Akhir “Hibernasi” Krisis Politik di Malaysia

Setelah “hibernasi” selama beberapa lama, akhirnya krisis politik di Malaysia bangkit mengambil momennya pada gelombang demonstrasi besar-besaran pada hari Sabtu (9/7). Demonstrasi tersebut digerakkan oleh pemimpin oposisi Malaysia Anwar Ibrahim yang bergerak dengan kekuatan penuh ribuan orang yang tergabung dalam kelompok BERSIH 2.0.

“Isunya, kami cuma minta pemilu jangan kotor lagi, harus bersih, jangan tipu lagi. Ini 2011”, kata  Anwar Ibrahim saat diwawancarai Metro TV (10/7) live dari rumah sakit tempat Anwar dirawat setelah mengalami luka di kepala dan kaki akibat terinjak-injak massa yang panik menghindari tembakan gas air mata oleh polisi.

Demonstrasi besar-besaran kelompok BERSIH 2.0 di Kuala Lumpur dan di beberapa kota-kota lainnya di dunia cukup mencengangkan dunia. Aksi BERSIH ini merupakan demonstrasi terbesar sejak terakhir kali diadakan BERSIH 1.0 pada tahun 2007. Kedua aksi BERSIH ini memiliki kesamaan isu dan juga momentum. BERSIH 1.0 dilakukan menjelang pemilu 2008 dan BERSIH 2.0 ini dilakukan menjelang pemilu yang diprediksi akan dilakukan akhir tahun 2011 atau tahun 2012.

Kepala Kepolisian Diraja Malaysia Inspektur Jenderal Ismail Omar dalam jumpa pers Sabtu malam menyebutkan, sebanyak 1.401 pengunjuk rasa ditangkap, namun Anwar Ibrahim tidak termasuk yang ditangkap. Diantara mereka yang ditangkap adalah Abdul Hadi Awang, Presiden Pan-Malaysia Islamic Party (PAS), partai oposisi terbesar di Malaysia, dan Ambiga Sreenivasan, pemimpin Koalisi Bersih, yang mengorganisasi aksi unjuk rasa. Sebagian besar tahanan segera dibebaskan setelah diperiksa polisi.

Demonstrasi, jika hal itu dilakukan di Indonesia, menjadi hal yang tidak menarik lagi mengingat frekuensinya yang terlalu sering pasca reformasi 1998. Namun lain halnya dengan Malaysia. Demonstrasi menjadi barang yang sangat tabu dilakukan di Malaysia karena potensinya yang dikhawatirkan dapat memicu kerusuhan etnis. Demonstrasi juga bisa merusakkan citra Malaysia sebagai negara yang tertib dan stabil serta mengancam sektor pariwisata negara jiran tersebut yang mampu menyedot 21 juta turis setiap tahunnya.

Kemudian muncul pertanyaan, kenapa negeri jiran yang selama ini terkesan tenang, tiba-tiba mengalami demonstrasi besar-besaran yang mengarah kepada krisis politik? Untuk memahami hal ini, Nabil Ahmad Fauzi, M.Soc.Sc, alumnus Program Master of  Strategic and Security Analysis  The National University of  Malaysia menyatakan bahwa ada tiga faktor pemicu.

Pertama, faktor gejolak sosial-keagamaan. Sejak Pemilu terakhir pada tahun 2008, situasi politik mempengaruhi relasi sosial-keagamaan di Malaysia. Muncul beberapa kasus-kasus yang mengancam kohesi sosial-keagamaan antara etnis Melayu, China dan India serta hubungan antara Islam dan non-muslim.

Semakin banyak terjadi insiden yang muncul dan menimbulkan ketegangan antar-etnis. Muncul juga gugatan-gugatan terhadap eksklusivitas Melayu dan Islam sebagai sendi negara. Karena itu, Melayu dan Islam, sebagai pihak mayoritas tipis dengan 60 persen populasi, kini semakin sensitif. Isu sosial keagamaan terakhir yang sempat menarik perhatian internasional adalah mengenai polemik penggunaan kata “Allah” bagi non-muslim di Malaysia tahun 2010 lalu. Insiden ini disertai dengan perusakan dan pembakaran beberapa buah gereja di Malaysia.

Kedua, faktor politik. Pemilu 2008 menjadi sebab utama berubahnya peta politik Malaysia sampai saat ini. Konstelasi politik di Malaysia saat ini juga rentan dikarenakan tidak tercapainya kekuasaaan mayoritas mutlak. Selain gagal menguasai 2/3 kursi parlemen, Barisan Nasional juga kehilangan 4 negara bagian (Selangor, Pulau Pinang, Kelantan dan Kedah) yang dikuasai oleh pihak oposisi.

Begitu juga dalam konteks tarik menarik dukungan melalui sentimen etnis dan keagamaan, yaitu Melayu dan Islam serta etnis non-Melayu dan non-muslim. Pola perebutan pengaruh itu mendominasi pentas politik di negara ini.

Barisan Nasional dengan tulang punggung UMNO (Partai Melayu) menggagas konsep persatuan etnis “Satu Malaysia” dan cenderung memperkuat posisinya sebagai pembela Melayu dan Islam. Sedangkan kekuatan oposisi, melalui Pakatan Rakyat dengan tokoh Anwar Ibrahim, Partai Keadilan Rakyat (PKR), Partai Islam se-Malaysia (PAS), dan Partai Aksi Demokratik (DAP) yang mewakili etnis Tionghoa selalu memainkan isu keberpihakan kepada etnis minoritas non-Melayu.

Ketiga, faktor Anwar Ibrahim. Tidak dapat dipungkiri jika faktor Anwar Ibrahim memainkan peran yang sangat penting dalam krisis politik di Malaysia. Anwar merupakan fenomena, baik bagi pihak pemerintah (Barisan Nasional) maupun pihak oposisi (Pakatan Rakyat).

Anwar merupakan mantan tokoh sentral dalam Barisan Nasional dengan posisinya sebagai mantan Wakil Perdana Menteri pada era Mahathir Mohamad. Pada sisi lain, Anwar merupakan tokoh yang mampu menggabungkan PKR, PAS dan DAP sebagai kekuatan oposisi besar di Malaysia. Sejak Anwar kembali dalam politik Malaysia pada tahun 2008, situasi politik Malaysia berubah menjadi sangat dinamis.

Faktor Anwar ini sangat nyata terlihat dalam aksi BERSIH 2.0 tersebut. Sejak 2009, Anwar menjadi aktor sentral dalam politik Malaysia yang terus menerus terlibat dengan berbagai insiden, kasus dan kontroversi. Bermula dengan tuduhan kasus sodomi jilid dua yang menimpa Anwar di mana ia dituduh menyodomi mantan staf pribadinya, Saiful Bukhari Azlan.

Ketika proses peradilan kasus sodomi ini masih berlangsung, Anwar kembali mendapatkan tekanan politik ketika ia bersama beberapa anggota parlemen lainnya mendapatkan sanksi skorsing untuk menghadiri sidang-sidang di parlemen karena dianggap membuka dokumen rahasia negara. Terakhir, Anwar dituduhkan terlibat dalam kasus video porno.

Melalui aksi BERSIH 2.0 ini, Anwar dianggap ingin mengulang “tsunami politik” yang berhasil menekan Barisan Nasional pada pemilu tahun 2008 lalu. Muncul juga dugaan bahwa aksi BERSIH 2.0 ini merupakan tindakan provokasi pihak Anwar dan oposisi yang dibekingi oleh Amerika Serikat untuk menciptakan gelombang reformasi politik seperti di negara-negara Arab.

Oleh karena itu, dalam membaca krisis politik di Malaysia ini setidaknya muncul dua kesimpulan. Pertama, jika terlibat secara langsung, maka ini merupakan serangan balik Anwar dan oposisi terhadap pemerintah atas berbagai tekanan politik terhadapnya dalam dua tahun terakhir. Kedua, Kalaupun tidak terlibat langsung, maka Anwar sangat diuntungkan terhadap peristiwa ini. (kar/kompas.com/kompasiana.com/metrotv)

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *