Oleh: Kholili Hasib
Inpasonline.com-Bagi anak yang baru lulus SMA (Sekolah Menengah Atas), biasanya ada kebingungan akan melanjutkan studi ke mana? Dan memilih jurusan apa? Sudah hampir bisa dipastikan mayoritas memilih tempat belajar yang bisa memudahkan karir ke depan dan menjamin kekayaan.
Umumnya, universitas yang menjadi pilihan utama adalah universitas negeri dan terkenal. Karena di Indonesia, kebanyakan jurusan favorit berada di universitas negeri. Di sinilah persaingat ketat terjadi.
Jika gagal masuk perguruan tinggi negeri, maka yang dituju adalah universitas swasta favorit. Jurusan favorit mahasiswa, baik kampus negeri atau swasta, adalah kedokteran, farmasi, akuntansi, teknik elektro, teknik mesin, informatika, hukum, dan lain-lain. Calon mahasiswa atau orang tua biasanya memilih kampus dengan gedung megah, fasilitas lengkap, bayar mahal, dan lain-lain. Karena menurutnya, kampus megah seperti ini lulusannya mudah dalam mencari kerja.
Karena itu, maka anak-anak pintar dan berprestasi banyak yang “numpuk” di jurusan-jurusan favorit di kampus negeri terkenal. Sementara tidak banyak anak-anak cerdas yang “menghuni” kampus-kampus kecil atau kampus Islam.
Sementara, calon mahasiswa di kampus-kampus Islam — baik negeri maupun swasta — sangat jarang yang memperimbangkan guru dan materi pelajarannya (materi kuliah).
Kadar Ilmu
Dalam konsep Islam, ilmu ada yang jenis fardhu ain dan fardhu kifayah. Ada yang mahmud (terpuji) dan ada yang madzmum (tercela). Imam al-Ghazali menjelaskan ilmu-ilmu itu ada kadarnya. Ilmu kategori mahmud ada kadarnya begitu pula jenis madzmum juga ada batas-batasnya.
Beliau mengatakan:
اعلم أن العلم بهذا الاعتبار ثلاثة أقسام: قسم هو مذموم قليله وكثيره. وقسم هو محمود قليله وكثيره، وكلما كان أكثر كان أحسن وأفضل. وقسم يحمد مقداره الكفاية ولا يحمد الفاضل عليه والاستقصاء فيه.
“Ketahuliah sesungghunya dalam masalah ini ilmu dibagi tiga macam. Pertama, Tercela, baik kadarnya banyak atau sedikit. Kedua, Terpuji, baik kadarnya banyak atau sedikit. Samakin banyak kadarnya, maka semakin baik dan semakin afdhol. Ketiga, terpuji jika kadarnya cukup dan tercela jika melebih batas cukup” (Imam al-Ghazali, Ihya Ulumuddin jilid I, hlm. 51).
Ilmu yang tercela adalah seperti ilmu sihir, ilmu nujum. Mempelajari ilmu ini dengan kadar banyak atau sedikit adalah tercela. Karena tidak ada manfaatnya. Menghabiskan waktu untuk sesuatu yang tidak bermanfaat hukumnya tercela.
Sedangkan ilmu terpuji, baik dengan kadar banyak atau sedikit adalah ilmu tentang Allah (ma’rifatullah), sifat-sifat-Nya, perbuatan (af’al)-Nya. Ilmu ini disebut juga dengan tauhid atau ilmu tasawuf. Ilmu inilah yang menghantarkan kepada kebahagiaan akhirat.
Ilmu jenis ini menurut imam al-Ghazali sangat luas dan tersembunyi. Hanya para Nabi, wali dan ulama yang menancap ilmunya (al-rasikhun) yang bisa menyelaminya dengan sempurna. Selain itu termasuk juga dalam ilmu ini adalah ilmu membersihkan hati, pengkosongan hati dari penyakit-penyakit dunia.
Mengerahkan segala upaya untuk mendapatkan ilmu ini adalah terpuji. Karena ini ilmu paling penting untuk memperbaiki kehidupan manusia. Baik tidaknya suatu masyarakat tergantung baik tidaknya individunya.
Jadi, ilmu jenis ini selayaknya menjadi perhatian para pelajar. Ia bisa memperbaiki kehidupan masyarakat, sekaligus memperbaiki diri sendiri. Mencari ilmu ini perlu dikejar dengan serius.
Ilmu-ilmu fardhu ‘ain yang menjadi bekal seseorang untuk beribadah kepada Allah Swt juga wajib dikuasai sebelum penguasaan terhadap ilmu-ilmu fardhu kifayah atau ilmu yang mubah. Ada banyak yang pandai matematika dan bahasa asing, tapi tidak kenal tata cara ibadah wajib; shalat, puasa dan zakat.
Kitab-kitab fiqih biasanya dibuka dengan bab thaharah (bersuci). Bab ini penting, karena mempengaruhi sah dan tidaknya suatu ibadah. Bahkan ulama tasawuf menambah kajiannya, tidak hanya bersuci dari najis fisik, tetapi bersuci hati dari penyakit jiwa (thaharatul qalb). Sebabnya, bersih dan kotornya jiwa bisa menjadi faktor gugur dan tetapnya suatu pahala ibadah.
Salah satu yang harus dimurnikan adalah persoalan niat. Dalam hal ini Imam al-Ghazali telah mengingatkan dalam kitab Bidayahtul Hidayah:
“Ketahulilah, bahwa orang menuntut ilmu itu ada tiga macam: Pertama. Seroang mencari ilmu semata sebagai bekal di akhirat. Tidak memaksudkan niatnya kecuali mencari ridha Allah Swt dan negeri akhirat. Orang dengan jenis ini disebut faizin (orang yang menang). Kedua. Seorang yang niat belajarnya adalah menjadikan ilmu sebagai penopang kehidupan duniawi, dengnya ia memperoleh kemuliaan & jabatan. Ketiga. Menjadikan ilmunya sebagai sarana memperbanyak harta, bermegah-megahan dengan kedudukan, berbangga-banggaan dengan banyaknya pengikut, mengaku ulama dan tidak merasa perlu bertaubat, karena menganggap dirinya muhsinun (orang baik). Orang ini disebut muhlikum (orang rusak)”. (Bidayatul Hidayah).
Adapun ilmu yang terpuji jika dipelajari dengan kadar yang cukup, dan bisa menjadi tercela jika terlalu berlebihan dalam mempelajarinya adalah ilmu-ilmu yang masuk jenis fardhu kifayah.
Karena, menurut imam al-Ghazali, setiap ilmu jenis fardhu kifayah ada batasnya (Ihya’ Ulumuddi, hlm. 51). Sedangkan melebihi batas adalah tidak baik (madzmum). Dalam hal ini seorang ulama Yaman menjelaskan:
العلوم كثير جدا. وليست كلها نافعة ولا مهمة في حق كل أحد بل بعضها نافع ومهم في حق البعض دون البعض. وقد يكون في وقت دون وقت وفي حال دون حال. وبعضها ضار لا نفع فيه. وفضول لا مهم منه. فإذا كان الأمر كذلك فينبغي للعاقل والنجيب أن يشتغل من العلوم بالمهم النافع بل بالأهم الأنفع في حق نفسه باالخصوص ثم في حق غيره إن تأهل لذلك وفرغ له.
“Ilmu itu banyak sekali. Tidak semuanya bermanfaat dan penting untuk tiap orang. Akan tetapi bisa jadi bermanfaat dan penting untuk sebagian orang tetapi tidak penting untuk sebagian orang lainnya. Terkadang ilmu itu penting dan bermanfaat pada waktu tertentu, namun di lain waktu tidak penting. Sebagian ilmu bahkan ada yang bisa membahayakan, tidak ada manfaatnya. Ada yang sia-sia, tidak penting. Karena itu, hendaknya orang yang memiliki akal dan cerdas menyibukkan diri dengan ilmu penting, bermanfaat, bahkan ambillah yang paling penting dan paling bermanfaat untuk diri secara khusus. Dan penting dan bermanfaat untuk orang lain. Apabila ada waktu luang dan memiliki keahlian, maka ambillah ilmu yang lain itu” (Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad, Fushulul Ilmiyah, hlm. 51).
Mengetahui ilmu mana yang paling penting dan bermanfaat untuk diri dan orang lain itu harus dengan petunjuk orang yang berilmu (al-alim). Persoalanya yang sedang terjadi saat ini adalah, dalam satu daerah atau Negara telah banyak pakar-pakar dalam bidang kedokteran dan sains teknologi, tetapi masih sedikit yang pakar dalam bidang ilmu tafsir, hadis, dan ilmu kalam misalnya. Inilah ketidak seimbangan komposisi.
Mencari Guru Baik
Persoalan lainnya seorang penuntut ilmu di tingkat perguruan tinggi adalah, menjadikan fasilitas, kemasyhuran kampus dan kemegahan gedung sebagai pertimbangan belajar.
Dalam Islam, selain niat, pertama yang harus diperhatikan adalah guru. Siapa yang menjadi guru. Diriwayatkan dari Ibnu Sirin : “Sesungguhnya Ilmu ini adl agama. Maka lihatlah (hati-hati) dari mana kamu mengambil agama kamu”. Ibnu Asakir berkata:
لا تحمل العلم عن أهل البدع، ولا تحمله عمن لا يعرف بالطلب، ولا عمن يكذب في حديث الناس وان كان لا يكذب في حديث رسول الله صلى الله عليه وسلم.
“Jangan membawa ilmu dari org ahli bid’ah, jangan dari orang tidak diketahui dari mana ia mendpatkan ilmu, jangan pula dari org yg berdusta kpd orang banyak – meskipun ia tdk berdusta kepada Rasulullah Saw”.
Dalam Islam, guru memili kedudukan terhormat. Nabi Saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Swt, para Malaikat, penduduk langit-bumi, semut di sarangnya sampai ikan di laut pun mendoakan terhadap guru yang mengjar kebaikan kepada manusia” (HR. Turmudzi).
Dalam Islam, otoritas itu disebut konsep uswah. Ia panutan, penuntut dan pembimbing. Guru adalah seorang uswah. Karena itu Nabi Muhammad Saw diberi julukan uswah hasanah,teladan terbaik. Karena beliau adalah guru terbaik generasi Islam.
Hal demikian dapat menjadi pedoman seorang yang akan melanjutkan belajar khususnya di perguruan tinggi Islam.