Masalah Salam Lintas Agama dalam Rekomendasi Rakernas MUI

Oleh:  Ainul Yaqin

(Sekretaris Umum  MUI Prov. Jawa Timur)

Inpasonline.com-Majelis Ulama Indonesia (MUI) baru saja menyelenggarakan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) V tahun 2019 yang merupakan Rakernas terakhir untuk kepengurusan MUI masa khidmat 2015-2020. Seperti biasa, dalam setiap Rakernas selain menghasilkan keputusan-keputusan yang berkaitan dengan program kerja, juga menghasilkan rekomendasi yang disampaikan kepada beberapa fihak utamanya kepada pemerintah. Pada rakernas V kali ini ada sejumlah rekomendasi yang disampaikan antara lain terkait masalah: agama, politik, hukum, pemerintahan, pendidikan, isu nasionalisme, ekonomi, kedaulatan pangan, sosial budaya, pertahanan dan keamanan, lingkungan hidup, dan hubungan internasional.

Salah satu poin rekomendasi yang dibahas oleh peserta terkait dengan isu agama adalah peneguhan prinsip wasathiyatul Islam yang diterjemahkan sebagai sikap berkeseimbangan dan berkeadilan. MUI memandang bahwa prinsip wasathiyatul Islam merupakan solusi bagi bangsa menuju kebangkitan, kemajuan dan keunggulan budaya dan peradaban dunia. Karena itu dalam rekomendasi rakernas 2019 ini, MUI mengajak umat Islam menjadikan prinsip wasathiyatul Islam sebagai dasar dalam membangun kehidupan yang toleran.

Dalam hal tersebut para peserta di komisi rekomendasi menghindari penerjemahan wasathiyah dengan istilah moderat. Alasannya, kata moderat yang akhir-akhir ini sering diartikan dengan kata pertengahan, atau jalan tengah, sering diseret pada makna yang condong liberal sehingga mengesankan abu-abu. Misalnya Angel Rabasa dalam bukunya Building Moderate Muslim Nerworks yang diterbitkan oleh Rand Corporation mengartikan muslim moderat adalah mereka yang menerima kultur demokratis (dalam kehidupan), mendukung sistim politik demokrasi, mendukung HAM (termasuk masalah kesetaraan gender dan kebebasan beribadah), menghormati pluralitas, menerima hukum non-sektarian, menolak terrorisme dan jenis kekerasan lainnya. Penggunaan istilah moderate muslim tampak bias, itulah komisi rekomendasi dalam rakernas ini mengajak untuk mempopularkan istilah wasathiyatul Islam yang mempunyai kriteria lebih jelas.

Adapun makna wasath yang diambil dari ungkapan ummatan wasathan  yang tertera dalam QS. al-Baqarah [2]: 143 adalah seperti dalam hadits Nabi dari Abu Said al-Hudri yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi tentang firman Allah: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia. (QS Al-Baqarah: 143), beliau bersabda: “Adil.” . Artinya wasath adalah adil. Seperti kata al-Jurjani, adli adalah “al-mailu ila al-haq”, condong kepada kebenaran. Adil diartikan jiga dengan pengertian, menempatkan sesuatu pada tempatnya, lawan dari dzalim, menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Selanjutnya, ummatan wasatha juga diartikan sebagai umat yang terbaik, umat pilihan sebagaimana penjelasan Ibnu Katsir.

Terkait dengan rekomendari yang berhubungan dengan masalah agama pula, juga disampaikan bahwa MUI perlu merumuskan batasan dan kriteria toleransi dalam koridor wasathiyatul Islam. Bahwa dalam perkara aqidah dan ibadah, Islam bersifat eksklusif sementara dalam perkara muamalah bersifat inklusif, maka ucapan salam pembuka yang hakikatnya adalah do’a merupakan bagian dari ibadah ritual, bukan termasuk ranah toleransi. Pernyataan dalam poin ini memberikan catatan bahwa salam pembuka yang akhir-akhir ini marak disampaikan dengan cara mengucapkan salam lintas agama adalah hal yang tidak perlu dilakukan. Bagi umat Islam cukuplah menyampaikan ungkapan salam, “Assalaamu’alaikum”, atau lengkapnya, “Assalaamu’alaikum wr. wb.”.

Islam memang tidak melarang interaksi muslim dengan non muslim dalam konteks mujamalah (saling tegur sapa yang baik) atau muhasanah (saling berbaik-baik), yang semuanya dalam koridor muamalah, bukan ibadah. QS. al-Mumtahanah [60]: 8 memberikan penegasan terhadap masalah ini.

لَّا يَنۡهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمۡ يُقَٰتِلُوكُمۡ فِي ٱلدِّينِ وَلَمۡ يُخۡرِجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمۡ أَن تَبَرُّوهُمۡ وَتُقۡسِطُوٓاْ إِلَيۡهِمۡۚ  إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِينَ

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.

Adapun salam pembuka bukanlah urusan basa basi, karena di dalam salam pembuka mengandung ungkapan do’a. Ungkapan, Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wa barakaatuh, yang disampaikan umat Islam adalah do’a yang dipanjatkan kepada Allah Swt, disertai keyakinan bahwa tiada Tuhan selain Dia. Salam umat Budha, Namo Buddaya”, yang artinya terpujilah Sang Budha, satu ungkapan yang tidak bisa dipisahkan dengan keyakinan umat Budha terhadap Sang Budha Sidarta Gautana. Demikian pula ungkapan yang disampaikan umat Hindu, “Om Swasti Astu”, Om, adalah seruan yang dipanjatkan oleh Umat Hindhu khususnya di Bali untuk menyebut tuhan yang mereka yakini, “Sang Yang Widhi”. Om, adalah pujian yang disampaikan umat Hindu kepada tuhan yang mereka yakini yang tidak lain adalah Sang Yang Widhi itu. Lalu kata swasti, dari kata su yang artinya baik, dan asti artinya bahagia. Kemudian kata astu, artinya semoga. Jadi ungkapan Om swasti astu, makna bebasnya, semoga Sang Yang Widhi mencurahkan kebaikan dan kebahagiaan. Do’a dalam pandangan Islam adalah ibadah, bahkan inti dari ibadah. Toleransi dalam kehidupan bersama antar umat pemeluk agama-agama adalah keniscayaan. Namun toleransi jangan sampai merusak ajaran agama.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *