Islamisasi Kurikulum-2

Langkah berikutnya adalah merumuskan suatu filsafat pendidikan yang jelas berdasar pada worldview  Islam. Ini  penting untuk dilakukan  sebagai pemandu pendidikan bagi  negara, pemimpin sekolah, para guru, orang tua dan siswa.

Tujuan yang jelas dan obyektif dari pendidikan harus dirinci. Yaitu berfungsi sebagai true North (utara yang sebenarnya) dari suatu kompas pendidikan dan sifatnya penting untuk menjamin bahwa keseluruhan pendidikan mengalami kemajuan dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan sehingga tidak mengembara ke mana-mana. Konsep hamba dan khalifah harus diterjemahkan ke dalam istilah-istilah operasional. Yang didalamnya mencakup kelanjutan kebijakan dan draf  kurikulum yang dibuat sesuai dengan konsep penting ini. Hal ini berarti kurikulum pendidikan Islam tidak hanya ditujukan secara khusus untuk umat Islam, universitas Islam, pendidikan Islam, tetapi juga dapat diakomodasi oleh seluruh manusia.

Dalam semangat ini, Konferensi Dunia Islam tentang Pendidikan Muslim Pertama, sebaiknya mengusulkan suatu pernyataan yang jelas tentang filsafat Islam dalam bidang pendidikan dengan tujuan:

Untuk keseimbangan antara perkembangan kepribadian manusia yang utuh melalui pelatihan ruhani,  akal, diri yang berakal, pikiran dan jasmani yang sehat. Pelatihan yang disampaikan kepada kaum Muslim harus  betul-betul dilandasi iman yang ditanamkan ke dalam keseluruhan kepribadiannya sehingga membuatnya mencintai Islam dan memungkinkannya mengikuti Qur’an dan Sunnah. Dengan sepenuh hati mau diatur oleh nilai-nilai sistem Islam sehingga ia mulai dapat  mewujudkan statusnya sebagai wakil Allah di bumi ini [1]

Langkah yang ketiga yaitu bahwa kurikulum universitas atau sekolah harus mencerminkan filsafat pendidikan, yang dalam praktenya tetap melalui mekanisme untuk meraih tujuannya. Secara khusus, hirarki ilmu pengetahuan (antara fardu  ‘an dan fardu  kifayah) harus dipelihara di dalam kurikulum. Ilmu pengetahuan yang berasal dari wahyu yang berfungsi sebagai ruh harus disebarkan ke seluruh mata kuliah pada semua fakultas di universitas Muslim. Oleh karena itu, beberapa mata pelajaran ilmu pengetahuan yang berasal dari wahyu harus menjadi persyaratan kelulusan bagi semua siswa, tanpa mengabaikan spesialisasi mereka.

Pendekatan pengajaran ilmu pengetahuan ini di universitas seharusnya berbeda dengan di sekolah-sekolah, karena mahasiswa lebih dewasa, mampu merefleksikan dan berpikir.  Dengan cara yang sama, beberapa mata pelajaran pengetahuan yang diperoleh dari belajar seperti ilmu pengetahuan alam, ilmu-ilmu sosial, dan humanisme harus diberikan kepada siswa, terlebih ilmu pengetahuan yang berasal dari wahyu. Sebuah kurikulum yang lebih terintregasi, tetapi masih memiliki sebuah inti (ilmu dari wahyu), harus diadopsi oleh sekolah-sekolah dan universitas sehingga permasalahan dualisme  pendidikan secara berangsur-angsur terhapus.

Kurikulum yang terintregasi memungkinkan siswa secara bersamaan menguasai ilmu yang didapat dari wahyu dan ilmu yang didapat dari dalam sistem sekolah. Upaya ini bisa dilakukan dengan cara memperkenalkan bahasa Arab lebih awal dalam kurikulum formal, karena ia adalah bahasa universal dan bahasa umat Islam.

B. Isi dan metode

Ilmu pengetahuan, berbagai hal yang pokok, atau mata pelajaran yang ditawarkan di dalam kurikulum harus bebas dari unsur-unsur sekuler dan westernized sebagai unsur asing dalam Islam. Unsur-unsur tersebut -dualisme, humanisme, sekularisme -yang secara khusus milik Barat dan anti Islam, harus dibuang dari kurikulum kita lalu diganti  dengan Islamic worldview yang bersifat tauhidi. Kurikulum itu harus memperkuat konsep-konsep Islam sebagai berikut:  

1. Pandangan Islam tentang Penciptanya (tauhid, iman dan sifat-sifat Allah);

2. Penciptaan manusia dan tujuannya, yakni untuk menyembah Allah, untuk menjadi khalifah Nya, untuk mengajak kepada kebaikan dan melarang kejahatan, dan untuk menyebarkan ajaran islam. 

3. Hubungan manusia dengan Penciptanya, yaitu kesadaran dari nya Allah, tanggung-jawab ke Allah, untuk berbuat baik perbuatan-perbuatan, menyembah dan memohon kepada-Nya;

4. Hubungan manusia dengan lainnya, untuk membangun keadilan, untuk memiliki rasa hormat seumur hidup, harta, dan martabat, untuk mengembangkan ahlaq dan untuk menunjukkan toleransi beragama. 

5. Hubungan manusia dengan lingkungan yang menekankan perannya sebagai wakil Allah, yang akan bekerja bersama demi keselarasan dengan semua ciptaan Allah, dan untuk mengenali atau menemukan Allah melalui ciptaan-Nya;

6. Pengembangan diri, dengan menyiapkan tempat untuk intropeksi diri  dan belajar dari kekeliruan-kekeliruan masa lampau;

7. Tujuan manusia, yang ,untuk memnunjukkan tanggung-jawab dengan mengevaluasi peran kita, memahami hari akhir dan dampak-dampak mereka.

8. Pengembangan etos Islam agar tercipta satu lingkungan yang bermanfaat untuk mempraktekkan Islam. [2]

Oleh karena itu, wajib bagi  para guru Muslim untuk menanamkan konsep-konsep Islam sebagaimana disebut di atas kepada para siswanya, dengan mengenyampingkan sejenak materi pelajaran yang sedang mereka ajarkan.

Menanamkan konsep-konsep dan nilai-nilai ini secara tidak langsung melalui mata pelajaran, terutama pelajaran ilmu eksakta seperti matematika atau akuntansi, tidaklah mudah[3] Oleh karena itu, para guru harus menanamkan secara langsung dengan cara bijaksana, terutama saat situasi kelas memungkinkan. Tugas ini tidak harus dibebankan kepada guru agama Islam.

Guru dan bagian administrasi bidang pendidikan harus menyediakan pelajaran terapan, khusunya bagi pelajaran moral dan pengembangan rohani.

Metode-metode baru pengajaran harus dieksplor dan guru atau dosen harus inovatif dan kreatif. Pengajaran ilmu pengetahuan agama tidak boleh terlalu bergantung pada metoda-metoda tradisional, seperti penghafalan teks-teks klasik, meski pelajaran tertentu perlu dihafalkan. Para siswa harus diarahkan pada proses belajar, termasuk metode latihan dan pemecahan masalah bukan hanya pada hasil. Oleh karena itu, mereka perlu dibimbing untuk memiliki sikap kritis dan berfikir sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam Qur’an.

Ada sebuah keseimbangan yang harus ditemukan berkaitan dengan pendekatan siswa dengan mata pelajaran. Berkaitan dengan hal ini,  pendekatan terhadap pendidikan guru yang selaras dengan filsafat pendidikan harus dikembangkan. Program pendidikan guru sebelum mengajar dan ketika mengajar- juga perlu dilakukan dalam rangka pengembangan kepribadian guru, khususnya berkaitan moral dan rohani, yang hampir terabaikan. Guru merupakan komponen  paling penting dalam melakukan perubahan-perubahan di dalam pendidikan, dan mereka seharusnya mengetahui dan mampu melihat arah pendidikan yang baru. Program pendidikan guru sebelum bertugas nampaknya hanya ditekankan pada ketrampilan-ketrampilan berfikir dan pengusaaan teknologi informasi tetapi lemah dalam masalah esensi dasar pengembangan pendidikan dan kepribadian,yaitu moral dan spiritual [4]

 

C. Evaluasi Pendidikan

Evaluasi merupakan suatu cara yang sangat baik untuk menjelaskan sasaran pendidikan. Ia  merupakan proses untuk mengenali seberapa jauh pelajaran mengalami perkembangan dan benar-benar termanage  sehingga mendapatkan hasil yang diinginkan. Proses evaluasi diantaranya mengidentifikasi kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan dari perencanaan. (5]

Evaluasi merupakan proses untuk mengetahui tingkat perubahan mengenai tingkah laku yang  terjadi sebenarnya [6] Oleh karena itu penting untuk membuang dugaan bahwa evaluasi hanya sekedar percobaan melalui  “kertas dan pensil”.  Evaluasi juga merupakan suatu kekuatan motivasi untuk belajar. Para siswa dipengaruhi pada pelajaran mereka, dan para guru dipengaruhi dalam  pengajaran mereka oleh jenis evaluasi yang diharapkan.

Sebagai konsekwensinya, kecuali jika prosedur evaluasi sejajar dengan tujuan  kurikulum pendidikan, prosedur evaluasi itu dapat menjadi fokus  perhatian siswa  bahkan guru ketimbang rancangan tujuan kurikulum [7]

Hal ini  benar, terutama berkenaan dengan tujuan moral dan rohani. Kita mengharapkan banyak perubahan dalam tingkah laku siswa, tetapi sayangnya, para siswa hanya sering  mencetak prestasi dalam ujian  tertulis tetapi tidak menunjukkan sikap moral yang diharapkan. Bila demikian, maka kurikulum harus ditinjau kembali berkaitan dengan pelajaran yang diberikan kepada mereka,berkaitan dengan  metoda pengajaran, dan model aturan evaluasi.

 

[1] S. M. Naquib alAttas (ed), Aims and Objectives of Islamic Education (Jeddah: King Abdulaziz University, 1979), 158-9. Italics added.

[2] Aku berhutang kepada orang yang mempersiapkan dan membagi-bagikan daftar ini selama Konferensi Dunia Yang Keenam di Pendidikan Islam di Kota Capetown, Selatan Afrika, 19-25 September 1996.

[3] See Rosnani Hashim, “Penyerapan Nilai Murni dalam KBSM” (The Inculcation of Moral Values in the Integrated Curriculum for Secondary Schools [KBSM]), paper presented at the National Seminar on Evaluation of the KBSM, Aminuddin Baki Institute, Layang Layang, Malaysia, 1997.

[4] Program pendidikan guru IIUM memberikan perhatian yang istimewa kepada dua  hal tersebut yaitu kepribadian guru melalui program halaqah dan perkemahan ibadah. Di  halaqah, para siswa diatur di dalam kelompok 10 dan masing-masing kelompok bertemu seminggu sedikitnya satu jam seperti yang dijadwalkan dalam kelas mereka untuk mendiskusikan topik-topik yang ditentukan dalam ilmu syariah dan kelompok konseling. Di dalam perkemahan ibadah, yang secara normal selama tiga hari di mana siswa mendengarkan ceramah, , mengambil bagian dalam workshop, melakukan shalat , membaca wirid malsurat dan membaca qur’an, kemudian shalat lail. Lihat Rosnani Hashim, The Relevance and Effectiveness of the IIUM Diploma in Education Programme as Perceived by Student Teachers in the 1994/95 Session, unpublished research report. See also M. Sahari Nordin and Rosnani Hashim, “Non-formal Curriculum Programme in IIUM Diploma in Education Programme,” paper presented at National Seminar on Teacher Education, Faculty of Education, University Putra Malaysia, 1997.

[5] Ralph W. Tyler, The Curriculum – Then and Now, in Proceedings of the 1956 Invitational Conference on Testing Problems (Princeton, N.J.: Educational Testing Service, 1957), 79, quoted in Daniel Tanner and L. N. Tanner, Curriculum Development: Theory into Practice (New York: Macmillan Publishing Co, 1980),  103.

[6] Ibid., 106.

[7] Ibid., 124.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *