Membaca dan Menulis, Tradisi Umat Terbaik

Ilmu nan Vital

Teramat penting posisi ilmu dalam perspektif Islam. Sebab, ternyata, penguasaan atas ilmu berperan sangat besar sebagai penentu kebahagiaan kita di dunia dan akhirat. Maka, sungguh tak mengherankan jika Islam –sebagai agama yang sempurna- kuat memotivasi kita agar tekun dalam mencari ilmu.

Terkait ini, ada fragmen menarik. Ali bin Abi Thalib RA ditanya sahabatnya: “Manakah yang lebih mulia, harta atau ilmu?” Atas masalah itu, tanpa ragu-ragu Ali RA menjawab: “Ilmu lebih mulia!” Ali RA lalu memberi argumentasi. Pertama, ilmu bisa menjaga kita. Sementara, kita-lah yang harus menjaga harta. Kedua, saat kita memberi ilmu kepada pihak lain maka pada hakikatnya ilmu kita menjadi bertambah. Sementara, jika harta kita berikan ke pihak lain maka harta itu berkurang. Ketiga, ilmu menjadikan kita bersatu. Sementara, harta menjadi pemicu pertikaian.  Keempat, ilmu itu warisan para Nabi. Sementara, harta itu warisan Fir’aun dan Qarun.

Ilmu itu warisan para Nabi? Cermatilah! Dan, sesungguhnya Kami telah memberi ilmu kepada Daud dan Sulaiman; dan keduanya mengucapkan: ‘Segala puji bagi Allah yang melebihkan kami dari kebanyakan hamba-hambanya yang beriman’.” (QS An-Naml [27]: 15).

Terkait ini, ada riwayat, bahwa pernah Nabi Sulaiman a.s. diminta untuk memilih satu di antara tiga: harta, kekuasaan, dan ilmu. Maka, dengan sepenuh keyakinan, Sulaiman a.s. memilih ilmu. Belakangan –kita tahu- dengan ilmu di dalam genggamannya, Sulaiman a.s. berkesempatan menjadi raja (memiliki kekuasaan) dan hartapun melimpah di sekelilingnya.  

Sungguh, kita tak boleh berhenti mengejar ilmu, agar derajat kita semakin meninggi. “Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (QS Al-Mujaadilah [58]: 11).

Bahkan, sekalipun pahala berjihad (berperang) di Jalan Allah luar biasa besar, tetapi di saat benar-benar telah datang panggilan jihad, justru Allah-lah yang meminta agar tak semua kaum Muslimin turun ke medan jihad. Tetapi, yang benar, haruslah tetap ada sebagian orang yang terus menyibukkan diri dengan aktivitas menggali ilmu. Cermatilah! “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya (QS At-Taubah [9]: 22). Jika Allah mengatur demikian, maka tak pelak lagi, bahwa segala usaha kita dalam mencari ilmu –kapanpun- bernilai sangat urgen.  

Oleh karena itu, atas kewajiban mencari ilmu, kita harus bisa memanfaatkan setiap kesempatan yang kita punya untuk meraih ilmu sebanyak mungkin. Kecuali pahala yang akan kita dapat, ilmu yang kita miliki akan menjadi landasan yang kukuh atas bangunan iman dan amal kita. Di titik inilah, jalan kebahagian kita –di dunia dan akhirat- sangat ditentukan ‘nasib-nya.

 

Amar Pemicu

Hanya tersedia satu pilihan untuk masuk ke dalam tradisi ilmu, yaitu menjadikan aktifitas membaca dan menulis sebagai keseharian kita. Untuk itu, selagi sehat dan sempat, selalu renungkan dan amalkan perintah mulia ini: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam” (QS Al-‘Alaq [96]: 1-4). Ada penjelasan dari ayat yang disebut terakhir (yaitu ayat keempat), bahwa Allah mengajar manusia dengan perantaraan kalam yaitu tulis-baca.

Kita tahu, antar-ayat Al-Qur’an itu saling terkait. Kini, bacalah ini: “Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis(QS Al-Qalam [68]: 1). Jika kita seksamai, bahwa berdasarkan QS Al-‘Alaq [96]: 1-4 dan QS Al-Qalam [68]: 1, jelas terlihat tentang kesatupaduan aktivitas membaca dan menulis sebagai bagian dari sebuah ajaran yang mulia. Kita menjadi yakin, bahwa membaca dan menulis adalah dua aktivitas yang tak boleh terpisahkan. 

Ajaran Suci –untuk selalu membaca dan menulis- terbukti telah menjadi pemicu hebat terjadinya perubahan besar ke arah kebenaran dan kebaikan. Perhatikanlah sejarah! Di awal Nabi Muhammad SAW mendakwahkan Islam, dalam waktu singkat, mereka yang sebelumnya terkurung dalam alam jahiliyah lalu berubah menjadi suka dengan ilmu. Mereka yang sebelumnya berperilaku buruk berubah menjadi berakhlaq mulia. Mereka yang sebelumya tak diperhitungkan karena ‘bukan siapa-siapa’, lantas keberadaannya diperhatikan warga dunia.

Jika sebelum Islam datang tradisi lisan yang kental mewarnai masyarakat, maka segera setelah Muhammad SAW menyampaikan dakwah situasipun berubah. Tradisi ilmu yang berbasiskan aktivitas membaca dan menulis lalu marak. Misal, Rasulullah SAW meminta sejumlah sahabat untuk mencatat di setiap ada ayat Al-Qur’an yang turun.

Terkait tulis-menulis, ada puluhan sahabat Nabi SAW yang berperan sebagai sekretarisnya. Mereka menuliskan berbagai hal secara khusus. Sebagai contoh, Az-Zubair ibnul Awwam menuliskan harta-harta sedekah. Lantas, Abdullah ibnul Al-Arqam menuliskan masalah hutang-piutang dan perjanjian-perjanjian lainnya. Kemudian, Zaid bin Tsabit bertugas untuk menulis surat kepada raja-raja dan –untuk itu- dia ditugaskan pula memelajari beberapa bahasa asing.

Masih soal pentingnya tulis-menulis, ada fragmen lain yang juga menarik. Agar kemampuan membaca dan menulis segera merata dipunyai umat Islam, maka di saat Perang Badar dibuatlah aturan oleh Nabi SAW. Bahwa, setiap tawanan perang dari pihak musuh dapat membebaskan dirinya, hanya dengan cara sederhana: yaitu mengajarkan baca-tulis kepada umat Islam.

 

Teladan Dua ‘Bapak’

Jangan biarkan waktu berlalu tanpa kita mengisinya dengan segala hal yang ‘beraroma’ keilmuan. Aktiflah melakukan hal-hal yang bertalian dengan aktivitas membaca dan menulis. Selalulah memerhatikan warning ini: “Dua kenikmatan yang manusia banyak tertipu, yaitu nikmat kesehatan dan nikmat waktu lapang ” (HR Bukhari).

Terkait hal di atas, Imam Syafi’i adalah salah satu contoh orang yang tak tertipu dalam pemakaian nikmat sehat dan nikmat kelapangan. Dia tak pernah memubadzirkan nikmat besar itu.

Imam Syafi’i senantiasa memanfaatkan waktunya untuk membaca atau belajar. Lalu, seperti apakah catatan prestasi dia? Tersebab suka membaca atau belajar, Imam Syafi’i sudah hafal Al-Qur’an saat baru berusia tujuh tahun. Lantas –tiga tahun kemudian– diapun hafal Kitab Al-Muwattha’ karya Imam Malik.

Apa prestasi Imam Syafi’i yang lain? Dia meninggalkan karya-karya tulis yang bahkan sampai sekarang terus dibaca dan dikaji orang. Di antara begitu banyak karya tulis Imam Syafi’i, Kitab “Al Umm” adalah karya dia yang paling sering dibicarakan.

Imam Syafi’i telah memberi teladan bahwa –sebagai Muslim- seharusnya seperti itulah dalam beraktivitas membaca dan menulis. Perjalanan hidup Imam Syafi’i patut kita ikuti. Figurnya sangat pantas kita teladani. Simak saja ucapan Imam Hanbali yang berkesaksian atas kepribadian dari pendiri Mazhab Syafi’i itu: “Tidak seorangpun yang memegang pena dan tinta kecuali dia berfigur kepada Imam Syafi’i”.  

Mari kita perhatikan tokoh lain. Masih contoh figur yang kuat tradisi membaca dan menulisnya. Dia adalah Ibnu Sina. Ketika usianya belum genap dua puluh tahun, Ibnu Sina berhasil mengobati penyakit yang hinggap di diri pemimpin atau amir yang berkuasa di wilayah dia tinggal. Atas jasa itu, sang amir berniat memberinya jabatan di pemerintahan. Tapi, Ibnu Sina menolak dan sebagai gantinya –jika diizinkan- dia minta diberi akses untuk leluasa memanfaatkan Perpustakaan Istana.

Atas permintaan -yang bagi banyak orang sangat sederhana- itu, sang amir mengabulkannya. Dari titik ini, ilmu Ibnu Sina bertambah pesat. Sejarah terus bergerak dan mencatat bahwa Ibnu Sina meminati banyak cabang ilmu, seperti: falsafah, sastra, logika, geometri, geografi, musik, politik, kedokteran, dan lain-lain.

Ibnu Sina tekun membaca / belajar. Hal itu mengantarkannya dalam menghasilkan banyak karya tulis. Karyanya di bidang kedokteran –Al-Qanun fit-Thibb– untuk waktu yang sangat lama menjadi buku teks utama di banyak universitas di Eropa. Dan, predikat ‘Bapak Kedokteran’-pun melekat kepadanya.

 

Teguh Berjuang

Ibnu Taimiyah adalah salah satu contoh terbaik dalam hal menjadikan aktifitas membaca dan menulis sebagai media amar ma’ruf nahi munkar. Di zamannya, banyak terjadi penyimpangan atas sejumlah ajaran Islam yang mulia. Bid’ah dan khurafat marak ketika itu. Atas fenomena tersebut, Ibnu Taimiyah konsisten menentangnya.

Ibnu Taimiyah adalah salah satu contoh terbaik dalam hal memegang tradisi ilmu. Ibnu Taimiyah aktif menulis sejak berusia dua puluh tahun. Ada sekitar lima ratus judul karyanya, dan sebagian besar berisi kritik tajam terhadap pemikiran dan amaliyah yang dinilainya menyimpang dari Al-Qur’an dan Hadits.

Ibnu Taimiyah teguh memegang Islam sekalipun di sekitarnya banyak yang tak sependapat. Sebagai akibat atas keteguhan sikapnya itu, tak jarang dia harus keluar-masuk penjara, karena penguasa pada waktu itu sekubu dengan ‘ulama’ yang sikapnya berseberangan dengannya. Tapi, sekalipun berbagai intimidasi datang seperti tiada henti, dia tetap tak goyah dengan kebenaran yang diyakininya.

Dalam menghadapi kemunkaran, Ibnu Taimiyah melakukannya secara ‘langsung’ dan ‘tak langsung’. Secara ‘langsung’, dia –secara sendiri maupun bersama orang lain- terjun meluruskan yang ‘bengkok-bengkok’ di masyarakat. Tercatat, dia bersama orang-orang yang lain merazia berbagai tempat orang biasa bermabuk-mabukan. Tercatat pula, dia terlibat aktif berperang/berjihad melawan musuh.

Adapun untuk amar ma’ruf nahi munkar yang secara ‘tak langsung’, Ibnu Taimiyah melakukannya lewat berbagai karya tulis. Berikut ini sebagian di antaranya, yaitu –yang terkenal- Majmu’ Fatawa yang berisi fatwa-fatwa dalam agama Islam. Lalu, ada judul Ma’alimul Ushul. Kitab ini berisi sanggahan kepada para filosof dan golongan Qaramithah yang mengatakan bahwa para Nabi kadang-kadang juga berbohong.

Ibnu Taimiyah termasuk ulama yang istiqomah memegang prinsip. Akibat keteguhannya itu, dia kerap keluar-masuk penjara. Berkali-kali dia diisolasi dan diintimidasi, tapi dia tak goyah. Dia pertahankan pendiriannya yang diyakininya benar. Tak sejengkalpun dia mundur atas berbagai tekanan yang menderanya.

Dari Ibnu Taimiyah kita patut belajar bersabar terutama saat berjuang menegakkan Islam. Dari Ibnu Taimiyah kita patut belajar mengais hikmah dari apapun yang kita hadapi. Lihatlah, bagi Ibnu Taimiyah penjara adalah tempat berdekat-dekat dengan Allah. Bagi Ibnu Taimiyah, dibuang atau diasingkan ke tempat yang tak nyaman adalah sebuah hijrah yang menggairahkan. Bagi Ibnu Taimiyah, kematian di Jalan Allah adalah syahid yang patut dirindukan.

Atas performa Ibnu Taimiyah yang seperti itu, insyaAllah, kita bisa lebih merasa ‘terpanggil’ saat membaca Ajaran Suci ini: “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” (QS Ali-‘Imraan [3]: 110). “Dan, hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung” (QS Ali-‘Imraan [3]: 104).

Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, Ibnu Taimiyah telah mengukir prestasi. Ratusan buku dia hasilkan semata-mata untuk menegakkan perintah beramar ma’ruf nahi munkar. Berkali-kali kebebasannya direnggut dengan memenjarakannya, tapi dia tak surut setapak-pun. Bahkan, sampai dia menghembuskan nafasnya yang terakhir, Ibnu Taimiyah lebih memilih penjara sebagai tempat tinggalnya ketimbang hidup merdeka di alam bebas tetapi aqidah dan syariahnya tercemar paham munkar.

 

Capaian Agung

Imam Syafi’i –yang hidup antara tahun 767 sampai 819 M- dengan aktivitas membaca dan menulisnya telah memeragakan kepada kita, bagaimana seharusnya menjadi bagian dari umat terbaik yang selalu berusaha menegakkan tradisi ilmu. Kita-pun tahu, Imam Syafi’i punya banyak karya tulis.

Imam Syafi’i punya banyak murid. Imam Hanbali adalah salah satu di antaranya. Imam Hanbali –yang hidup antara tahun 781 sampai 855 M- adalah pendiri Mazhab Hanbali.  

Sebagaimana sang guru, Imam Hanbali juga mempunyai banyak karya tulis. Di antara karya-karyanya, Kitab Al-Musnad adalah karyanya yang paling menakjubkan karena memuat lebih dari dua puluh tujuh ribu hadits. Sampai kini, karya tulis dari kedua guru dan murid itu terus dikaji dan memengaruhi begitu banyak orang yang membacanya.

Seperti Imam Syafi’i, kisah Ibnu Taimiyah juga mirip. Ibnu Taimiyah –yang hidup antara tahun 1263 sampai 1328– telah mendemonstrasikan kepada kita bahwa aktivitas membaca dan menulis bisa menjadi pilihan yang sangat strategis dalam beramar ma’ruf nahi munkar. Lihatlah, Ibnu Taimiyah punya karya tulis ratusan yang (setidaknya sebagian) tetap dibaca dan dikaji hingga sekarang.

Ibnu Taimiyah memiliki banyak murid –antara lain- Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dan Ibnu Katsir. Murid-muridnya itu, juga punya banyak karya tulis. Zaadul Ma’ad merupakan kitab Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dan merupakan salah satu karya ter baiknya. Sementara, Tafsir Ibnu Katsir adalah karya terbaik di antara banyak karya lainnya dari Ibnu Katsir.  

Sampai kini, karya tulis mereka –guru dan murid-muridnya, yaitu Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, dan Ibnu Katsir- terus dibaca dan memengaruhi banyak orang.

Alhasil, jika kita setia terhadap ajaran Islam, maka budaya ilmu akan menjadi keseharian kita. Budaya ilmu itu memiliki indikator paling kuat yaitu tradisi membaca dan menulis berkembang subur. Di titik ini, kita punya ‘catatan emas’ bahwa tersebab tradisi mulia itu –yaitu membaca dan menulis- berbagai capaian karya gemilang dari intelektual-intelektual Islam telah berkontribusi kepada terbangunnya peradaban mulia.

Mencermati sejarah, dunia Islam tercatat banyak melahirkan cendekiawan hebat yang diakui secara akademis oleh kalangan internasional. Misal, Ibnu Khaldun di bidang sosiologi dan ekonomi, Ibnu Rusyd di bidang filsafat, Ibnu Sina di bidang kedokteran, Al-Khawarizmi di bidang matematika, Al-Biruni di bidang astronomi, dan sebagainya.

 

Catatan Manis

Sebegitu kuatnya umat Islam berbudaya ilmu, maka berbagai kisah menggetarkan –di masa lalu- akan mudah kita dengar saat membincang tentang hal ini. Misal, banyak di antara mereka yang menghabiskan belasan jam dalam sehari untuk membaca dan menulis seperti yang dilakukan Imam Nawawi (penulis berbagai buku antara lain Riyadush-Shalihin), Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah, Ibnu Katsir, dan lain-lainnya.

Sebegitu kuatnya budaya membaca dan menulis di kalangan umat Islam, di masa lalu sampai ada yang tak mengindahkan jabatan tinggi yang ditawarkan kepada seseorang karena hal itu mengharuskannya berjauhan dengan perpustakaan pribadinya. Padahal, selama ini, perpustakaan telah menjadi ‘surga’ yang paling nyaman bagi dirinya.

Sebegitu kuatnya budaya membaca dan menulis di kalangan umat Islam, di masa lalu sampai ada seorang istri (yang tak paham soal urgensi ilmu) sampai mencemburui buku karena merasa sang suami lebih mencintai buku ketimbang dirinya.

Sungguh, berdasarkan paparan ringkas di atas, kita patut untuk aktif melibatkan diri dalam setiap usaha menghidup-hidupkan tradisi ilmu di lingkungan kita masing-masing. Mulailah dari diri sendiri, lalu bergerak ke lingkungan terdekatnya, dan seterusnya. Jika itu sudah kita lakukan, optimisme bahwa kita adalah bagian dari umat terbaik yang berhak merasakan hidup di sebuah peradaban mulia, patut kita miliki. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *