Oleh: Bahrul Ulum
Inpasonline.com-Mazhab Hanafi adalah mahzab fiqih paling tua diantara Mazhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Pendiri mazhab ini adalah Imam Abu Hanifah an-Nu’man bin Tsabit bin Zufti at-Tamimi. Dilahirkan di Kuffah 80 H/699 M, pada masa pemerintahan al-Qalid bin Abdul Malik. Ia berasal dari keluarga pedagang.
Belajar al-Qur’an, diantaranya kepada Imam Asin, seorang ulama terkenal pada masa itu. Juga kepada bernama Humaid bin Abu Sulaiman. Setelah 10 tahun sepeninggal gurunya, yakni 130 H, Hanafi meninggalkan Kuffah menuju Makkah. Di sanalah ia belajar kepada murid-murid sahabat Abdullah bin Abbas r.a. Semasa hidupnya Imam Hanafi dikenal sebagai orang yang alim, zuhud, sangat tawaddhu’ dan teguh dalam memegang ajaran agama.
Dibanding ketiga mazhab lainnya, mazhab yang lahir di Kufah, Irak ini punya kelebihan dalam penggunaan ra’yu. Karenanya mazhab ini dijuluki mazhab ahli ra’yu. Sebutan ahli ra’yu bukan berarti hanya berpegang pada akal tanpa melihat nash. Tapi maksudnya, lebih menerima sebuah Hadits berdasar umum al-balwa, sesuatu yang sudah diketahui masyarakat umum dan masuk akal, dibanding Hadits yang melalui satu jalur. Sebagai contoh misalkan ada sebuah Hadits yang berbunyi,”Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang seseorang berwudu dari bekas bersucinya wanita.” Hadits ini tidak dipakai oleh Imam Hanafi karena ada Hadits yang membolehkan seorang laki-laki berwudu dari bekas wudu wanita. Ini didasarkan perbuatan Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang sudah diketahui umum bahwa jika beliau mandi berdua dengan istrinya, maka satu sama lain mandi dari bekas masing-masing. (Kamaludin al-Siwasi, Syarh Fathul Qadir I/111, Ibnu Abidin, Radd al-Muhtar.., 1/133).
Itulah salah satu keistimewaan Imam Hanafi sehingga Imam Syafi’i pernah berkata bahwa barang siapa yang ingin mendalami lautan fiqih maka dia punya kepentingan kepada Abu Hanifah (Sulaiman al-Yafii, Mirat al-jinan wa-ibrat al-yaqzan…., I/312).
Sebagaimana mazhab lain dalam mengistinbathkan hukum, Imam Hanafi melihat terlebih dahulu kepada Kitabullah, bila tidak ditemukan dilanjutkan kepada sunnah. Jika tidak ditemukan dalam sunnah ia melihat kepada perkataan para sahabat. Setelah itu menggunakan istihsan yaitu mengambil pendapat mana yang sesuai dengan akal dan ditinggal mana yang tidak sesuai. (Tarikh Al Baghdad, 13/367)
Istihsan sendiri menurut Mazhab Hanafi bagian dari qiyas. Contoh istihsan menurut madzhab Abu Hanifah, bila seorang mewaqafkan sebidang tanah pertanian, maka dengan menggunakan istihsan, yang termasuk diwaqafkan adalah hak pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu dan sebagainya. Sebab kalau menurut qiyas (jali), hak-hak tersebut tidak mungkin diperoleh, karena tidak boleh mengqiyaskan waqaf itu dengan jual beli.
Karena metode tersebut, dalam kasus tertentu Imam Hanafi berani mengambil kesimpulan yang cukup berani. Sebagai contoh, dalam masalah zakat, ia membolehkan zakat dengan uang sesuai dengan nilai tukar barang yang dizakati. Demikian juga dalam kasus hadyu (binatang yang disembelih dalam rangka ibadah haji atau umrah), Imam Hanafi berpendapat harus disembelih di Mekah namun tidak harus dibagikan di sana. Sedang mazhab lain ketika itu mensyaratkan penyembelihan dan pembagiannya harus di Mekah. Karena pendapat ini, banyak fuqaha dan ahli Hadits sejamannya yang mengkritik Imam Hanafi.
Namun saat ini pendapat Imam Hanafi dalam hal zakat dengan uang sudah umum di pakai umat Islam. Demikian juga pemerintah Saudi memakai pendapat tersebut ketika jumlah jamaah haji mencapai jutaan orang yang berarti hewan hadyu juga mencapai jutaan, sehingga tidak mungkin kalau hanya dibagikan di Mekah. Saat ini sembelihan hadyu sudah dibagi negara lain dengan sistem pengalengan.
Kekeliruan Terhadap Imam Hanafi
Sebagian orang yang anti ra’yu menuduh Imam Hanafi tidak banyak mengetahui Hadits Rasulullah sehingga dalam beristinbath lebih mengedepankan ra’yu(akal) daripada Hadits.
Tentu saja pemikiran tersebut keliru dan menunjukkan mereka tidak mengenal Imam Hanafi. Para ulama semisal Ibnu Hajar Al Haitami menyebutkan bahwa Imam Abu Hanifah termasuk jajaran huffadz Hadits, dimana ia mengambil periwayatan dari 4 ribu perawi. Sebab itu Imam Adz Dzhahabi memasukkan Imam Abu Hanifah dalam Tadzkirah Al Huffadz, sebuah kitab yang terkumpul di dalamnya biografi para huffadz Hadits. (lihat, Al Khairat Al Hisan, hal. 68).
Selain itu para ulama Hadits Hanafi menulis sejumlah kitab yang berisi Hadits-hadits hukum yang dijadikan hujjah madzhab ini. Al Hafidz Murtadha Az Zabidi, ulama Hadits madzhab Hanafi menulis Al Jawahir Al Munifah fi Ushuli Adillati Madzhab Al Imam Abi Hanifah yang berisi Hadits-hadits yang diriwayatkan langsung oleh Imam Abu Hanifah dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mengenai 447 permasalahan fiqih yang mayoritas derajatnya shahih dan hasan serta sebagian dhaif yang derajatnya terkuatkan. Sedangkan ulama Hadits India, Dzafar Ahmad Utsmani At Tahanawi menulis karya yang bernama I’la As Sunan setebal 16 jilid yang berisi Hadits-hadits hukum yang dijadikan dalil madzhab Hanafi beserta syarahnya, juga jawaban terhadap kritik dari madzhab lain.
Disamping memiliki kitab-kiab khusus mengenai dalil madzhab, kitab-kitab takhrij Hadits mengenai dalil-dalil madzhab Hanafi sendiri tidak sedikit. Ini dijelasan oleh oleh Al Muhaddits Abdul Hayyi Al Kattani dalam Ar Risalah Al Mustatharrifah (hal. 188, 189). Sejumlah kitab yang mentakhrij Hadits-hadits dalam kitab fiqih madzhab Hanafi antara lain Ath Thuruq wa Al Wasail fi Takhrij Ahadits Khulashah Ad Dalail oleh Abdul Qadir bin Muhammad Al Qursy yang merupakan takhrij dari Hadits-hadits yang terdapat pada Khulashah Ad Dalalil fi Tanqihi Al Masail.
Demikian juga Takhrij Ahadits Syarh Al Mukhtar yang merupakan karya dari Al Hafidz Qasim bin Quthlubugha Al Hanafi. Ada pula Al Iniyahah fi Takhrij Al Ahadits Al Hidayah oleh Muhyiddin Al Qursy Al Hanafy juga Al Kifayah fi Ma’rifati Al Ahadits Al Hidayah oleh Alauddin Ali bin Utsman Al Mardini, juga Nashb Ar Rayah li Al Hadits Al Hidayah oleh Al Hafidz Az Zaila’i.
Para ulama Hadits, baik para muhadditsun dan huffadznya juga banyak yang memilih untuk menganut madzhab ini. Diantara mereka Al Hafidz Abu Bishr Ad Dulabi, Al Hafidz Abu Ja’far Ath Thahawi, Al Hafidz Ibnu Abi Al Awwam As Sa’di, Al Hafidz Abu Muhammad Al Haritsi, Al Hafidz Abdul Baqi, Al Hafidz Abu Bakr Ar Razi Al Jashas, Al Hafidz Abu Nashr Al Kalabadzi, Al Hafidz Abu Muhammad As Samarqandi, Al Hafidz Syamsuddin As Saruji, Al Hafidz Quthb Ad Din Al Halabi, Al Hafidz Alauddin Al Mardini, Al Hafidz Az Zaila’i, Al Hafidz Mughulthai, Al Hafidz Badruddin Al Aini, Al Hafidz Qasim bin Quthlubugha. Syaikh Anwar Zahid Al Kuatsari dan Syeikh Abdul Fattah Abu Ghuddah menyebutkan 150 ulama hufadz dan muhadits madzhab Hanafi (lihat, Fiqh Alhul Iraq wa Haditsuhum, hal. 60-82). Sedangkan Syeikh Dzafar Ahmad Utsmani menyebutkan biografi para huffadz dan muhadditsun penganut madzhab ini yang jumlahnya mencapai 229 ulama. (lihat, Abu Hanifah wa Ashabuhu Al Muhadditsun)
Itulah keistimewaan Mazhab Hanafi yang sampai sekarang masih banyak dianut oleh kaum Muslimin di Kazakhstan, Turkmenistan, Kirgizstan, Afghanistan, Pakistan, Bangladesh, Azerbaijan, Turki, Mesir, Tajikistan, Maldives, Suriah, Jordan, Uzbekistan dan India.
Last modified: 03/05/2018