Konsep HAM: Antara Ilahiyah dan Insaniyah

Oleh: Kholili Hasib*

Inpasonline.com-Konsep HAM (Hak Asasi Manusia) secara universal ditetapkan pada 10 Desember 1948, yang dikenal dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).  Konsep ini lah yang mendasari Negara-negara dunia dalam praktik HAM di wilayahnya saat ini. Meski dideklarasi secara internasional dan universal, namun tidak berarti telah melampau batas-batas netralitas. Lebih dari itu,  konsep HAM universal mengandung pro-kontra, dan problem absolusitas dan universalitasnya.

Sejak ditetapkan, penempatan DUHAM sebagai tatanan universal absolut telah mendapatkan kritik dan tantangan dari berbagai Negara. Pada Desember 1994 diadakan Konferensi Internasional HAM bertema Rethingking Human Rights yang diselenggarakan oleh Just World’s Trus di Malaysia. Konferensi ini dihadiri oleh 60 pakar HAM dari Negara-negara besar; Cina, Jepang, Inggris, Amerika. Kumpulan makalah (proceding) dari konferensi ini kemudian dibukukan dengan judul Human’s Wrong (edisi Indonesia: Rekor Buruk Dominasi Barat atas HAM, Penerbit Pilar Media, tahun 2007).

Dijelaskan dalam buku itu latar belakang diadakannya konferensi internasional tentang HAM, yaitu untuk meninjau ulang gagasan HAM dan praktik yang dijalankan. Para penulis artikel dalam buku (proceding) tersebut umumnya mempertanyakan dominasi HAM oleh Negara-negara besar di Barat.

Seorang sarjanan Barat, David G du Bois dari AS dalam buku itu menulis kritik terhadap rasisme di Negara Barat yang masih tetap bertahan dan dipertahankan. Karena penduduk Barat tetap diam membisu terhadap pelanggaran HAM yang mereka lakukan terhadap lima per enam penduduk dunia (Chandra Mudzaffar,Human’s Wrong Rekor Buruk Dominasi Barat atas HAM, hlm. 96-106).

Dalam artilel lain Erskine Chliders, mantan Penasihat Senior PBB mengkritik tentang peran PBB terkait pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pihak Barat. Menurut Chlider’s ini merupakan kegagalan PBB, karena PBB hanya berdiam saja ketika AS dan sekutunya melakukan suatu intervensi kemanusiaan atas nama PBB terhadap suatu negara yang dianggap musuhnya. Chlider’s menyebut, tindakan ini adalah penyalahgunaan piagama PBB yang harus diberi sanksi. Akan tetapi, PBB dimandulkan oleh dominasi negara Barat. Ia menganjurkan agar ditampung suara dari negara-negara Selatan dan Timur ((Chandra Mudzaffar,Human’s Wrong Rekor Buruk Dominasi Barat atas HAM, hlm. 111-119).

Ketidak puasan warga dunia terhadap konsep DUHAM univerasl itu wajar. Problematika negara-negara Besar adalah inkonsistensi dalam menerapkan konsep HAM. Negara AS misalnya, setiap tahun mengeluarkan Country Report on Human Rights Practices dari beberapa negara. Tetapi, Manager Nasution — anggota Komisioner Komnas HAM RI — menyatakan bahwa tujuan laporan tersebut tidak lepas dari kepentingan politik, baik terkait dengan bantuan, kerja sama, maupun agenda-agendanya. Dalam laporannya misalnya, lanjut Manager Nasution, AS masih menilai Indonesia termasuk negara yang nilai penegakan HAM-nya buruk, terutama kasus kebebasan beragama. Country Report on Human Rights Practices menuai banyak protes dari negara-negara, Cina, Rusia dan lain-lain.

Sedangkan di dunia Muslim, pada tahun 1990 OKI (Organisasi Konferensi Islam) mengadakan Deklarasi Cairo. Deklarasi ini merupakan sikap internasional pemimpin negara Muslim atas ketidaksempurnaan konsep DUHAM sejauh ini.

Salah satu rasionalisasi para pencetus Deklarasi Cairo adalah pemikiran bahwa DUHAM tidak mutlak bersifat universal. Tetapi, sebagai umat beragama Islam terikat oleh diktum-diktum syariah yang tidak tertampung dalam DUHAM. Dalam arti, konsep HAM juga bersifat partikular, tidak mutlak universal.

Deklarasi itu terdari dari 25 pasal yang mencakup masalah kehormatan manusia, persamaan, manusia sebagai keluarga, perlunya kerjasama antar sesama manusia tanpa memandang bangsa dan agamanya, kebebasan beragama, keamanan rumah tangga, perlunya solidaritas individu dalam masyarakat, pendidikan bukan hak tapi kewajiban, perlindungan terhadap kesehatan masyarakat, pembebasan masyarakat dari kemiskinan dan kebodohan,  dan lain sebagainya.

Inti dari Deklarasi Cairo adalah; 1) Islam mengakui persamaan semua orang tanpa membedakan asal-usul, ras, jenis kelamin, warna kulit dan bahasa, 2) persamaan adalah basis untuk memperoleh hak dan kewajiban asasi manusia, 3) kebebasan manusia dalam masyarkat Islam consisten dengan esensi kehidupannya, sebab manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dan bebas dari tekanan dan perbudakan, 4) Islam mengakui persamaan antara penguasa dan rakyat yang harus tunduk kepada hukum Allah tanpa diskrimasi, 5) warganegara adalah anggota masyarakat dan mempunyai hak untuk menuntut siapapun yang mengganggu ketentraman masyarakat.

Pandangan tentang partikularitas konsep HAM itu masuk akal. Khususnya antara konsep DUHAM dan pemahaman HAM Islam. Lebih-lebih, penyusunan konsep DUHAM universal itu tidak melibatkan negara-negara Muslim.  Dalam konteks negera Indonesia dengan dasar Pancasilanya juga cukup wajar jika ada perbedaan antara konsep HAM Indonesia dengan DUHAM.

Bila ditinjau dari perspektif worldview, maka perbedaan konsep HAM itu berakar dari perbedaan dalam cara pandang terhadap Tuhan dan agama. Dalam kenyataannya, bahwa orientasi manusia Barat telah bergeser dari sentralitas Tuhan kepada sentralitas manusia. Dari teosentrisme menuju humanisme. Hal inilah yang menyebabkan alotnya menyamakan persepsi soal konsep kebebasan beragama. Humanisme memaknai kebebasan beragama sebagai standar kebebasannya tidak merujuk kepada agama sebagai sebuah institusi. Sementara,  agama memaknai kebebasan ia menggunakan acuan internal agama masing-masing dan selalunya tidak diterima oleh prinsip humanisme. Demikian seterusnya, tidak ada ujung pertemuannya.

Manger Nasution menulis, ada perbedaan antara HAM Islam dan HAM universal. Dalam DUHAM 1948, manusia dilihat sebagai individu pada dirinya (anthropocentric). Sedangkan dalam syariat Islam (termasuk dalam deklarasi Islam tentang HAM), manusia adalah hamba Tuhan (theocentric). Fondasi HAM Islam dan HAM universal berbeda. Fondasi Islam bersifat teosentrik, fondasi HAM universal bersifat atroposentrik. Prinsip Islam adalah ilahiyah sedangkan HAM universal adalah humanisme (Manager Nasution,Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer Problem Hak Asasi Manusia, hlm. 36).

Maka, dengan merujuk konsep DUHAM, kebebasan itu tidak ada kaitan dan tidak bisa diikat oleh agama. Sementara HAM Islam sebaliknya. Jadi, dari perspektif ini sesungguhnya perbedaannya tidak sederhana, tetapi sangat dalam dan mendasar sekali.

Dengan cara pandang humanisme atau antropsentis itu, maka perbuatan hubungan seksual tanpa ikatan nikah itu adalah hak. Tidak boleh diganggu, selama tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Hubungan seksual suka-sama suka itu bukan kesalahan. Bisa jadi itu ada yang mengaggap dosa, tetapi bukan kriminal.

Sementara Islam mengatur bahwa hubungan seksual harus dilakukan oleh pasangan sah terikat perkawinan.  Sementara, hubungan seksual tanpa ikatan pernikahan adalah zina. Dan zina adalah dosa, dan termasuk kejahatan seksual. Maka, mengkuhum pelaku zina bukan pelanggaran HAM, tetapi penegakan hukum. Sementara dalam Islam, penegakan hukum dalam rangka  memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta (Imam al-Ghazali, Al Mustashfa, hal. 275).

Karena itu, kebebasan dalam Islam bukan membiarkan sebebas-bebasnya manusia untuk berbuat apa saja. Kebebasan adalah bertindak sesuai dengan yang dituntut oleh hakikat sebenarnya dari dirinya. Apa itu hakikat diri? Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas menjelaskan, yaitu kembali kepada kecenderungan alami, sebagai hamba yang khudu’ (patuh) kepada aturan Allah.
Prof. Al-Attas menyebut konsep kebebasan itu dengan terminologi ikhtiyar (yakni memilih yang baik). Memilih itu bukan yang buruk. Sebab, jika manusia itu memilih yang buruk itu bukan kebebasan tapi kecelakaan (Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Peri Ilmu dan Pandangan Alam, hal. 63).

Maka, kebebasan itu sebenarnya bentuk penghambaan yang murni kepada Allah. Kaitannya dengan Islam itu membebaskan manusia. Yakni membebaskan dari belenggu nafsu yang merusakkan dan mengakui hak-hak kemanusiaan secara proporsional. Bukan membiarkan secara liberal. Maka jika ada bentuk kebebasan itu yang justru merusak jiwa, akal dan agama, sesungguhnya bukan kebebasan yang sebenarnya. Tapi itu bentuk kecelakaan dan kerusakan yang harus dicegah.

Dengan HAM berbasis ilahiyat itu tidak berarti melalaikan insaniyat. Islam dengan jelas telah memposisikan manusia pada tempat yang mulia. Manusia adalah makhluk yang diberi keutamaan dibanding makhluk-makhluk yang lain. Selain diberi kesempurnaan ciptaan manusia juga diberi sifat fitrah, yaitu sifat kesucian yang bertendesi mengenal dan beribadah kepada Tuhannya, serta bebas dari tendensi berbuat jahat.

leh sebab itu manusia mengemban tanggung jawab terhadap Penciptanya dan mengikuti batasan-batasan yang ditentukanNya. Untuk melaksanakan tanggung jawabnya itu manusia diberi kemampuan melihat, merasa, mendengar dan yang terpenting adalah berfikir. Pemberian ini merupakan asas bagi lahirnya ilmu pengetahuan dan pengembangannya. Ilmu pengetahuan, dalam Islam, diposisikan sebagai anugerah dari Tuhan dan dengan ilmu inilah manusia mendapatkan kehormatan kedua sebagai makhluk yang mulia. Artinya manusia dimuliakan Tuhan karena ilmunya, dan sebaliknya ia akan mulia disisi Tuhan jika ia menjalankan tanggung jawabnya itu dengan ilmu pengetahuan.

Namun dalam masalah kebebasan hanya Tuhanlah pemiliki kebebasan dan kehendak mutlak. Manusia, meski diciptakan sebagai makhluk yang utama diantara makhluk-makhluk yang lain, ia diberi kebebasan terbatas, sebatas kapasitasnya sebagai makhluk yang hidup dimuka bumi yang memiliki banyak keterbatasan. Keterbatasan manusia karena pertama-tama eksistensi manusia itu sendiri yang relatif atau nisbi dihadapan Tuhan, karena alam sekitarnya, karena eksistensi manusia lainnya. Upaya untuk melampaui keterbatasan manusiawi adalah ilusi yang berbahaya. Berbahaya bukan pada Yang Maha Tak Terbatas, yaitu Tuhan, tapi pada manusia sendiri.

Hamid Fahmy Zarkasyi menulis, Kebebasan manusia dalam Islam didefinisikan secara berbeda-beda oleh ahli fiqih, teolog, dan filosof. Bagi para fuqaha, kebebasan itu secara teknis menggunakan terma hurriyah yang seringkali dikaitkan dengan perbudakan. Seorang budak dikatakan bebas (hurr) jika tidak lagi dikuasai oleh orang lain. Namun secara luas bebas dalam hokum Islam adalah kebebasan manusia dihadapan hokum Tuhan yang tidak hanya berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhan tapi hubungan kita dengan alam, dengan manusia lain dan bahkan dengan diri kita sendiri. Sebab manusia tidak dapat bebas memperlakukan dirinya sendiri. Dalam Islam bunuh diri tidak dianggap sebagai hak individu, ia merupakan perbuatan dosa karena melampaui hak Tuhan.

Menurut para teolog kebebasan manusia tidak mutlak dan karena itu apa yang dapat dilakukan manusia hanyalah sebatas apa yang mereka istilahkan sebagai ikhtiyar. Ikhtiyar memiliki akar kata yang sama dengan khayr (baik) artinya memilih yang baik. Istikaharah adalah shalat untuk memilih yang baik dari yang tidak baik. Jadi bebas dalam pengertian ini adalah bebas untuk memilih yang baik dari yang tidak baik. Sudah tentu disini kebebasan manusia terikat oleh batas pengetahuannya tentang kebaikan. Karena pengetahuan manusia tidak sempurna, maka Tuhan memberi pengetahuan melalui wahyuNya.

Atas dasar itulah, kebebasan dalam HAM itu liberal, bebas sebebasnya. Tetapi ada batasan-batasannya. Maka, dalam konteks negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, mendasarkan kebebasan dan HAM berdasarkan Pancasila. Harap diingat, sila pertama berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa.

Kebebasan setiap orang untuk berkeyakinan perlu diatur agar kebebasan itu tidak sampai jatuh pada penodaan agama. Melindungi agama-agama yang telah diakui perlu lebih didahulukan daripada keputusan memberi kebebasan aliran lain yang setara dengan agama. Setiap orang memilik hak berkeyakinan. Tetapi setiap agama perlu mendapatkan perlindungan Negara dari penodaan. Sebuah hak tidak boleh melanggar hak orang lain.

Pada Rakornas (rapat kordinasi nasional) komisi Pengkajian dan Penelitian MUI Provinsi se-Indonedia, 2 September 2016, Jaksa Agung Muda Bidang Intelejen, Teguh, SH, MH, mengatakan UU No. 1 PNPS 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/Atau Penodaan Agama diperlukan di Indonesia. “Setiap warga negara harus tunduk pada batasan-batasan dengan maksud menjamin hidup agama. Yaitu dibatasi oleh UU No. 1 PNPS 965. Ada HAM (Hak Asasi Manusia) yang mutlak, tetapi di negara Indonesia juga ada HAM Konstitusional. Yakni hak-hak asas manusia yang diatur undang-undang”, jelas Teguh. Pasal 1 UU menerangkan tentang larangan melakukan penodaan agama dalam bentuk apapun. Bunyi pasal tersebut adalah:“Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.”

Artinya, masalah ini bukan sekedar hak beragama atau berkeyakinan saja, tetapi yang perlu dikaji adalah hak perlindungan agama. Setiap warga Negara memiliki hak untuk memiliki keyakinan apa saja, tetapi warga Negara juga memiliki hak agar agamanya mendapatkan perlindungan dari Negara. Perlindungan terhadap agama, bukan sekedar pemeluk agamanya, yang belum tercantum dalam konsep DUHAM universal.

Meskipun memberi kebebasan setiap orang untuk memeluk dan beribadah sesuai keyakinannya, tetapi negara membatasi kebebasan itu agar kebebasan masyarakat secara kesuluruhan tidak terganggu. Agama merupakan hak dasar manusia. Karena itu harus dilindungi oleh negara. Sebab, sebagai hak dasar, maka setiap manusia akan menunut hak dasarnya itu bila ada hambatan-hambatan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *