Inpasonline.com-Perbedaan antara person merupakan sesuatu yang pasti terjadi. Menghindari perbedaan sama saja menghindari hidup di bumi ini. Tetapi, yang tidak semestinya terjadi itu adalah perpecahan dengan saling menghina. Inti persoalan yang sesungguhnya adalah bagaimana merespon perbedaan. Respon yang tepat setelah seseorang itu faham hakikat perbedaan.
Pertama-tama, mempelajari sebab-musabab dan memahami kedudukan tiap sebabnya. Ada beberapa sebab dan tingkat yang menyebabkan umat Islam berbeda. Pertama perbedaan pada tingkat madzhab akidah, kedua perbedaan pada tingkat madzhab fikih dan ketiga perbedaan pada level pilihat politik.
Perbedaan pada level madzhab akidah contohnya perbedaan Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) dengan Khawarij, Mu’tazilah, Qadariyah, Syiah, dan seterusnya. Perbedaan ini melingkupi ushul ‘aqaid (pokok-pokok akidah) dan furu’ al-‘aqoid (cabang-cabang akidah). Ushul ‘aqoid misalnya tentang perbedaan rukun iman, isu kemakhlukan al-Qur’an, Qadha’ dan Qadar Allah Swt, Sifat serta perbuatan (af’al) Allah Swt, dan lain sebagainya. Furu’ al-aqoid terjadi pada isu-isu misalnya tentang takwil ayat mutasyabihat, dan lain-lain. Pembahasan singkat dan ringkas tentang ini bisa dirujuk karya Syekh Al-Bayanuni berjudul Mafhum Ahlussunnah wal Jamaah dan At-T’adduidyah al-Da’wiyah.
Perbedaan madzhab akidah ini sebabnya antara lain perbedaan dalam mengartikulasikan konsepsi-konsepsi tauhid. Ada yang memiliki pandangan tadqimul aql ‘ala an-naql (mendahulukan akal daripada teks) dalam memahami isu-isu keimanan seperti kaum mu’tazilah. Ada pula yang dasar keimanannya diasaskan oleh al-imamah seperti kaum Syiah. Mereka semua berupaya mentauhidkan Allah Swt, tetapi ada yang metodenya salah ada yang metodenya benar. Metode yang salah itu melahirkan firqah (sekte-sekte) itu. Metode yang benar itu ada pada kelompok Ahlussunnah Wal Jamaah.
Tentu saja, penyatuan (ukhuwah) pada level keyakinan ini cukup sulit dilakukan. Maka, yang paling logis adalah dengan pendekatan toleransi. Rumus toleransi yang masuk akal adalah minoritas menghormati mayoritas. Indonesia ini mayoritas adalah Aswaja, maka sekte-sekte non-Aswaja hendaknya menghormati Aswaja. Jika dibalik, pasti akan terjadi perselisihan sosial. Sedangkan tugas aparatur Negara melaksanakan UUD PNPS 1965 tentang pelarangan penodaan agama.
Level kedua adalah perbedaan madzhab fikih. Dalam realitanya, perbedaan fikih ini lebih “ramai” daripada perbedaan pada level pertama tadi. Kemungkinan sebabnya, selain madzhab fikih bisa bercabang banyak, juga karena perbedaan ini menyangkut amaliyah (perbuatan). Lebih nampak mata daripada perbedaan keyakinan.
Di dunia Islam sampai saat ini, madzhab fikih yang diakui ada empat. Fikih Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyyah dan Hanbaliyah. Keempat imam madzhab ini memiliki sanad keilmuan yang sambung-menyambung. Imam Syafii berguru kepada imam Malik. Imam Ahmad bin Hanbal sendiri adalah murid imam Syafi’i. Imam Hanafi dan Imam Malik pun pernah saling mengambil ilmu.
Perbedaan fikih antar empat imam Madzhab tersebut masuk pada perkara-perkara cabang hukum. Jadi, level perbedaan ini lebih kecil lagi daripada perbedaan pokok akidah seperti tingkat pertama di atas. Karenanya, keempat imam itu tidak pernah saling cela. Bagaimana tidak, mereka memiliki ikatan sanad ilmu yang bersambung.
Diriwayatkan oleh Imam al-Jurjani bahwa di kalangan fuqaha’ (para ahli fikih) mereka tidak pernah mentahdzir madzhab lainnya dengan takfir atau tadlil. Jika mereka ditanya tentang madzhabnya dan madzhab lain yang berbeda dengannya dalam masalah furu’, mereka menjawab bahwa madzhab kami benar (shawab), dan mungkin bisa salah. Dan madzhab lanya salah (khata’) dan mungkin bisa benar (al-shawab). Biasanya pernyataan ini beredar di antara kalangan Imam mujtahid sendiri. Dan memang asalnya ditujukan kepada para imamnya.
Maka, madzhab fikih semestinya bukanlah ‘kendaraan’ untuk memperbanyak pengaruh. Mengalahkan jamaa’ah lain. Menggugat ubudiyah jamaah lain. Jika masih ada yang berfikir seperti ini, maka ada masalah metodologis yang harus diselesaikan. Mengikuti satu madzhab tertentu juga sah. Betapa banyak sekali ulama-ulama ahli hadis, ahli tafsir, tasawuf dan lain-lain yang mengikuti satu madzhab saja.
Jika seseorang itu faham bahwa adanya madzhab itu karena dalilnya dzanni, maka sudah mestinya tidak perlu menggugat-gugat lagi sebuah madzhab. Persoalan furu’iyyah sebaiknya tidak ‘diteriakkan lantang’. Karena bisa menyulut konflik dan perpecahan.
Secara harfiah, madzhab berarti jalan. Madzhab adalah metode untuk memahami ajaran-ajaran agama. Dalam konteks kajian fikih, istilah madzhab diartikan sebagai cirri khas yang dimiliki seorang mujtahid, berupa menggali hukum-hukum furu’iyah yang bersifat ijtihadi yang digali dari dalil-dalil dzanni (Ahmad bin Muhammad al-Hamawi,Ghamz Uyun al-Bashair I/hal.30).
Karena itu, bagi orang awam, madzhab sangat diperlukan. Semua petunjuk dasar dan tuntutan syari’at telah tertuang dalam dua pusaka peninggalan Rasulullah SAW, al-Qur’an dan Hadis. Setiap Muslim wajib merujuk kepada dua sumber hukum tersebut untuk mengetahui segala kewajiban, larangan dan tuntutan syari’at lainnya. Tidak semua orang diberi kemampuan memahami dua pusaka itu dengan baik, kecuali ulama ahli yaitu mujtahid. Maka, yang awam harus ikut yang pakar.
Sementara level paling “buncit” dari sebab perbedaan itu adalah politik. Level perbedaan politik ini lebih rendah lagi dari perbedaan furu’ ahkam fikih (cabang hokum fikih). Namun, meski perbedaan tingkat “buncit”, dalam realitanya umat lebih mudah pecah disebabkan oleh pilihan politik. Di sini perpecahannya lebih luas dan banyak lagi.
Ada yang madzhab akidah dan fikih nya sama, tetapi aliran politiknya berbeda, sehingga sampai terjadi perpecahan. Bisa terjadi, ada saling tahdzir, bahkan penyesatan disebabkan pilihan politik yang berbeda itu. Dalam sejarah, terjadi peperangan sampai berdarah-darah karena perbutan kekuasaan politik.
Hal yang perlu difahami adalah kedudukan level perbedaan tersebut. Sudah semestinya, level atas itu yang perlu diseriusi, tetapi tidak mengabaikan level bahwahnya. Di sini yang paling penting adalah meletakkan perbedaan itu dengan tepat, benar dan wajar. Jangan timpang tindih, sehingga menyebabkan terus-menerus perselisihan sosial.