Kebenaran dan validitas sains dalam paradigma Barat hanya dapat dilalui melalui metode empirik-rasional. Inilah yang disebut ilmiah. Ilmiah dalam pandangan hidup Barat adalah yang dapat diferivikasi secara epmirik dan matematis. Sehingga Islamisasi sains dalam perspektif filsafat Barat dianggap menjadikan sains tidak ilmiah.
Kalaupun ‘dipaksakan’ sains itu diislamkan, maka akan menjadikan sains tersebut bias teologis dan partikular. Pandangan apatis itu misalnya diutarakan Abdus Salam, cendekiawan yang menolak Islamisasi sains, menyebut sains itu universal, bebas nilai. Universal artinya, bahwa sains tidak ada hubungannya dengan agama apapun atau lepas dari model teologi apapun.
Penolakan-penolakan tersebut sesungguhnya bertolak dari perbedaan pandangan terhadap sistem epistemologi. Berbeda dengan paradigma sekular, epistemologi Islam terstruktur dari sistem metafisika dasar Islam. Landasan filosofis dalam Islam tidak cukup dari visi rasionalisme, dan empirisisme.
Secara epistemologis, Islam tidak menolak rasio, realita empirik, dan indera sebagai saluran Ilmu. Akan tetapi, seperti dijelaskan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas, ilmu pengetahuan itu berasal dari Allah dan juga bersumber dari, intuisi dan sumber otoritatif melalui khabar shadiq. Sehingga visi rasionalisme dan empirisisme perlu dikombinasikan dengan teologi-metafisik.
Ini berarti dalam sains Islam, metode rasionalisme dan empirisisme diintegrasikan dengan sistem metafisika. Kombinasi ini sesungguhnya melengkapi sekaligus menyudahi problem sains Barat sekular, cenderung menghasilkan paradigma ateisme modern dan kehilangan nilai atau etika. Sehingga, gagasan sains Islam, secara ontologis maupun aksiologis membutuhkan pemahaman terhadap aspek teologis.
Dari sisi ontologis, Tuhan merupakan aspek sentral dalam sains Islam. Wujud Tuhan yang absolut ini dibutuhkan ketika indera dan akal tidak mampu menerjemahkan realitas non-fisik. Maka di sini diperlukan pemahaman tentang konsep Tuhan yang benar.
Pemahaman yang keliru tentang konsep Tuhan beserta aspek-aspek teologis lainnya berimplikasi terhadap epistemologi. Jika Tuhan yang diyakini itu hanya aspek transenden saja yang memiliki sifat abolut, sedangkan Tuhan itu tidak immanen, maka tidak akan menghasilkan apa-apa terhadap sains Islam. Sebab, Tuhan diyakini tidak lagi berhubungan dengan realitas empirik di dunia.
Begitu pula turunan dari konsep Tuhan, seperti konsep wahyu, konsep Islam dan konsep manusia. Menurut al-Attas, setelah konsep Tuhan, konsep kunci selanjutnya yang penting adalah konsep agama dan konsep manusia. Sayyid Qutub menegaskan di antara karakteristik konsep-konsep Islam ini bersifat tsabat, rabbani,realitis, universal.
Jika wahyu diyakini telah mensejarah atau berubah menjadi teks budaya, maka wahyu sebagai sumber epistemologi dalam ilmu pengetahuan kehilangan otoritasnya. Atau Islam tidak diyakini lagi sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Atau dipahami kebenarannya tidak masuk wilayak eksoterik dalam isitlah Frithjof Schuon. Islamisasi dengan keyakinan seperti tersebut akan menemui kegagalan kegagalan. Sebab, akan menggiring kepada keyakinan menolak kebenaran metafisika atau kerancuan dalam proses pencapaian ilmu.
Secara aksiologis, pemahaman tentang konsep Tuhan, wahyu, agama dan lainnya dijadikan sebagai sumber nilai. Sistem nilai tidak diambil dari pengalaman manusia atau fenomena sosial yang selalu berubah. Nilai dalam Islam tidak ‘on going proses. Ia bersifat tetap dan harus termanifestasikan dalam setiap kerja-kerja ilmiah. Sehingga, sains Islam yang dihasilkan harus memiliki visi nilai. Nilai ini membimbing saintsis dari kedzaliman. Ia mengontrol kerja-kerja ilmiahnya dari tujuan dasar sains itu sendiri.
Sains Barat yang menganut paradigma sains free value (bebas nilai) tidak ada mekanisme kontrol kerja sains. Sebab sains tidak ada hubungannya dengan nilai atau adab. Apalagi sains sekuler yang tidak meyakini absolusitas wahyu, mengabaikan nilai moral yang tetap. Moral bagi mereka relatif subjektif.
Makanya, ketika pernyataan rasional dan proposisi-proposisi logis sains gagal menemukan hakikat sesuatu non-fisik, maka fakultas intuituf, sumber khabar shadiq, atau wahyu akan membantu menjelaskan.
Menurut al-Attas, khabar shadiq yang menjadi salah satu sumber epistemologi dibagi menjadi dua. Pertama, laporan yang disampaikan secara berangkai dan tidak terputus oleh sejumlah orang dan tidak mungkin jika mereka dianggap dengan sengaja bermaksud dusta bersama-sama. Kedua laporan yang dibawa Nabi Muhammad SAW, baik wahyu al-Qur’an maupun hadis.
Sedang, intuisi datang kepada seseorang kalau ia telah siap nalar dan pengalamannya terlatih. Persiapan itu tidak hanya terdiri dari pelatihan dan pengembangan daya akal dan kapasitas pengalaman inderawi. Akan tetapi juga latihan, disiplin dan pengembangan diri batin yang berkaitan dengan pemahaman realitas kebenaran. Menurut al-Attas, proses pengetahuan yang demikian bisa disebut ilmiah. Karena dapat dibuktikan.
Abu Yusf al-Kindi menyebut pengetahuan itu ada dua, pengetahuan empirik-inderawi dan pengetahuan hakikat sesuatu. Yang pertama dapat diperoleh dengan pengalaman indera dan akal. Hal itu ternyata tidak cukup, karena setiap sesuatu memiliki hakikat. Sedangkan pengetahuan hakikat sesuatu itu deperoleh dengan cara pembersihan batin, menghindari dari sifat-sifat hewaniyah, marah, syahwat dan pengalaman intuitif mengenal Allah.
Akhirnya, Islamisasi sains tidak mungkin dilepaskan dari perspektif teologis. Dan perspektif teologis bukan berarti menjadikan sains Islam itu partikular menolak visi rasionalisme dan empirisisme. Rasionalisme dan empirisisme melengkapi teologi-metafisik dalam sistem epistemologi Islam. Jadi ‘ruh’ sains Islam itu adalah teologi dan metafisika, dan ‘raga’nya adalah rasio dan realita empirik. Karena teologi mengimplikasikan epistemologi. Teologi beserta aspek-aspeknya mempengaruhi proses berpikir seorang ilmuan. Teologi yang benar akan menghasilan sistem epistemologi yang tepat pula sesuai dengan nilai Islam. Wallahu a’lam bisshowab