Memilih Guru yang Baik

Written by | Pendidikan Islam

Oleh: Ahmad Kholili Hasib

u0v36875Inpasonline.com-Di zaman teknologi yang semakin canggih, khususnya teknologi informasi, memudahkan manusia mengakses info, berita dan ilmu pengetahuan. Saat ini, setiap individu tidak sulit mencari tahu apa saja dengan cepat melalui internet. Di satu sisi, modernisasi teknologi informasi membantu manusia menyelesaikan pekerjaanya dengan efisien. Tetapi di sisi lain, menusia bisa mencari apa saja tanpa batas, baik pengetahuan yang benar maupun pengetahuan yang keliru, bahkan bisa membahayakan.

Ada gejala umum di masyarakat modern saat ini, mencari tahu pengetahuan agama melalui internet, tanpa melalui guru. Peran guru dimarginalkan, bahkan dinafikan. Bertanya hukum kepada google bukan kepada ulama atau mufti.

Teknologi informasi dan media sosial yang mengakses info secara cepat itu, mencipta manusia-manusia yang malas. Mereka mencukupkan diri belajar agama melalui internet, majalah dan selebaran-selebaran terbatas. Keyakinan bahwa internet menggantikan guru mulai menggejala pada masa ini.

Baru-baru ini, cukup banyak gejala seseorang yang memiliki riwayat dunia akademik yang bagus, begitu mudahnya mengikuti aliran keagamaan yang menyimpang. Ajaran-ajaran keagamaan yang aneh pun tidak membuat mereka berpikir kritis dan cerdas. Padahal dengan tingkat pendidikan tinggi yang baik, keanehan sebuah aliran semestinya disaring dengan baik. Menjamurnya pengikut aliran sesat dari orang terpelajar, disebabkan salah satunya karena salah memilih guru.

Akibat salah dalam berguru seseorang yang semula baik pemahaman agamanya menjadi liberal. Ketika di pesantren belajar tafsir, fiqih, tasawuf dan lain-lain. Tetapi begitu masuk perguruan tinggi, disebabkan cara pandangnya yang masih lemah, akhirnya selera belajarnya berbelok. Terlalu kagum dan taqlid buta dengan kajian orientalis. Mereka lalu mengganti tafsir dengan hermeneutik. Samahah (toleransi) diganti pluralisme. Fiqih diganti dengan faham humanisme. Dan seterusnya.

Padahal dalam Islam, mencari ilmu dan guru itu harus hati-hati. Ibnu Sirin meriwatkan: “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka hati-hatilah kalian dari manakah kalian mengambil agama kalian” (HR Muslim).

Hadis tersebut memberi peringatan agar dalam menimba ilmu agama harus memiliki sanad (transmisi) dari guru agama yang kompeten. Sanad inilah yang menjaga ilmu dan agama. Karena itu Ibnu Mubarak mengatakan: “Sanad adalah bagian dari agama, jika bukan karena sanad maka setiap orang benar-benar akan berkata -tentang urusan agama- apapun sesuai yang ia inginkan”.

Sanad adalah mata rantai orang-orang yang membawa sebuah disiplin ilmu (Silsilah ar-Rijâl). Mata rantai ini terus bersambung satu sama lainnya hingga kepada pembawa awal ilmu-ilmu itu sendiri; yaitu Rasulullah. Integritas sanad dengan ilmu-ilmu Islam tidak dapat terpisahkan. Sanad dengan ilmu-ilmu keislaman laksana paket yang merupakan satu kesatuan. Seluruh disiplin ilmu-ilmu Islam dipastikan memiliki sanad. Dan Sanad inilah yang menjamin keberlangsungan dan kemurnian ajaran-ajaran dan ilmu-ilmu Islam sesuai dengan yang dimaksud oleh pembuat syari’at itu sendiri; Allah dan Rasul-Nya.

Belajar kepada guru yang memiliki sanad yang terhubung dengan para ulama terdahulu merupakan salah satu jalan mengamankan belajar kita. Guru lah yang akan menerangkan maksud satu ayat atau hadis, sesuai dengan penjelasan para ulama terdahulu. Kita hari ini tidak pernah bertatap muka dengan Imam Syafi’i, Imam Nawawi, Imam al-Ghazali dan lain-lainnya. Akan tetapi, dengan sanad itu, kita bisa mengetahui penjelasan-penjelasan para imam teresebut terhadap satu masalah melalui guru. Jika ada pemahaman kita yang tidak tepat terhadap suatu pendapat imam, maka gurulah yang akan meluruskan.

Syekh Zarnunji dalam Ta’lim Muta’allim menjelaskan, dalam memilih guru sebaiknya guru yang lebih pandai, wira’i, lebih tua, Ilmu dapat diperoleh dengan enam hal, yaitu: cerdas, tekun, sabar, punya biaya, memperoleh petunjuk guru, dan waktu yang lama.

Imam Malik memperingatkan bahwa ilmu agama tidak boleh diambil dari empat golongan: ”Pertama, Orang yang bodoh yang menampakkan kebodohannya meskipun ia banyak meriwayatkan dari manusia; Kedua, Pendusta yang ia berdusta saat berbicara kepada manusia, meskipun ia tidak dituduh berdusta atas nama Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam (dalam hadits); Ketiga, Orang yang menurutkan hawa nafsunya dan mendakwahkannya; dan Keempat, Orang yang mempunyai keutamaan dan ahli ibadah, namun ia tidak tahu apa yang dikatakannya (yaitu tidak faqih)”

Ketika kita belajar kepada guru yang baik, maka kita mengamanahkan suatu amanah yang cukup besar kepada guru itu. Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan untuk menyerahkan amanah kepada ahlinya (QS. Al-Nisa:58 ). Para ulama dahulu mengajarkan, sebelum talaqqi kepada seorang guru, diteliti dahulu kredibilitas, otoritas dan kualitasnya.

Jika ingin belajar fikih, datang kepada syaikh ahli fikih. Untuk mendalami ilmu tafsir, ber-mulazamah dengan ulama yang mengerti ilmu tafsir. Begitu pula ilmu-ilmu yang lainnya. Jika keliru guru, maka agama kita bisa keliru pula. Pengajar di fakultas kedokteran misalnya, adalah orang-orang yang ahli di bidang kedokteran, bukan dukun. Jika mahasiswa diajar ilmu kedokteran oleh dukun, maka mereka setelah lulus bukan menjadi dokter tetapi bisa menjadi dukun.

Selama beberapa dekade ini, ada kecenderungan di kalangan akademisi muslim belajar ilmu syariah ke orang non-Muslim di negara-negara Barat. Mereka mulazamah dengan para orientalis karena terpikat dengan metode pengkajian. Ilmuan non-Muslim (orientalis) itu boleh jadi memiliki pengetahuan banyak tentang ilmu tafsir, misalnya. Akan tetapi cara memandang kitab suci al-Qur’an, nabi Muhammad Saw dan Allah Subhanahu wa ta’ala berbeda dengan cara pandang kita sebagai Muslim.

Seluas apapun ilmuan non-Muslim tersebut mengetahui al-Qur’an dan sejarah Nabi Saw, mereka tetap tidak percaya bahwa al-Qur’an itu wahyu Allah Subhanahu wa ta’ala. Mereka juga ingkar bahwa Nabi Muhammad Saw adalah utusan-Nya. Lalu apa yang kita dapatkan dari belajar ilmu al-Qur’an kepada orang yang tidak percaya atau ingkar kepada al-Qur’an? Islam meyakini bahwa al-Qur’an itu petunjuk (hudan), bukan buku biasa. Maka banyak akademisi yang belajar ilmu al-Qur’an tapi tidak mendapatkan petunjuk. Sama halnya, seseorang belajar membuat pesawat kepada orang yang tidak percaya bahwa pesawat itu bisa terbang.

Tetapi, setelah kita mendapatkan guru yang baik dan ahli, tidak boleh ada perasaan aman dan memastikan kita akan menjadi baik seperti guru itu. Perasaan ini merupakan bentuk kesombongan. Sebab yang memberi petunjuk adalah Allah Subhanahu wa ta’ala, guru dan kitab merupakan alat untuk mendapatkan hidayah Allah Subhanahu wa ta’ala. Ibnu Athoillah al-Sakandari berkata: “Tidak semua orang yang berguru kepada seseorang akan mendapatkan petunjuk. Jangan merasa aman karena kau telah berguru kepada beberapa Syaikh” (Ibnu Athoillah al-Sakandari,Tajul Arus,hal. 421).

Menurut Ibnu Athoillah, semestinya seseorang yang belajar kepada guru harus bertambah rasa takutnya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, dan berkurang kesombongannya. Karena para Syaikh itu merupakan orang-orang yang takut kepada-Nya. Artinya, selama kita berguru dengan seorang Syaikh tidak boleh membanggakan diri bahwa ‘saya murid fulan bin fulan”. Seorang murid yang bertambah rasa takutnya, berarti ia mendapatkan petunjuk. Sebaliknya murid yang bertambah kesombongannya berarti sedang menjauh dari petunjuk Allah Subhanahu wa ta’ala.

Ahli ilmu yang takut kepada Allah Subhanahu wa ta’ala itulah yang patut dipilih untuk membimbing kita. Luqman al-Hakim pernah menasihati anaknya: “Hai anakku, duduklah bersama para ulama dan dekatilah mereka. Sebab Allah Subhanahu wa ta’ala menghidupkan hati yang mati dengan cahaya hikmah sebagaimana Dia menghidupkan tanah yang mati dengan air hujan” (Muhammad bin Ibrahim Al-Randi,Ghaits al-Mawahib al-Aliyyah Syarh al-Hikam al-Athoiyyah, hal. 42).

 

 

 

Last modified: 07/03/2017

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *