiwa sesuai dengan kehendak-Nya).
لاَ مُقَدِّمَ لِمَا أَخَّرَ وَلاَ مُؤَخِّرَ لِمَا قَدَّمَ،
(Tidak ada yang mampu memajukan sesuatu yang sudah ditunda oleh Allah. Dan tidak ada yang dapat menunda sesuatu yang sudah dimajukan oleh Allah).
وَلاَ يَجْتَمِعُ اثْنَانِ وَلاَ يَفْتَرِقَانِ إِلاَّ بِقَضَاءٍ وَقَدَرٍ،
(Tidaklah dua orang itu bertemu dan berpisah kecuali dengan qodha’ dan qadar Allah).
فَأَمْرُهُ تَعَالَى يَجْرِى عَلَى قَضَائِهِ، وَقَضَاؤُه يَجْرِي إِلَى قَدَرِهِ، لِكُلِّ قَضَاءٍ قَدَرٍ، وَلِكُلِّ قَدَرٍ أَجَلٌ، وَلِكُلِّ أَجَلٍ كِتَابٌ.
(Semua perkara terjadi sesuai dengan Qadha’ Allah. Qadha’ Allah terus berproses menuju Qadar-Nya. Setiap Qadha’ ada qadar-nya. Setiap qadar ada ajalnya, dan setiap ajal ada suratan taqdirnya).
معاشر المسلمين رحمكم الله،
Pernikahan adalah merupakan tradisi yang telah diwarisi secara turun-temurun oleh anak Adam sepanjang zaman. Dalam sejarah peradaban, yang “primitive” sekalipun, tak satupun ditemukan masyarakat manusia yang tidak memiliki tradisi pernikahan ini.
Fakta ini menunjukkan secara gamblang kepada siapa pun yang bernalar bahwa tradisi pernikahan adalah ajaran langit yang dilaksanakan pertama kali oleh manusia pertama yang diciptakan oleh Allah SWT di atas bumi ini, yakni Adam AS, dan kemudian diterapkan kepada anak-anak Nabi Adam sendiri, serta cucu-cucunya hingga menjadi tradisi yang akar-mengakar di seluruh masyarakat manusia sampai hari ini, dan ila qiyami al-sa’ah.
معاشر المسلمين رحمكم الله،
Dalam rentetan sejarah tradisi yang sangat panjang ini, terdapat berbagai variasi dan ragam pelaksanaannya (tasyri’) yang tentu saja merupakan suatu konsekuensi logis dari perkembangan masyarakat manusia itu sendiri dari zaman ke zaman. Hal ini sesungguhnya adalah salah satu perkara yang dapat menjelaskan diutusnya para Nabi dan Rasul sepanjang sejarah. Hingga sampai pada kerasulan Nabi Agung Muhammad SAW yang menegaskan tradisi atau Sunnah pernikahan ini dengan sabdanya:
(يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج، فإنه أغض للبصر وأحصن للفرج. فمن لم يستطع فعليه بالصوم، فإنه له وجاء).
(Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu membayar ongkos (termasuk mahr) pernikahan maka hendaklah ia berkawin, karena sesungguhnya perkawinan itu bisa lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kesucian kemaluan. Maka barangsiapa yang tidak mampu membayar ongkos (termasuk mahr) pernikahan, maka hendaklan berpuasa, sebab puasa baginya merupakan jalan penyelamat [sementara]).
Dan hadits ini sebenarnya merupakan penegasan juga dari firmah Allah SWT dalam al-Qur’an yang diarahkan kepada para orang tua/wali:
{وَأَنكِحُوا الْأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَاء يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ}(النور: 32)
(Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan kurniaNya. Dan Allah Maha luas (pemberianNya) lagi Maha Mengetahui).
Hadirin/hadirat yang berbahagia,
Kenapa agama harus ikut campur (dengan syari’atnya) mengurus urusan yang sepintas nampak “urusan syahwat” ini?
Justeru karena menyangkut syahwat inilah, agama perlu sekali mengurusnya. Sebab jika tidak diurus, hubungan kelamin/jenis (sexual intercourse) antara laki-laki dan perempuan ini akan berakibat pada munculnya berbagai problem individual dan social yang sangat serius dan kompleks sekali yang sebagiannya terkait dengan harga-diri/martabat/kehormatan (العرض), sebagiannya lagi terkait dengan keturunan (النسب أو النسل), dan sebagiannya yang lain dengan jiwa (النفس). Mari kita lihat point-point ini dengan sedikit detail:
Pertama, kaitan tradisi “nikah” dengan harga-diri/martabat/kehormatan (العرض) individu adalah sangat jelas. Harga-diri/martabat/kehormatan (العرض) bagi seseorang adalah hal yang sangat suci yang tanpanya hidupnya tidak akan berarti sama sekali. Bahkan masyarakat yang permissive atau liberal dan mengamalkan seks bebas sekali pun, kalau sudah masuk urusan harga-diri/martabat/kehormatan ini mereka tidak ada kompromi. Seseorang tidak bisa seenaknya atau pun semaunya merampas atau memperlakukan semena-mena harga-diri/martabat/kehormatan orang lain. Hanya saja mereka ini tidak berfikir panjang dan komprehensif, sehingga penyelesaian masalah harga-diri/martabat/kehormatan (العرض) ini hanya sebatas saling suka-sama-suka, atau penyelesaian yang sangat partial dan tidak holistic. Maka dalam tatanan atau system kehidupan bermasyarakat seperti ini tidak dapat dihindari akan melahirkan efek domino yang menimbulkan masalah-masalah ikutan yang lain, seperti diantanya: (i) ketidak-jelasan nasab anak yang dilahirkan; (ii) tergerusnya institusi keluarga/rumahtangga; (iii) maraknya praktik-praktik hubungan seks menyimpang dan tak sehat yang dikenal dengan LGBT (Lesbianisme, Gay, Bisexual, dan Transgender) yang berakibat merajalelanya penyakit yang sangat mematikan yang dikenal dengan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome); (iv) bunuh-membunuh antar-pasangan yang menjalin hubungan syahwat tidak normal ini; dll.
Nah, institusi “nikah” dengan syarat dan rukun, serta aturan-aturannya yang holistik yang telah ditentukan dalam syari’ah itu dapat menjamin terpeliharanya harga-diri/martabat/kehormatan (العرض) individu maupun kelompok dalam masyarakat, dan pada waktu yang sama dapat menutup rapat-rapat sumber masalah-masalah atau pun penyakit-penyakit social di atas.
Kedua, kaitan tradisi “nikah” dengan memelihara keturunan (النسب أو النسل) adalah bahwa life must go on, kehidupan ini harus berjalan dan berkembang secara sehat, suci, alami dan normal. Ini hanya bisa terwujud dengan adanya tradisi nikah. Sebab anak yang dilahirkan mendapatkan kejelasan identitasnya, siapa ayah dan ibunya, yang pada gilirannya dia dapat hidup di masyarakat dengan kepastian jati-dirinya dan akan selalu menjaga kesucian nasabnya dengan membina keluarga yang sehat dan sejahtera. Dengan demikian keberlangsungan dan dinamika kehidupan dapat terjamin dengan institusi nikah.
Ketiga, kaitan tradisi “nikah” dengan memelihara jiwa/nyawa (النفس) adalah bahwa hubungan asmara/syahwat yang liar sangat rentan dengan timbulnya konflik-konflik antar individu terkait yang sering mengantarkan pada lenyapnya keselamatan nyawa/jiwa mereka serta janin dan bayi yang dihasilkan akibat hubungan asmara/syahwat yang liar ini. Fakta-fakta pembunuhan antar pasangan dan pembuangan bayi-bayi yang berlatar belakang hubungan asmara abnormal ini sudah lebih dari cukup untuk membuktikan betapa dahsyatn dan fatalnya akibat yang ditimbulkan praktik-praktik hubungan seks di luar nikah terhadap keselamatan jiwa/nyawa.
Jadi, yang terkait secara langsung dengan sunnah atau tradisi “nikah” ini, Islam membawa syari’at dan aturan yang setidaknya melindungi tiga (3) dari hak-hak atau kebutuhan-kebutuhan manusia yang paling mendasar dalam Islam yang jumlahnya ada lima dan dikenal dengan (الضرورات الخمس).
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah
Maka, melihat begitu penting dan strategisnya institusi pernikahan ini Nabi kita Muhammad SAW sampai-sampai bersabda:
(مَنْ تَزَوَّجَ فَقَدْ اسْتَكْمَلَ نِصْفَ الإيمَانِ)
(Barangsiapa yang melaksanakan al-zawāj al-syar‘ī, maka sesungguhnya ia telah menyempurnakan separoh imannya).
Sebab, agama ini menghendaki tata-tertibnya kehidupan manusia, baik secara individu maupun masyarakat, tenteram kerta raharja… agama ini menginginkan terwujudnya tata masyarakat yang indah diwarnai dengan kedamaian, kesucian dari berbagai penyakit baik fisik maupun social, saling harga-menghargai, hormat-menghormati dan cinta-mencintai antar-sesama anggota, dll.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah… terutama kedua mempelai, Mas Ahmad Faiz Nasshor dan mBak Retna Ayu Mustikarini, yang berbahagia…
Setiap individu di dalam sebuah masyarakat tentu memiliki hak dan kewajiban sesuai dengan posisinya. Dan ketika dua orang anak Adam, laki dan perempuan, sepakat untuk memasuki institusi pernikahan, maka masing-masing memiliki hak dan kewajiban sesuai dengan posisinya menurut aturan/ajaran yang telah disyari’atkan dalam agama. Secara umum, agama Islam mengatur bahwa institusi keluarga harus ada kepalanya:
{الرجال قوامون على النساء بما فضلهم الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أموالهم …..} ( النساء: 34)
(Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi wanita oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka [laki-laki] atas sebagian yang lain [wanita], dank arena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka…).
Oleh karena itu, taatilah aturan-aturan itu semata-mata karena tunduk dan patuh kepada Allah SWT, sebagai ungkapan dan pengejawantahan akan kepenghambaan (عبودية أو عبادة) kita kepada Allah SWT. Sehingga dengan demikian, tujuan-tujuan social dan individual pernikahan dapat terwujud secara seiring dan sejalan, dan pada waktu yang sama, dapat menghantarkan untuk mendapatkan ridlo dan barakah yang melimpah dari Allah SWT… Sebuah keluarga yang dipenuhi dengan mahabbah, mawaddah dan rahmah … dan masyarakat yang damai sejahtera….
Inilah yang menjadi dambaan setiap insan. Dan inilah hasanah di dunia yang mudah-mudahan menghantarkan dan membuka tercapainya hasanah fil-akhirah. Amin.
وهذا عقد مبارك ميمون واجتماع لحصول خير يكون، إن شاء الله الذي إذا أراد شيئا أن يقول له كن فيكون. أقول قولي هذا وأستغفر الله العظيم لي ولكم ولوالدي ولوالديكم ولمشايخي ولمشايخكم ولسائر المسلمين فاستغفروه إنه هو الغفور الرحيم.
أستغفر الله العظيم الذي لا إله إلا هو الحي القيوم وأتوب إليه (3x)
أشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمدا رسول الله صلى الله عليه وسلم.