Menimbang Syiah dari Perspektif NKRI

Fanatisme Syiah

Oleh: A. Kholili Hasib

Inpasonline.com-Perkembangan demi perkembangan mutakhir tentang kelompok Syiah di Indonesia semakin harus diwaspadai. Pergerakan Syiah kini cenderung lebih terbuka, bahkan berani. Kasus terakhir, kampung Majelis az-Zikra pimpinan ustadz Arifin Ilham di Bogor diserang puluhan orang yang diduga suruhan Syiah. Gerombolan penyerang ini kabarnya tidak terima dengan spanduk Majelis az-Zikra yang isinya bahwa Syiah aliran sesat.

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) patut mencemaskan peristiwa ini. Syiah tidak bisa dibaca sebagai sebuah madzhab. Pun juga keliru jika menempatkannya sebagai kelompok yang berbeda fikih. Lebih dari itu, pada kenyataannya, ia merupakan sekte ektrimis-radikal, dan aliran yang berciri khas melakukan agitasi dan revolusi sebagai tujuan akidahnya.

Ayatullah Khomeini, pemimpin besar Revolusi Iran tahun 1979, menulis buku petunjuk mendirikan “Negara Islam ala Syiah”. Buku berjudul “al-Hukumah al-Islamiyah” (edisi Indonesia Sistem Pemerintahan Islam) berisi motivasi dan hasutan untuk menggulingkan negara-negara Muslim yang bersistem kerajaan dan demokrasi. Cita-cita Syiah adalah sistem politik.

Bagi Khomaini, Islam yang ideal dan sempurna adalah Islam yang terapkan pemerintahan Islam di bawah kendali Khalifah keturunan ahlul bait atau al-faqih sebagai tim transisi ketika ada kekosongan khalifah. Karena itu, ia mencela keras Daulah Umayyah dan Abbasiyah.

Ia menulis: “Setelah wafatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassallam, musuh-musuh Islam dari Bani Umayyah, semoga Allah melaknat mereka, tidak mengizinkan adanya pemerintahan Islam yang ber-wilayah pada Ali bin Abi Thalib. Mereka tidak mengizinkan terbentuknya pemerintahan yang diridhai Allah Subhanahu Wata’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi Wassallam” (Imam Khomeini, Sistem Pemerintahan Islam, hal. 45).

Pada bagian berikutnya, negara apa saja yang tidak bersistem kepemimpinan imamah Ahlul Bait disebut thaghut atau bersistem kufur. “Karenanya, semua sistem pemerintahan non-Islami adalah sistem kufr. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa pemimpin pemerintahannya adalah thoghut. Tugas kita sebagai Muslim, terhadap sistem kufr, adalah membuang semua pengaruh sistem tersebut dari kehidupan masyarakat kita dan menghancurkannya” (Imam Khomeini,Sistem Pemerintahan Islam, hal. 46).

Kita lihat, Khomeini menghasut umat Syiah dengan menyebut Bani Umayyah sebagai musuh Islam, kaum terlaknat, dan negara kufur. Tidak hanya itu, hasutan tersebut bersifat luas. Negara mana saja yang sistemnya bukan sitem politik Imamah Syiah adalah negara thoghut, kufur, dan wajib dihancurkan.

Politik Syiah telah mewujud menjadi sebuah teologi. Sistem politik yang kini mereka sebut wilayah al-faqih diyakini sebagai sistem politik yang benar dan sistem yang lain adalah sistem sesat. Maka, berdasarkan ‘fatwa’ Khomeini, sistem politik yang ada akan digulingkan. Adapun jika mereka tidak melakukannya maka itu bagian dari taqiyyah atau kebohongan demi memperjuangkan sistem yang sebenarnya mereka inginkan (Hamid Fahmi Zarkasyi dalam Pengantar buku Teologi dan Ajaran Shi’ah Menurut Referensi Induknya, hal. xii). Jadi, ekspresi politik Syiah mengandung dendam, kebencian dan ambisi revolusi.

Pada tahun 1981, Iran menggelar Konferensi Internasional untuk Imam Jum’at dan Jama’ah mengundang pemimpin Negara-negara Muslim di dunia serta para muftinya. Syeikh Muhammad Abdu Qodir Azad, Ketua Majelis Ulama Pakistan, yang ikut konferensi menyaksikan pidato Khomeini berapi-api mendorong kaum Muslim untuk melakukan revolusi seperti yang ia lakukan di Iran.

Kata Khomeini: “Karena itu wahai para ulama! Berangkatlah dari muktamar ini untuk mengadakan revolusi Iran di Negara-negara masing-masing, agar anda semuanya dapat menang dalam usaha yang besar ini. Kalau anda bermalas-malas, maka pada hari kiamat nanti di hari semua manusia dikumpulkan, Allah akan meminta pertanggungjawaban dari masing-masing Anda karena tidak melakukan sesuatu tentang hak Allah dan hak bangsa-bangsa Anda. Lalu ketika itu nanti jawaban apakah yang akan Anda berikan?.” (Muhammad Abdul Qodir Azad, Bahaya Faham Syiah Khomeini, hal.14).

Di kalangan kaum Syiah, tulisan Khomeini ini merupakan fatwa untuk melakukan revolusi di negaranya masing-masing. Khomeini sendiri merupakan tokoh Syiah kontemporer paling kharismatik. Sehingga fatwa ini pernah membakar pemuda Syiah di Indonesia pada tahun delapan puluhan. Pada 24 Desember tahun 1984 aktivis Syiah bernama Jawad alias Ibrahim terlibat aksi peledakan gedung seminari Alkitab Asia Tenggara di Malang dan peledakan candi Borobudur pada 21 Januari 1985.

Dalam pengakuannya, ia nekat melakukannya karena cita-citanya ingin menjadi ‘Imam’ di Indonesia, sebagaimana Khomeini di Iran. Namun Jawad gagal, dan konon kabarnya ia lari ke Syiria.

Sesuai doktrinnya, kesetian Syiah hanya diberikan kepada imam dan imamah dengan sistem politiknya itu. Logikanya, selama seorang itu ber-Syiah Imamiyah, maka sulit melebur menjadi seorang yang nasionalis.

Mencermati hal tersebut, seharusnya pemerintah Indonesia melihat infiltrasi Syiah sebagai ancaman serius. Penyebaran aliran Syiah ke Indonesia atau negara-negara Muslim lainnya membawa sedikitnya dua dampak yang berbahaya:

Pertama, akan menuai konflik sosial seperti kasus Sampang dan bahkan dapat meluas ke tingkat nasional jika tidak dikontrol.

Kedua, akan membahayakan ketahanan, keamanan dan kedaulatan Republik Indonesia (Hamid Fahmi Zarkasyi dalam Pengantar buku Teologi dan Ajaran Shi’ah Menurut Referensi Induknya, hal. xiii). Karena itu NKRI harus waspada terhadap infiltrasi-infiltrasi politis Syiah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *