Oleh: Alwi Alatas
Inpasonline.com-Khurshid Ahmad membuat satu kata pengantar yang ringkas untuk buku Journey to Islam, sebuah diary perjalanan masuk Islam Murad W. Hofmann (2001). Ia membuka tulisannya dengan satu kalimat yang tajam, bukan tentang Hofmann yang menjadi penulis buku itu, tetapi tentang modernitas yang dilahirkan oleh peradaban tempat sang mualaf Jerman itu berasal. “Bahaya dari manusia modern mungkin dapat diringkas dalam sedikit kalimat,” tulisnya, “kita telah belajar untuk terbang di langit seperti burung-burung dan berenang di lautan seperti ikan-ikan, tetapi kita masih saja belum belajar hidup di atas bumi sebagai manusia-manusia yang baik (good human beings).”
Ahmad kemudian menyontohkan betapa di abad ke-20 telah terjadi dua perang dunia dan beberapa perang lainnya yang merengut lebih dari 100 juta nyawa manusia. Ia juga menyoroti tentang kemajuan ekonomi yang ternyata menyisakan ketimpangan sangat besar di antara negara-negara dan warga dunia. 40% manusia hidup dalam kemiskinan dan separuh darinya berada pada kemiskinan yang sangat parah, sementara 87% GDP dunia dikuasai oleh hanya sekitar 18% penduduk saja.
Bukan hanya dalam hal perang dan ketimpangan ekonomi, peradaban modern juga telah menciptakan krisis luar biasa dalam sektor-sektor lainnya. Spesies manusia di bawah kepemimpinan masyarakat modern, misalnya, telah menjadi ancaman yang sangat serius terhadap lingkungan, dan karenanya juga terhadap diri mereka sendiri. PBB dalam un.org melaporkan bahwa sejak 1980 wilayah Kutub Utara yang merupakan barometer perubahan iklim di belahan dunia lainnya telah mengalami peningkatan suhu dua kali lebih besar dibandingkan rata-rata yang terjadi di dunia. Hal ini membawa ancaman yang semakin nyata akan mencairnya es di kutub dan naiknya permukaan air laut.
Daniel Berger dalam msnbc.com pada tahun 2015 menyebutkan bahwa gaya hidup masyarakat Amerika Serikat, sekiranya diikuti oleh seluruh penduduk dunia, maka akan diperlukan lima buah bumi untuk memenuhi keperluan sumber daya bagi semua orang tadi. Ia juga menyebutkan bahwa lebih dari satu juta spesies terancam punah disebabkan oleh perubahan ekosistem, musnahnya sejumlah habitat, dan semakin asamnya air laut.
Seorang tokoh Indian Amerika, John Mohawk, menyatakan bahwa peradaban Barat telah memberikan dampak yang mengerikan lewat eksploitasi alam yang mereka lakukan. Tidak kurang 140 spesies burung dan hewan lainnya telah punah sejak kedatangan orang-orang Eropa ke benua Amerika. Ini belum termasuk pemusnahan penduduk asli, pencemaran air, dan perusakan hutan. Semua itu pada akhirnya akan berdampak pada manusia juga. Karena itu menurut Mohawk peradaban Barat telah menempuh satu jalan kematian bagi umat manusia (Husaini, 2005: 124-125).
Beberapa tahun sebelum Kurshid Ahmad, Abul Hasan Ali an-Nadawy (1988: 274) juga pernah menulis kesimpulan yang senada di dalam buku Kerugian Apa yang Diderita Dunia Akibat Kemerosotan Kaum Muslimin. Ia mengkritik masyarakat Barat modern yang menurutnya “telah mencapai semua keinginan yang dituju, memiliki segala macam sarana yang serba lengkap, bahkan telah pula memiliki cara hidup yang berlebihan, tetapi mereka tidak mengenal prinsip-prinsip pokok dan asas-asas kehidupan manusia, peradaban dan moral.”
Intinya, di tengah kemajuan sains, teknologi, dan ekonomi sekarang ini ada persoalan mendasar yang diderita oleh masyarakat modern. Wan Mohd Nor (2011: 2) mengatakan bahwa dalam upayanya membangun negara maju masyarakat Barat hanya menekankan pada akal dan kebendaan. Adapun agama dan keturunan tidak mendapat tempat yang selayaknya, “malah agama dan keturunan dianggap sebagai penghalang kepada kemajuan.” Padahal dalam pandangan alam Islam, negara maju adalah negara yang sukses dalam mewujudkan maqashid al-syari’ah, yaitu menjaga kehidupan, agama, akal, harta benda, dan keturunan. Tanpa pencapaian yang utuh ini, termasuk di dalamnya penjagaan atas agama dan keturunan, tentu mustahil dihasilkan manusia yang baik seperti yang telah disinggung di awal artikel ini.
Berbagai persoalan yang telah disinggung di atas membuat kita bertanya-tanya apa sebenarnya yang membuat peradaban Barat modern gagal dalam mengemban tanggung jawab moralnya serta terjebak dalam krisis yang mengancam eksistensi manusia. Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu menelitinya antara lain, jika tidak dikatakan utamanya, pada sistem pendidikan yang berlaku di tengah peradaban tersebut. Karena pendidikan serta pandangan alam yang melatarbelakanginya bertanggung jawab atas perubahan mendasar – walaupun biasanya memerlukan waktu panjang – dari manusia-manusia yang menjalaninya.
Masyarakat Barat modern yang telah memimpin peradaban selama lebih dari satu abad terakhir ini terlalu menekankan pada pencapaian ekonomi, teknologi, dan industri dalam tujuan dan arah pendidikannya. Hal ini telah mereduksi manusia modern menjadi calon-calon partikel pabrik dan dunia kerja semata. Memang ada juga sebagian pendidikan modern yang berusaha keluar dari masalah ini dan hendak membentuk peserta didiknya menjadi manusia yang berkarakter baik. Namun, hegemoni sekularisme di hampir semua negara telah meminggirkan atau sangat membatasi peranan agama dalam mencapai tujuan-tujuan pendidikan. Akibatnya, manusia baik yang hendak diwujudkan oleh pendidikan model terakhir ini hanya terbatas pada perwujudan manusia tadi sebagai warga negara yang baik.
Ada penjelasan yang bagus dari Syed Muhammad Naquib al-Attas (1993: 84-85) tentang masalah ini yang akan kami kutip terjemahannya secara agak panjang di bawah ini:
“… tujuan dari menuntut ilmu (seeking knowledge) dari tingkat yang rendah ke tingkat yang tinggi adalah, bagi peradaban Barat, untuk menghasilkan pada diri si penuntut ilmu seorang warga negara yang baik (a good citizen). Kami menegaskan bahwa adalah lebih fundamental untuk menghasilkan seorang manusia yang baik (a good man) dibandingkan menghasilkan seorang warga yang baik, karena seorang manusia yang baik tanpa diragukan lagi tentu akan menjadi seorang warga negara yang baik, tetapi seorang warga yang baik belum tentu juga merupakan seorang manusia yang baik. Dalam pengertian tertentu kami katakan bahwa Islam juga menegaskan bahwa tujuan dari menuntut ilmu adalah untuk menghasilkan di dalam diri si penuntut ilmu seorang warga yang baik, hanya saja yang kami maksud dengan “warga” adalah seorang Warga dari Kerajaan yang lain [negeri Akhirat, pen.], sehingga ia berbuat sedemikian bahkan di sini dan sekarang sebagai seorang manusia yang baik.”
Bagi masyarakat modern, seorang sudah dikatakan baik selama ia tidak melanggar hukum di negara tempatnya tinggal, walaupun mungkin ia seorang penjudi, pezina, homoseks, ataupun seorang pecandu narkoba (jika di negeri itu narkoba tidak dianggap melanggar hukum). Dengan kata lain, maksiat dianggap sebagai urusan pribadi masing-masing. Hal itu tidak mengapa selama tidak mengganggu kepentingan orang lain. Namun ini tidak tepat dalam pandangan Islam.
“Konsep ‘manusia yang baik’ di dalam Islam tidak hanya bermakna bahwa ia harus ‘baik’ seperti yang dipahami oleh pengertian sosial secara umum,” lanjut al-Attas (1993: 85), “tetapi bahwa ia juga harus pertama kali baik kepada dirinya sendiri, dan tidak berlaku tak adil kepada dirinya sebagaimana yang telah kami terangkan, karena jika ia tidak adil terhadap dirinya, bagaimana ia dapat benar-benar adil terhadap orang lain?” Karena itu, jika seorang menaati hukum dan tidak mengganggu orang lain maka ia dikatakan sebagai seorang warga yang baik. Tetapi jika pada saat yang sama ia juga seorang homoseks yang pemabuk, maka ia bukanlah seorang manusia yang baik dalam pandangan Islam, karena ia telah berlaku tidak baik dan tidak adil terhadap dirinya sendiri berdasarkan kenyataan bahwa kedua perilaku maksiat itu merusak keturunan dan akal, di samping juga merusak kesehatan.
Penjelasan tentang konsep manusia yang baik mungkin bisa dipaparkan dalam satu buku tersendiri. Namun secara ringkas dapat dijelaskan di sini bahwa, di samping apa yang sudah diterangkan di atas, seorang manusia yang baik dalam pandangan Islam adalah seorang yang memenuhi hak siapa saja yang memiliki hak atas dirinya, sesuai dengan kadar proporsinya secara seimbang. Ini seperti nasihat yang pernah diberikan oleh Salman al-Farisi ra. kepada Abu Darda’ ra. Dalam satu kesempatan Salman berkata pada sahabatnya itu, “Tuhanmu punya hak atasmu, dirimu punya hak atasmu, dan keluargamu punya hak atasmu. Kamu harus memberikan masing-masing hak itu kepada yang berhak” (HR. Bukhari). Begitu pula masyarakat dan lingkungan, masing-masing juga memiliki hak atas diri kita yang perlu dipenuhi dengan baik sesuai kadarnya. Ini adalah wujud keadilan dan adab. Memang pada akhirnya manusia yang baik adalah manusia yang baik dan beradab.
Demikianlah Islam menghendaki terbentuknya manusia yang baik, bukan sekadar warga yang baik, yang mana hal ini perlu diupayakan antara lain melalui sistem pendidikan yang ada. Karena hanya dengan demikian bisa dihasilkan manusia-manusia yang beradab yang pada gilirannya mampu menjamin kelangsungan peradaban yang baik, yaitu peradaban yang terhindar dari krisis yang berat dan destruktif bagi alam dan bagi manusia itu sendiri.
Daftar Pustaka
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. (1993). Islam and Secularism. Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC).
Berger, Daniel. (2015, April, 15). 7 Scary facts about climate change. Diambil pada tanggal 17 Januari 2018 dari http://www.msnbc.com/msnbc/7-scary-facts-about-climate-change.
Hofmann, Murad Wilfried. (2001). Journey to Islam: Diary of a German Diplomat 1951-2000. Leicester: The Islamic Foundation.
Husaini, Adian. (2005). Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal. Jakarta: Gema Insani.
Al-Nadwy, Abul Hasan Ali al-Hasany. (1988). Kerugian Apa yang Diderita Dunia Akibat Kemerosotan Kaum Muslimin. Bandung: Alma’arif.
Rate of Environmental Damage Increasing Across Planet but Still Time to Reverse Worst Impacts. (2016, Mei, 19). Diambil pada tanggal 17 Januari 2018 dari http://www.un.org/sustainabledevelopment/blog/2016/05/rate-of-environmental-damage-increasing-across-planet-but-still-time-to-reverse-worst-impacts/.
Wan Mohd Nor Wan Daud. (2011). Budaya Ilmu dan Gagasan 1Malaysia: Membina Negara Maju dan Bahagia. Kuala Lumpur: Akademi Kenegaraan.
Last modified: 05/02/2018
Asw. Tulisan2nya sangat bagus dan menarik. Saran, kalau bisa setiap paragrafh dibuat spasi, agar lebih memudahkan dalam membacanya…