Mensikapi Perbedaan Penetapan 1 Syawal

Idul Fitri merupakan hari kemenangan bagi umat Islam yang telah berpuasa selama sebulan dalam mengendalikan dirinya dari berbagai godaan duniawi. Sebagai penghormatan atas hari kemenangan itu, Islam mengharamkan berpuasa pada hari raya Idul Fitri 1 Syawal.

Masalah kemudian muncul ketika terjadi perbedaan dalam penetapannya. Di satu pihak menetapkannya sebagai Idul Fitri, dan di pihak lain pada hari yang sama masih melaksanakan puasa Ramadhan. Perbedaan itu terjadi karena acuan dalam menafsirkan metode penentuan awal bulan telah melahirkan dua aliran besar, yaitu ru’yah dan hisab.

Pertama, aliran ru’yah. Secara terminologi, ru’yah adalah kegiatan untuk melihat hilal (penampakan bulan sabit) di ufuk langit sebelah barat sesaat setelah matahari terbenam untuk menentukan permulaan bulan baru. Dalam konteks ini, hilal menempati posisi sentral sebagai penentu bulan baru dalam kalender Hijriah. Hal ini sebagaimana firman Allah :

Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah : “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia…(QS. Al-Baqarah : 189)

Hilal itu sendiri hanya dapat terlihat setelah proses ijtima’, yaitu proses ketika bulan berada satu kedudukan dalam satu garis dengan matahari dan bumi. Ketika ijtima’ terjadi, bulan berada di antara bumi dan matahari. Pada saat bulan bergeser dan sebagian permukaannya menerima cahaya matahari yang terlihat berbentuk seperti lengkuk cahaya yang sangat halus, itulah yang dinamakan hilal.

Di dalam aliran ru’yah sendiri terdapat perbedaan dalam penentuan irtifa’ (ketinggian) bulan. Satu kelompok berpendapat bahwa hilal dapat dilihat bila iritifa’nya minimal 2 derajat. Kelompok lainnya menyatakan iritfa’ itu tidak boleh kurang dari 6 derajat. Berdasarkan metode ini, masing-masing kelompok berijtihad dalam penentuan tanggal 1 Syawal. Adapun yang menjadi landasan aliran ru’yah adalah hadits Rasulullah SAW :

Berpuasalah kamu sekalian karena melihat bulan (awal Ramadhan). Dan berbukalah kamu sekalian karena melihat bulan (Idul Fitri). Bila hilal tertutup awan di atasmu, maka genapkanlah ia menjadi tiga puluh hari (HR. Muslim)

 

Kedua, aliran hisab. Hisab merupakan proses penetapan awal bulan dengan menggunakan metode ilmu hitung. Dasar pijakan aliran Hisab adalah firman Allah :

Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). {QS. Yunus : 5}

Aliran ini mulai berkembang sejak masa Dinasti Abbasiyah (abad ke-8 M). Menurut aliran hisab, ru’yah dapat dipahami melalui prediksi/perkiraan posisi bulan dalam ilmu hisab. Awal dan akhir bulan tidak ditentukan oleh irtifa’ (ketinggian) hilal. Jika menurut ilmu hisab hilal telah tampak, berapa pun ketinggiannya maka hitungan bulan baru sudah masuk.

Demikianlah penjelasan mengapa terjadi perbedaan dalam penetapan bulan baru Hijriah di kalangan umat Islam. Namun kedua hal tersebut memiliki pijakan kuat berdasarkan kuat berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits. Masing-masing metode memiliki hujjah­-nya sendiri. Ustadz Sarwat, pengasuh rubrik “Ustadz Menjawab” di eramuslim.com menjelaskan bahwa perbedaan pendapat dalam banyak masalah cabang syariah adalah sebuah kepastian, tidak mungkin ditampik dan mustahil dihilangkan. Demikian secara umum yang berlaku untuk setiap masalah furu’iyah dalam masalah kajian fiqih. “Namun khusus untuk penetapan tanggal 1 Syawwal, 1 Ramadhan atau pun 1 Dzulhijjah, seharusnya ada kesepakatan di antara para mujtahid. Tidak diserahkan kepada masing-masing orang untuk menetapkan sendiri-sendiri”.

Di masa kita sekarang ini di mana khilafah sudah tidak ada lagi, tradisi menyerahkan urusan jadwal Ramadhan dan Syawwal kepada otoritas penguasa tertinggi yang ada di tengah umat Islam tetap berlangsung.

Rakyat Mesir yang merupakan gudang ulama dan ilmuwan, tetap saja menyerahkan masalah ini kepada satu pihak. Bersama dengan pemerintah yang resmi mereka sepakat menyerahkan masalah ini kepada Grand Master Al-Azhar (Syaikhul Azhar). Dan yang menarik, begitu Syaikhul Azhar menetapkan keputusannya, semua jamaah di Mesir baik Ikhwanul Muslimin, Ansharussunnah, Takfir wal jihad, Salafi sampai kepada kelompok-kelompok sekuler sepakat untuk taat, tunduk dan patuh kepada satu pihak.

Hal yang sama juga kita saksikan di Saudi Arabia. Meski di sana ada banyak jamaah, kelompok, dan aktifis yang sering kali saling menyalahkan dan berbeda pendapat, tetapi khusus untuk jadwal Ramadhan dan Syawwal, mereka bisa akur dan patuh kepada keputusan mufti Kerajaan.

Dan hal yang sama terjadi di semua negeri Islam, mereka semua kompak untuk menyerahkan urusan ini kepada satu pihak, yaitu pemerintah muslim.

Entah bagaimana ceritanya, di negeri kita yang konon negeri terbesar dengan jumlah penduduk muslim di dunia, justru setiap pihak tidak bisa berbesar hati untuk menyerahkan masalah ini ke satu tangan saja. Setiap ormas merasa punya hak 100% untuk menetapkan jatuhnya jadwal ibadah itu.

Bahkan tanpa malu-malu melarang otoritas tertinggi yaitu pemerintah untuk bersikap dan menjalankan tugasnya. Padahal yang diperselisihkan hanya urusan ijtihad yang mungkin benar dan mungkin salah. Nyaris tidak ada kebenaran mutlak dalam masalah ini. Sebab sesama yang rukyat sudah pasti berbeda. Dan sesama yang berhisab juga berbeda. Dan perbedaan itu akan selalu ada.

Padahal masalah ini adalah masalah nasional dan menyangkut kepentingan orang banyak. Seharusnya 200 juta umat Islam menyerahkan masalah ini kepada satu pihak yang dipercaya dan konsekuen untuk patuh dan tunduk.

Satu pihak itu seharusnya adalah pihak yang netral, tidak punya kepentingan kelompok, ahli di bidang rukyat dan hisab serta punya legitimasi. Dan pihak itu adalah pemerintah sah negeri ini. Karena dalam hal ini pemerintah adalah pihak yang merupakan otoritas tertinggi umat Islam. Dan direpresentasikan sebagai Menteri Agama RI. (Kartika/vivnws/ermslm)

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *