Menyikapi pernyataan tersebut, KH Abdusshomad Buchori dengan ringan menjawab, “Sayangnya Saudara hanya membaca buku itu. Kenapa Saudara tidak membaca langsung buku-buku yang menjadi sumber rujukan ajaran Syi’ah seperti al-Kafi dan sebagainya?”
Kita bisa berprasangka baik barangkali si pengritik yang mengkritik fatwa MUI Jatim ini termasuk orang yang mempunyai harapan besar terjalinnya ukhuwah Islammiyah yang memang menjadi dambaan banyak orang. Tapi sayangnya, ia belum tahu yang sebenarnya tentang ajaran Syi’ah, sehingga ia salah faham dengan fatwa MUI Provinsi Jawa Timur. Orang-orang yang tidak memahami hakikat faham Syi’ah pun bisa mempunyai kesimpulan yang sama kelirunya dengan si pengritik tadi terhadap keberadaan fatwa MUI Provinsi Jawa Timur tentang Syi’ah.
Bahkan, kerinduan akan terjalinya ukhuwah antara Ahlussunnah dan Syi’ah dalam jalinan Ukhuwah Islamiyah pun pernah keluar dari hati yang dalam Prof. Dr. M Quraish Shihab, sampai-sampai beliau menulis buku yang diberi judul “Sunnah-Syi’ah Bergandengan Tangan, Mungkinkah?” Namun, buru-buru pertanyaan ulang perlu dikemukakan, “Mungkinkah Ahlussunnah dan Syi’ah bergandengan tangan dalam bingkai Ukhuwah Islamiyah?
Masalahnya justru terletak pada doktrin ajaran Syi’ah itu sendiri yang bersumber dari buku-buku yang menjadi rujukan dasar faham mereka. Jika di buku yang menjadi rujukan mereka disebutkan bahwa darah penganut Ahlussunnah halal (lihat Bihar al-Anwar Juz 27/h. 231) dan orang selain Syi’ah adalah syirik dan kafir (Bihar al-Anwar Juz 23/h. 390), apa bisa Syi’ah ketemu dengan Ahlussunnah? Jika di buku mereka, sahabat Nabi Muhammad Saw dicaci-maki dan disebutkan bahwa kebanyakan Sahabat Nabi Saw murtad (lihat Raudlat al-Kafi h.198 dan Bihar al-Anwar Juz 22/h. 351) apa ini bisa ditolerir? Jika di buku rujukan utama mereka dinyatakan bahwa sayyidina Abu Bakar dan sayyidina Umar adalah terlaknat oleh Allah (lihat (Raudlat al-Kafi h. 198 riwayat No. 343) apa bisa kita menerimanya? Jika disebutkan di buku rujukan dasar mereka bahwa al-Qur’an yang ada saat ini tidak asli alias sudah berubah (telah mengalami tahrif) apa bisa kita menerimanya? Dan masih banyak lagi doktrin-dontrin yang mustahil untuk dikompromikan, seperti rukun Iman dan Rukun Islamnya yang berbeda.
Inilah yang menjadi titik krusial yang menjadikan hampir mustahil mempersatukan Syi’ah dan Ahlussunnah dalam bingkai Ukhuwah Islamiyah. Jadi, Syi’ah dan Ahlussunnah akan bisa akur dalam bingkai Ukhuwah Islamiyah jika dan hanya jika mereka berani membongkar doktrin ajaran mereka yang bersumber pada buku-buku mereka utamanya menguji kesahihan riwayat-riwayat yang tertera di buku mereka seperti al-Kafi, Bihar al-Anwar, al-Istibshar dan sebagainya. Tapi apa mungkin hal itu dilakukan? Faktanya para pengikut Syi’ah masih beretorika dengan taqiyah mereka. Mereka seolah-olah tidak mengakui adanya doktrin-doktrin tersebut. Dengan kelembutan, mereka mengelabui para pengikut Ahlussunnah. Bankan mereka membuat kesan hendak merangkul Ahlussunnah sehingga banyak pengikut Ahlussunnah menjadi kesengsem, terkagum-kagum. Namun, pada saat yang sama doktrin-doktrin tersebut masih terpampang di buku-buku mereka. Para pemuka Syi’ah yang selama ini dikonotasikan sebagai Syi’ah moderat sekalipun seperti Abdul Husain bin Syarafuddin al-Musawi, juga masih memegang teguh bahwa buku-buku itu merupakan rujukan utamanya. Buku al-Kafi misalnya, masih diunggulkan sebagai kitab utama mereka. Buku al-Kafi ini memuat tiga bagian yaitu Ushul al-Kafi, Furu’ al-Kafi dan Raudhat al-Kafi. Kitab al-Kafi ini banyak memuat riwayat-riwayat yang janggal dan tidak masuk akal seperti riwayat yang dinisbahkan kepada Imam Muhammad al-Baqir yang menyatakan bahwa Sahabat Abu Bakar r.a. terlaknat oleh Allah Swt (lihat Raudlah al-Kafi hal 133). Padahal, kita tahu bahwa Muhammad al-Baqir telah menikahi cicit Abu Bakar r.a. yakni Farwah binti Qasim bin Muhammad bin Abubakar Al-Shiddiq yang tidak lain ibunda Imam Ja’far Shadiq. Kendatipun demikian, pemuka Syi’ah Abdul Husain bin Syarafuddin al-Musawi memuji-muji al-Kafi sebagai kitab paling shahih. Dalam bukunya al-Muraja’at hal 419, ia mengatakan:
وَهِيَ مُتَوَاتِرَةٌ وَمَضَامِيْنُهَا مَقْطُوْعٌ بِصِحَّتِهَا, وَالْكَافِي أَقْدَمُهَا وَأَعَظْمُهَا وَأَحْسَنُهَا وَأَتْقَنُهَا
Kitab-kitab tersebut (yaitu al-Kafi, al-Tahdzib, al-Istibshor, dan Man La Yahdluruhu al-Faqih) adalah mutawatir dan isinya dipastikan shohih, sedangkan al-Kafi ialah yang paling dahulu, paling agung, paling baik, paling teliti.
Walhasil, wacana Ahlussunnah dan Syi’ah bergandengan tangan dalam bingkai Ukhuwah Islamiyah yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh Syi’ah hanyalah isapan jembol belaka dan bahkan hanya main-main saja. Inilah yang harus disadari oleh para pengikut Ahlussunnah yang selama ini banyak yang kesengsem dengan Syi’ah, bahkan sampai menyalah-nyalahkan sesama kaum Sunni yang selama ini kritis terhadap Syi’ah. Ini pulalah yang sebenarnya yang ditunjukkan oleh Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Timur. Fatwa ini menyatakan, selama Syi’ah mengajarkan doktrin-dontrin seperti yang tertuangkan di buku-buku mereka seperti melecehkan Sahabat Nabi Saw dan sebagainya, jelas faham mereka adalah sesat dan harus diwaspadai. Wallahu a’lam. []