Oleh: Alwi Alatas
Inpasonline.com-Jakarta adalah kota dengan banyak wajah. Ia menampakkan wajah yang carut marut di satu sisi, tapi juga memiliki wajah yang cerah di sisi yang lain. Padatnya penduduk, kemacetan lalu lintas di berbagai ruas jalan, anak-anak jalanan di sana-sini, serta bertebarannya tempat-tempat maksiat merupakan sebagian dari kekusutan yang ditampilkan kota ini. Tapi Jakarta juga memiliki wajah lain yang positif, wajah yang Islami. Masjid dan mushala berdiri di banyak tempat, kadang seperti tanpa perencanaan, sehingga dalam jarak kurang dari lima puluh meter mungkin boleh dijumpai dua buah mushala. Azan di setiap waktu shalat sangat mudah terdengar, khususnya di pemukiman yang dominan dihuni komunitas Betawi, penduduk lokal Jakarta, karena jarak masjid dan mushala yang sangat dekat dengan rumah-rumah penduduk. Pengajian dan majelis-majelis taklim tumbuh dengan subur. Dan dalam beberapa kesempatan, apresiasi penduduknya terhadap politik Islam cukup tinggi. Semua itu tentunya bukan fenomena yang muncul tiba-tiba, karena Jakarta merupakan sebuah kota yang memiliki sejarah panjang.
Sebelum era Islam, Jakarta merupakan kota pelabuhan utama milik Kerajaan Hindu Pajajaran. Namanya ketika itu Sunda Kalapa, yang tampaknya memiliki pengertian tanah Sunda yang memiliki banyak pohon kelapa di wilayahnya.[1] Kota-kota pelabuhan di pesisir utara Jawa merupakan pusat-pusat perdagangan yang sangat sibuk dan menjadi tempat berkumpulnya para pedagang dari berbagai negeri. Antara abad ke-12 dan 16, terlebih setelah bermunculannya kerajaan-kerajaan Islam lokal di Sumatera dan Semenanjung Malaya, aktivitas para pedagang Muslim menjadi semakin menonjol di pantai-pantai utara Jawa. Secara bertahap, beberapa penguasa pesisir mulai masuk Islam dan membangun hubungan lebih kuat dengan para pedagang dan pendatang Muslim.[2] Ketika Kerajaan-kerajaan Islam seperti Demak, Banten, dan Cirebon, bermunculan di pantai-pantai utara Jawa, maka Kerajaan Hindu Pajajaran yang berpusat di pedalaman Jawa Barat semakin terdesak ke pedalaman. Hubungan yang belakangan dibangun oleh Pajajaran dengan Portugis membuat Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa ini menjadi lebih waspada dan antisipatif terhadap kemungkinan masuknya pengaruh Portugis ke Jawa.
Pada tahun 1527, Fatahillah atau Fadhilah Khan, atas dukungan Demak, Cirebon, dan Banten, mengalahkan pasukan Portugis yang hendak masuk ke pelabuhan Sunda Kelapa, sekaligus mengambil alih kota itu dari tangan Pajajaran. Nama kota itu kemudian diubah menjadi Jayakarta yang bermakna kemenangan yang nyata dan mendapat inspirasi dari ayat pertama Surat al-Fath dalam al-Qur’an. Sejak itu, Jayakarta menjadi sebuah pusat pemerintahan Islam yang baru. Ia menjadi negeri bawahan Banten. Tata kota dikembangkan sejalan dengan pusat-pusat pemerintahan Islam di Jawa lainnya.[3] Bagaimanapun, versi sejarah resmi kelahiran Jakarta ini mendapat penolakan dari sejarawan dan budayawan Betawi, Ridwan Saidi. Menurut Saidi, pada saat kota itu direbut oleh Fatahillah, di sana sudah ada 3000 orang Betawi, atau proto-Betawi, Muslim. Syahbandar Sunda Kelapa ketika itu berasal dari kalangan mereka, walaupun kota ini berada di bawah Kerajaan Pajajaran. Saat Fatahillah masuk ke kota ini, penduduk lokal ini justru terusir keluar dari Jakarta. Nama Jayakarta dan 22 Juni 1527 sebagai tanggal kemenangan Fatahillah dan hari lahir Jakarta juga mendapat kritik dari Ridwan Saidi. Nama Jayakarta menurutnya sudah dikenal oleh penduduk Sunda Kelapa sebelum kedatangan Fatahillah dan penetapan 22 Juni sebagai hari jadi Jakarta lebih merupakan sebuah keputusan politik ketimbang sejarah.[4] Kritik ini tentunya menjadi tantangan bagi pera peneliti untuk mengkaji kembali sejarah Jakarta dan peranan Fatahillah di dalamnya.
Terlepas dari kontroversi di atas, pemerintahan Jayakarta hanya berlangsung kurang dari satu abad. Pada tanggal 30 Mei 1619, perusahaan dagang Belanda, VOC, di bawah kepemimpinan Jan Pieterszoon Coen merebut kota ini dari tangan Pangeran Wijayakrama. Pangeran Wijayakrama dan keluarganya kemudian mengundurkan diri ke daerah yang sekarang ini dikenal sebagai Jatinegara Kaum. Setelah penaklukkan tersebut, VOC mengganti nama kota ini menjadi Batavia dan menjadikannya sebagai pusat pemerintahannya di Hindia Belanda.[5]
Menurut Karel Steenbrink, pola kebijakan VOC pada tingkat tertentu membuat Batavia terlihat seperti sebuah kantong Kristen yang kaku di tengah negeri Muslim. Pemisahan Islam-Kristen dan pembatasan terhadap tempat ibadah selain Kristen di dalam tembok kota Batavia, yang saat itu berada di Jakarta Utara, merupakan kebijakan yang diambil oleh VOC. Bagaimanapun, pemerintah kolonial tidak terlalu berhasil dalam hal ini. Secara gradual mereka terpaksa mengakui dan ikut mengatur hal-hal yang terkait dengan Islam. Pada tahun 1748 seorang ulama ditunjuk sebagai pengawas utama sebuah masjid di luar gerbang Utrecht, Batavia. Enam tahun kemudian sebuah kopendium Hukum Islam yang berkaitan dengan warisan, pernikahan, dan perceraian disusun setelah berkonsultasi dengan Delegasi Urusan Pribumi serta para ulama dan pegawai dari kampung-kampung di sekitar kota itu. Hukum ini berlaku bagi kaum Muslimin, sementara hukum sipil pemerintah kolonial berlaku bagi orang-orang Eropa.[6] Keterlibatan pemerintah kolonial dalam urusan-urusan keislaman akan semakin meningkat pada masa-masa yang belakangan. Kadang gubernur jenderal Belanda sendiri merasa terkesan dengan keilmuan yang dimiliki ulama setempat atau yang kebetulan sedang berada di Batavia. Pada tahun 1773, misalnya, tiga orang ulama Nusantara, seorang di antaranya berasal dari Jakarta, kembali dari masa belajar mereka di Timur Tengah. Mereka adalah Muhammad Arshad, Abd al-Rahman al-Batawi al-Masn, dan Abd al-Wahab al-Bugisi. Abd al-Rahman al-Batawi meminta rekannya, Muhammad Arshad, untuk tinggal di Batavia selama dua bulan, sebelum yang terakhir ini meneruskan perjalanannya ke Banjarmasin. Pada masa ini, Muhammad Arshad melakukan koreksi arah kiblat terhadap beberapa masjid di Batavia, antara lain Masjid Jembatan Lima dan Masjid Pekojan. Hal ini menimbulkan kontroversi di kalangan tokoh-tokoh Muslim setempat dan mendorong Gubernur Jenderal Belanda memanggil Muhammad Arshad untuk memberikan penjelasan. Dalam pertemuan itu, Gubernur Jenderal merasa terkesan dengan kemampuan kalkulasi Muhammad Arshad dan memberinya beberapa hadiah. Abd al-Rahman al-Batawi sendiri beberapa tahun kemudian melakukan hal yang sama, kali ini di Palembang. Pembetulan kiblat ini pun memicu terjadinya perdebatan di kalangan tokoh-tokoh Muslim setempat.[7]
Salah satu bentuk kebijakan kolonial lainnya adalah segregasi etnis. Berbagai etnis, baik yang berasal dari Nusantara ataupun yang berasal dari negeri-negeri lainnya, seperti India, Arab, Cina, dan Persia, biasanya ditempatkan di Batavia pada lokasi-lokasi yang terpisah. Walaupun kampung-kampung di Batavia diatur berdasarkan asal-usul etnis, tetapi pernikahan di antara etnis-etnis yang berbeda ini kerap terjadi. Konflik antar etnis agak jarang terjadi dibandingkan konflik di dalam internal etnis sendiri, yang biasanya muncul karena perbedaan agama. Ikatan etnis dan traditional semakin berkurang dan nilai-nilai dari agama yang sama, yaitu Islam, menjadi pembentuk identitas yang baru dari masyarakat Batavia pada umumnya.[8] Orang yang berkunjung ke Batavia akan mendapati penduduknya mengidentifikasi diri mereka sebagai Muslim. Islam menjadi identitas utama mereka mendahului identitas etnis. Sebenarnya, hal ini berlaku umum di Batavia dan kota-kota lainnya di Jawa pada abad ke-18 hingga awal abad ke-20. Seperti ditulis Michael Laffan, ketika seorang pribumi diminta untuk menyebutkan identitas atau kebangsaannya, maka seorang Melayu atau Jawa akan menyatakan kebangsaan utamanya sebagai Islam. Semua orang yang mengenakan peci akan dianggap sebagai orang Islam dan sebutan orang Jawa, orang Sunda, ataupun lainnya, hanya menjadi suatu subkategori jika dikaitkan dengan identitas sebagai Muslim.[9]
Kuatnya ikatan dan identitas Islam dapat dilihat contohnya pada kedatangan etnis Ambon dan Bali dari tempat asal mereka ke Batavia pada abad ke-17. Pada tahun 1656, angkatan pertama orang-orang Ambon didatangkan ke Batavia oleh pemerintah kolonial. Mereka sebenarnya berasal dari pulau-pulau dan sub-etnis yang berbeda di Maluku, tetapi di Batavia mereka dihimpun dalam satu kumpulan yang sama. Pada tahun 1671 terjadi konflik di antara sesama mereka. Pemicunya bukan asal-usul tempat atau kesukuan, melainkan perbedaan agama. Hal ini membuat pemerintah kolonial terpaksa menempatkan orang-orang Ambon Kristen secara terpisah dari rekan-rekannya yang Muslim.
Pada tahun 1686 sekumpulan orang Bali didatangkan ke Batavia. Ketika itu sudah ada orang-orang Bali yang dilahirkan dan tinggal di Batavia. Yang terakhir ini meminta kepada pemerintah kolonial agar para pendatang baru ditempatkan pada kampung yang terpisah dengan kepala kampung yang berbeda juga. Walaupun perbedaan waktu kedatangan mereka hanya terpaut beberapa puluh tahun saja, tetapi di antara orang-orang Bali yang sudah lama berada di Batavia dengan yang baru datang terdapat perbedaan yang cukup besar. Tampaknya orang-orang Bali yang teah menetap di Batavia telah beralih menjadi Muslim selama mereka tinggal di Jakarta. Semua ini membuat Remco Raben menyimpulkan, “It is remarkable that while conflicts mounted within certain ethnic groups, only rarely did clashes occur between groups. The absence of friction or competition along ethnic lines casts further doubt on the existence of clear ethnic boundaries between these groups. Here we are witness to the strong assimilatory power of Islam.”[10]
Selama masa pemerintahan kolonial, Islam di Batavia terus berkembang. Orang-orang dari berbagai suku bangsa di Nusantara, seperti Sunda, Jawa, Bugis, Banjar, Banda, Bali, Ambon, dan lainnya, serta dari berbagai negeri, seperti Arab, Turki, Persia, Mesir, India, Cina, Patani-Thailand, Kamboja, dan Birma, berdatangan dan menetap di Batavia. Mereka menetap di perkampungan yang terpisah, tetapi interaksi dagang dan juga keagamaan berjalan dan berkesinambungan di antara mereka. Bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Melayu.[11]
Keberadaan masjid-masjid tua di Jakarta menjadi saksi bisu berkembangnya gairah keagamaan di kota ini sejak masa yang lama. Masjid-masjid tua yang masih ada hingga sekarang ini telah berdiri sejak abad ke-18, bahkan abad ke-17. Alwi Shihab mencatat bahwa masjid Salafiah di Jatinegara Kaum merupakan pengembangan dari sebuah mushala yang dibangun oleh Pangeran Ahmad Jaketra pada tahun 1620, hanya satu tahun setelah ia dan keluarganya kalah dari VOC dan terusir keluar dari Batavia.[12] Masjid-masjid tua lainnya di Jakarta antara lain: Masjid Langgar Tinggi (1740), Masjid Bandengan (1749), Masjid Angke (1761), Masjid Tambora (1761) yang didirikan oleh Haji Mustoyib Ki Daeng, Masjid Kebon Jeruk (1785/6) yang didirikan oleh seorang Tionghoa Muslim, Tamien Dosol Seeng, Masjid al-Ansor (1848), masjid al-Mansur (abad ke-18), serta masjid Marunda (abad ke-17/ 18). Selain itu ada juga Masjid Luar Batang (1739) yang dibangun oleh Sayid Husein bin Abu Bakar al-Aydrus. Makam Sayid Husein yang terletak berdampingan dengan Masjid Luar Batang hingga kini masih menjadi tempat ziarah yang ramai dikunjungi orang, baik dari Jakarta maupun dari kota-kota lainnya.[13]
Pada masa-masa ini Batavia merupakan salah satu sentra jaringan ulama di Asia Tenggara dan pada awal abad ke-20 ia merupakan salah satu pusat pergerakan Islam yang penting. Batavia, bersama Singapura, menjadi tempat transit jamaah haji serta para pelajar dan ulama Nusantara yang hendak berangkat atau pulang dari Timur Tengah. Komunikasi antara para ulama Batavia dengan para ulama Hijaz terkait dengan persoalan-persoalan keagamaan yang berkembang di Nusantara serta permintaan akan fatwa juga kerap terjadi.[14] Jaringan intelektual ulama di Batavia pada penghujung abad ke-19 hingga abad ke-20 mengambil peranan yang penting. Tokoh yang cukup menonjol pada masa ini antara lain Sayyid Usman bin Abd Allah bin Yahya (1822-1913) yang dikenal sebagai mufti Batavia. Terlepas dari hubungan dekatnya dengan Snouck Hurgronje dan pemerintah kolonial serta sikapnya yang berseberangan dengan gerakan modern Islam yang muncul kemudian, sumbangan keilmuannya serta peranannya dalam penerbitan risalah-risalah keislaman cukup besar. Beliau memiliki banyak murid yang meneruskan tradisi keilmuan di Batavia, di antaranya adalah Habib Ali bin Abd al-Rahman al-Habsyi (1869/70-1968) yang kemudian mendirikan majelis taklim di Kwitang, Jakarta Pusat. Majelis taklim yang diadakan setiap hari Ahad pagi itu berkembang pesat dan dihadiri banyak orang. Di antara murid Habib Ali al-Habsyi adalah KH Abdullah Syafei, pendiri majelis taklim Asyafiiyah, KH Tohir Rohili, pendiri majelis taklim Tahiriyah, serta KH Abdulrazak Makmun dan KH Zayadi.[15] Para ulama ini kemudian melanjutkan tradisi keilmuan di Batavia sehingga majelis-majelis taklim banyak bermunculan di penjuru Jakarta.
Di samping berkembangnya majelis taklim yang bercorak tradisional, Batavia juga menjadi salah satu pusat pergerakan Islam yang penting di awal abad ke-20. Jamiat Khayr, organisasi serta sekolah modern Islam pertama di Indonesia ditubuhkan di Batavia. Organisasi Jamiat Khayr berdiri pada tahun 1901[16] sementara sekolahnya berdiri pada tahun 1905.[17] Walaupun organisasi yang didirikan oleh kalangan keturunan Hadrami ini kemudian mengalami perpecahan dan kemunduran, tetapi gerakan-gerakan modern Islam lainnya terus bermunculan dan memainkan peranan penting dalam proses kemerdekaan Indonesia.
Setelah kemerdekaan, nama Batavia diganti menjadi Jakarta. Warna Islam masih terlihat jelas di berbagai belahan Jakarta hingga sekarang ini. Masjid-masjid dengan pengajian dan majelis-majelis taklimnya serta suara azan yang bersahutan di setiap waktu shalat masih menjadi ciri khas kota Jakarta. Ekspresi Islam juga terlihat pada sekitar seratus nama jalan di Jakarta sekarang ini yang menggunakan nama-nama haji tertentu.[18] Walaupun kota ini sudah berusia ratusan tahun dan semakin padat oleh penduduk, Islam tampaknya tak jua memudar dan menjadi senja di ufuk kota Jakarta.
Kuala Lumpur
17 Februari 2012
Bibliografi
Khan, I.K. Islam in Modern Asia. New Delhi: MD Publications. 2006.
Laffan, Michael Francis. Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The umma below the winds.
London: RoutledgeCurzon. 2003.
Mobini-Kesheh, Natalie. The Hadhrami awakening, community and identity in the Netherlands East
Indies, 1900-1942. New York: Cornell Southeast Asia Program Publications. 1999.
Nas, Peter J.M. and Kees Grijns. “Jakarta-Batavia: A sample of current socio-historical research” Kees
Grijns and Peter J.M. Nas. Jakarta: Socio-cultural essays. Leiden: KITLV Press. 2000.
Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1900-1942. Jakarta: LP3ES. 1994.
Raben, Remco. “Round about Batavia: Ethnicity and authority in the Ommenlanden, 1650-1800” Kees
Grijns and Peter J.M. Nas. Jakarta: Socio-cultural essays. Leiden: KITLV Press. 2000.
Shihab, Alwi. Betawi: Queen of the East. Jakarta: Republika. 2004.
Soekirno, Ade S.S.P. Pangeran Jayakarta: Perintis Jakarta Lewat Sejarah Sunda Kelapa. Jakarta:
Grasindo. 1995.
Steenbrink, Karel. Dutch Colonialism and Indonesian Islam: Contacts and Conflicts 1596-1950
(diterjemahkan oleh Jan Steenbrink and Henry Jansen). Amsterdam: Rodopi. 2006.
Taylor, Jean Gelman. “The Chinese and the early centuries of conversion to Islam in Indonesia,” Tim
Lindsey and Helen Pausacker (eds), Chinese Indonesians: Remembering, distorting, forgetting.
Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. 2005.
Tjandrasasmita, Uka. Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 2009.
[1] Ade Soekirno S.S.P., Pangeran Jayakarta: Perintis Jakarta Lewat Sejarah Sunda Kelapa, Jakarta: Grasindo, 1995, hlm. 17.
[2] Jean Gelman Taylor, “The Chinese and the early centuries of conversion to Islam in Indonesia,” dalam Tim Lindsey and Helen Pausacker (eds), Chinese Indonesians: Remembering, distorting, forgetting, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2005, hlm. 159.
[3] Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia: 2009, hlm. 152.
[4] Lihat http://www.eramuslim.com/berita/tahukah-anda/mengkritisi-peran-fatahillah-di-jakarta.htm dan http://megapolitan.kompas.com/read/2011/06/23/02362462/Mereka.Mengusir.Kita.Kok.Dirayakan.
[5] Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, hlm. 142-3.
[6] Karel Steenbrink, Dutch Colonialism and Indonesian Islam: Contacts and Conflicts 1596-1950 (diterjemahkan oleh Jan Steenbrink and Henry Jansen), Amsterdam: Rodopi, 2006, hlm. 71-2.
[7] I.K. Khan, Islam in Modern Asia, New Delhi: MD Publications, 2006, hlm. 192.
[8] Peter J.M. Nas and Kees Grijns, “Jakarta-Batavia: A sample of current socio-historical research” dalam Kees Grijns and Peter J.M. Nas, Jakarta: Socio-cultural essays, Leiden: KITLV Press, 2000, hlm. 16
[9] Michael Francis Laffan, Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The umma below the winds, London: RoutledgeCurzon, 2003, hlm. 99.
[10] Remco Raben, “Round about Batavia: Ethnicity and authority in the Ommenlanden, 1650-1800” dalam Kees Grijns and Peter J.M. Nas, Jakarta: Socio-cultural essays, Leiden: KITLV Press, 2000, hlm. 99-100.
[11] Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, hlm. 143-4.
[12] Alwi Shihab, Betawi: Queen of the East, Jakarta: Republika, 2004, hlm. 91.
[13] Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, hlm. 156.
[14] Lihat misalnya Laffan, Islamic Nationhood, hlm. 26.
[15] http://artikel.pelajar-islam.or.id/dunia.pii/arsip/habib-ali-alhabsyi-ulama-pejuang-dan-pendidik-dari-betawi.html.
[16] Natalie Mobini-Kesheh, The Hadhrami awakening, community and identity in the Netherlands East Indies, 1900-1942, New York: Cornell Southeast Asia Program Publications, 1999, hlm. 36.
[17] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1994, hlm. 68.
[18] Nas and Grijns, “Jakarta-Batavia…”, hlm. 17.