Oleh: Ainul Yaqin
Inpasonline.com-Mungkin orang bertanya apa relevansinya membahas Syi’ah dalam kaitannya dengan NKRI. Pertanyaan ini biasa dimunculkan oleh orang yang tidak ambil pusing dengan perkembangan sekte Syi’ah yang semakin terang-terang. Padalah dengan membonceng isu kebebasan dan HAM serta kontra isu SARA kelompok ini secara sengaja berusaha mengembangkan sayapnya. Bahkan mereka tidak segan-segan menggunakan cara-cara yang tidak elok antara lain termasuk melancarkan isu wahabisme kepada kelompok-kelompok Islam yang mencoba melakukan penghambatan. Isu wahabisme cukup efektif untuk membuat orang khususnya kalangan Nahdhiyyin menjadi lebih dulu apriori pada orang-orang yang anti Syi’ah disaat yang sama menjadi tidak kritis pada syi’ah sendiri.
Tulisan ini secara ringkas ingin mengulas bahwa dalam konteks NKRI Syi’ah bisa menjadi ancaman. Setidaknya ada dua hal ancaman Syi’ah terhadap NKRI di masa yang akan datang. Pertama karena umat Islam Indonesia apapun organisasi yang diikutinya, adalah berfaham ahlussunah wal Jama’ah. Kongres umat Islam VI di Jogjakarta 2015 menegaskan bahwa Indonesia wilayah yang dihuni umat Islam berfaham ahlussunnah yang mempunyai pemahaman yang berbeda sangat mendasar dengan Syi’ah. Jika yang disebut ahlussunnah adalah faham yang berangkat pada pemikiran “ma ana alaihi wa ashhabii” maka Syi’ah adalah kelompok yang mengingkari sahabat.
Adalah merupakan suatu kesalahan, jika dinyatakan bahwa perbedaan antara Syi’ah (Imamiyah Itsma Asyariyah) dengan Ahlusunnah adalah semata-mata masalah furu’iyah saja. Ajaran Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariyah, bila dilihat dari perspektif keputusan ijtima ulama MUI tentang Taswiyat al-Manhaj, keberadaannya sudah di luar koridor majal ikhtilaf (wilayah perbedaan) lagi, tetapi sudah memasuki wilayah prinsip sehingga masuk pada wilayah penyimpangan.
Diantara doktrin Syi’ah yang utama adalah kebencian terhadap sahabat Nabi Saw. Doktrin ajaran mereka melaknat serta memaki-maki sahabat Nabi Saw utamanya Abu Bakar ra, Umar ibn al-Khatthab ra, Utsman bin Affan ra, bahkan memaki-maki istri Rasulullah Saw. Penyataan penghinaan terhadap sahabat Nabi Saw dimuat dalam buku-buku mereka dan diucapkan dalam do’a mereka seperti do’a untuk dua berhala Quraisy. Yang dimaksud dengan dua berhala Quraisy adalah Abu Bakar al-Shiddiq ra dan Umar ibn al-Khatthab ra.
Sebagai contoh riwayat yang mereka tulis di buku rujukan utama mereka yang melaknat terhadap Abu Bakar dan Umar adalah sebagai berikut:
وإن الشيخين (-أبا بكر وعمر-) فارقا الدنيا ولم يتوبا ولم يتذكرا ما صنعا بأمير المؤمنين فعليهما لعنة الله والملائكة والناس أجمعين (روضة الكافي/ ص 133, رقم 343)
Sesungguhnya dua orang ini (Abu Bakar dan Umar) keduanya melepas dunia dalam keadaan tidak bertaubat dan tidak mengingat (menyesali) apa yang diperbuatnya pada amiril mu’minin, maka atas keduanya laknat Allah, para malaikat, dan manusia semuanya. (Raudhat al-Kafi hal 133 riwayat No. 343)
al-Majlisi menjuluki Abu Bakar dan Umar sebagai al-Jibt dan al-Thaghut:
ومن الجبت أبو بكر ومن الطاغوت عمر والشياطين بني امية وبني العباس
Dan yang termasuk berhala itu adalah Abu Bakar, dan thaghut itu adalah Umar, sedangkan syetan-syetan itu adalah Bani Umayyah dan Bani Abas.
Jika Ahlussunnah sangat berhati-hati melakukan takfir, buku pegangan Syi’ah secara terang-terang menyebut bahwa sahabat kebanyakan telah murtad seperti dalam riwayat berikut:
كان الناس أهل ردة بعد النبي صلى الله عليه وآله إلا ثلاثة وهي: المقداد بن الأسود وأبو ذر الغفاري و سلمان الفارسي رحمة الله وبركاته عليهم (روضة الكافي ص 133 ر. 341؛ بحار الانوار ج 22/ ص351)
“Kebanyakan manusia telah murtad sesudah wafat Rasulullah Saw kecuali tiga orang saja, yakni: Al-Miqdad bin al-Aswad, Abu Dzar al-Ghifari, dan Salman al-Farisi” (Raudlat al-Kafi hal 133 dan Bihar al-Anwar Juz 22 hal 351).
Bagaimana mungkin bisa diterima ketika dikatakan bahwa Abu Bakar ra dan Umar ra disebut laknatullah?
Sahabat Nabi lebih-lebih sahabat utama seperti Abu Bakar dan Umar adalah sosok yang sangat dihormati dalam pandangan Ahlussunnah. Para ulama Ahlussunnah sepakat bahwa sahabat Nabi Saw semuanya adalah adil sehingga sahabat tidak pernah dikritisi sebagai penyampai riwayat hadits. Dalam al-Qur’an Allah Swt telah memuji sahabat Nabi Saw dalam banyak ayat yang antara lain dalam surat al-Fath ayat 29:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka ruku` dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. …
Demikan pula pujian Allah Swt terhadap sahabat Muhajirin dan Anshar sebagaimana dalam firman Allah Swt surat al-Taubah ayat 100.
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar”.
Sikap kaum Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariyah yang begitu benci terhadap Sahabat Nabi Saw ini merupakan turunan dari pokok ajaran mereka tentang imamah. Masalah imamah memang merupakan ajaran pokok bagi Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariyah. Bahkan karena keyakinan terhadap masalah imamah ini sampai-sampai mereka mengatakan bahwa tuhan mereka berbeda dengan tuhan Ahlussunnah yang mengakui kekhalifahan Abu Bakar ra, seperti yang dikatakan oleh Nikmatullah al-Jazairi dalam al-Anwar al-Nu’maniyah:
إنا لم نجتمع معهم على إله ولا على نبي ولا على إمام، وذلك أنـهم يقولون: إن ربـهم هو الذي كان محمد نبيه وخليفته بعده أبو بكر. ونحن لا نقول بـهذا الرب ولا بذاك النبي، بل نقول: إن الرب الذي خليفة نبيه أبو بكر ليس ربنا ولا ذلك النبي نبينا
”Sesungguhnya kami tidak bisa berkumpul bersama mereka (Ahlu Sunnah-pen) di dalam satu Tuhan dan tidak dalam satu nabi dan satu imam. Hal ini dikarenakan mereka (Ahlu Sunnah) berkata bahwa ”Sesungguhnya Rabb mereka adalah yang Muhammad sebagai nabi-Nya dan Abu Bakar sebagai khalifah sesaudahnya. Namun, kami tidak mengatakan dengan Tuhan ini dan tidak juga dengan nabi ini. Akan tetapi kami mengatakan, ”Sesungguhnya tuhan yang khalifah nabi-Nya) Abu Bakar adalah bukan tuhan kami dan nabi itu juga bukan nabi kami. (al-Anwar al-Nu’maniyah II/ hal. 191)
Dengan memperhatikan fakta di atas saja, sudah cukup untuk mengatakan bahwa Syi’ah dan ahlussunah adalah ibarat air dan minyak yang tidak mungkin bisa bertemu. Jika demikian, pertanyaan mendasar yang perlu difikirkan, akankah ke depan bisa stabil jika ambisi Syi’ah secara terus menerus dibiarkan untuk menggerogoti para pengikut Sunni. Tentu umat Islam sunni tidak akan rela untuk di-Syi’ahkan. Jika upaya-upaya ini tidak dicermati sejak dini tidak terelakkan lagi konflik demi konflik akan terjadi, inilah masalahnya. Karena itu ambisi Syi’ah untuk menyebarkan fahamnya di wilayah-wilayah sunni sudah semestinya dicegah. Fakta yang sudah terjadi di setiap episode sejarah, Syi’ah adalah kelompok yang menjadi pemberontak terhadap kekuasaan yang sah. Kasus Yaman saat ini cukup untuk menjadi bahan instropeksi.
Hal yang kedua adalah berkaitan dengan doktrin ajaran Syi’ah itu sendiri antara lain doktrin imamah atau wilayah, yang merupakan doktrin kepemimpinan dalam Syi’ah yang tidak hanya doktrin fikih tapi doktrin aqidah. Al-Wilayah adalah bagian dari rukun Islam yang dikokohkan dengan rukun iman mereka. Doktrin imamah merupakan doktrin inti. Bahkan kultus mereka yang berlebihan terhadap Imam-imam mereka sampai-sampai menyatakan bahwa al-Qur’an tidak lengkap, yang tahu lengkapnya hanya imam mereka. Pernyataan al-Qur’an tidak lengkap ini misalnya ditulis dalam buku mereka antara lain:
ما يستطيع احد ان يدعّي أن عنده جميع القران كله ظاهره وباطنه غير الاوصياء (اصول الكافي ج1/ص 136)
“tidak seorangpun mampu untuk mengaku bahwa padanya terdapat kumpulan al-Qur’an yang lengkap lahir dan batin selain orang-orang yang mendapatkan wasiat (yakni para imam)” (Ushul al-Kafi Juz I hal 136)
Doktrin imamah inilah yang melahirkan doktrin takfiri, misalnya bisa dicermati dalam riwayat yang ditulis oleh al-Majlisi:
إعلم أن إطلاق لفظ الشرك والكفر على من لم يعتقد بإمامة أمير المؤمنين والائمة من ولده عليهم السلام وفضّل عليهم غيرهم يدل على أنهم كفار مخلدون في النار ( بحار الانوار ج 23/ ص390)
Ketahuilah bahwa penetapan kata syirik dan kufur terhadap orang yang tidak mengimani keimaman amiril mu’minin dan imam-imam dari keturunannya serta mengutamakan para imam atas yang lain, menunjukkan bahwa mereka adalah kafir dan kekal di neraka. (Bihar al-Anwar Juz 23 hal 390)
Doktrin kafir tidaklah seberapa, tetapi doktrin penghalalan darah ini yang berbahaya. Doktrin ini juga bisa dicermati dalam riwayat yang ditulis oleh al-Majlisi:
عن داود بن فرقد قال: قلت لأبي عبد الله ما تقول في قتل الناصب؟: قال: حلال الدم، ولكني أتقي عليك، فإن قدرت أن تقلب عليه حائطًا أو تغرقه في ماء لكيلا يشهد عليك فافعل (كشف الأسرار وتبرئة الأئمة الأطهار ص 85 ؛ بحار الأنوار ج27/ 231)
Dari Dawud bin Farqad dia berkata: “Aku bertanya kepada Abu Abdillah: “Apa pendapat engkau tentang membunuh al-Nashib (Ahlus sunnah)? Ia menjawab, ‘Halal darahnya, tetapi aku merasa khawatir kepadamu. Namun jika kamu mampu menimpakan padanya tembok atau menenggelamkannya kedalam air agar tidak ada seorang pun yang bersaksi atasmu, maka lakukanlah” (Bihar al-Anwar Jus 27 hal 231)
Inilah doktrin tersembunyi dari ajaran Syi’ah. Sampai saat ini tidak ada klarifikasi terkait riwayat-riwayat seperti ini. Doktrin imamah bisa bisa menjadi pembenaran untuk menggulingkan pemerintah yang sah, yang bisa saja dilakukan dengan menumpahkan darah. Akankah paham seperti ini dibiarkan berkembang. Akankah Negara Kesatuan Republik Indonesia ini dibiarkan tercerai berai di masa yang akan datang. Jika ini tidak kita kehendaki tidak sepatutnya memberikan kesempatan faham ini disebarkan di lingkungan ahlussunnah di Indonesia.
Waallahu a’lam
Penulis adalah Sekretaris Umum MUI Jatim
.