Oleh: Anwar Djaelani
Inpasonline.com-Di negeri ini, di antara kamus-kamus bahasa Arab-Indonesia yang tergolong paling banyak dipakai orang adalah “Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap” karya KH Ahmad Warson Munawwir. Memang, bagi rata-rata peminat bahasa Arab, mereka tak asing dengan kamus tersebut.
Buah Ketekunan
Ahmad Warson Munawwir lahir pada 30/11/1934 di Jogjakarta. Dia merupakan putra ke-10 dari sebelas bersaudara. Ayahnya -KH Munawwir- adalah seorang kiai ternama dan pendiri Pesantren Al-Munawwir Krapyak – Jogjakarta.
Pesantren Al-Munawwir Krapyak – Jogjakarta adalah salah satu pesantren yang memiliki sejumlah catatan penting. Misal, Pesantren Al-Munawwir pernah menjadi Tuan Rumah pertemuan ulama se-Indonesia yang ketika itu dipimpin KH Wahab Hasbullah pada 1960-an.
Pesantren Al-Munawwir Krapyak – Jogjakarta sangat dikenal di Indonesia. Banyak santri dari berbagai daerah yang datang untuk belajar dan salah satunya adalah Yusuf Hasyim. Putra dari KH Hasyim Asy’ari itu masa belajarnya cukup berdekatan dengan Ahmad Warson Munawwir, sehingga keduanya sempat ketemu.
Ahmad Warson Munawwir dikenal cerdas sejak kecil. Dia tak pernah pergi nyantri di luar Pesantren Al-Munawwir. Dalam hal keilmuan dia mendapatkan pendidikan khusus dari kakak iparnya, yaitu KH Ali Maksum (belakangan beliau mendapat amanah sebagai Rais Aam PB-NU 1982-1984).
Berbagai ilmu keislaman yang bersumberkan dari literatur klasik diajarkan oleh KH Ali Maksum kepada Ahmad Warson Munawwir dengan penuh kedisiplinan, siang dan malam. Di antara bentuk penanaman sikap disiplin dalam belajar adalah bahwa KH Ali Maksum tak segan-segan untuk menghukum si adik ipar jika tidak mengerjakan tugas berupa hafalan atau bentuk tugas-tugas lainnya.
Pendidikan yang diterima Ahmad Warson Munawwir membuahkan hasil yang baik. Misal, dia hafal bait Alfiyyah Ibnu ‘Aqil di usia 9 tahun. Pada usia 11 tahun dia mulai ikut mengajar di Pesantren Al-Munawwir dengan usia santri yang diajarnya rata-rata lebih tua darinya. Kala itu, Ahmad Warson Munawwir mengampu mata pelajaran Nahwu, Sharaf, Bahasa Inggris, dan Tarikh.
Saat mengajar, Ahmad Warson Munawwir dikenal sebagai guru yang sabar dan dapat menerangkan pelajaran dengan baik. “Beliau adalah guru yang paling muda di antara sepuluh guru yang ada. Penampilannya perlente dengan kemeja yang selalu necis dan sepatu yang sangat mengkilap, namun tetap tawaddlu. Di dalam kelas, beliau senang mengajar sambil jalan-jalan”. Sementara, jika di luar kelas, “Beliau gemar mengajak santri bermain sepak bola dan badminton,” kenang KH Ghazalie Masroeri, santri Pesantren Al-Munawwir periode 1954-1958 (www.almunawwir.com, diakses 29/03/2015 pukul 13.15).
Dari mana ide menulis “Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap” datang? Seperti yang telah disebutkan, bahwa sejak kecil Ahmad Warson Munawwir dididik oleh KH Ali Maksum. Dari beberapa murid, Ahmad Warson Munawwir tergolong memiliki kelebihan di dalam hal perbendaharaan kosa kata bahasa Arab. Melihat hal tersebut, KH Ali Maksum lalu mendorong Ahmad Warson Munawwir untuk menyusun sebuah Kamus Arab-Indonesia yang sangat lengkap (www.jogja.tribunnews.com, 18/04/2013).
Adapun secara umum, kelahiran “Kamus Al-Munawwir” didorong oleh adanya kenyataan di tengah masyarakat Muslim kala itu yaitu begitu banyaknya orang yang menggunakan “Kamus Al-Munjid”. Ahmad Warson Munawwir berpendapat bahwa akan banyak pelajar di negeri ini yang akan mengalami kesulitan menggunakan “Kamus Al-Munjid” karena bermodel “Arab-Arab” dan bukan “Arab-Indonesia”.
Diperkirakan Ahmad Warson Munawwir mulai menyusun “Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap” yang legendaris itu sejak 1960 ketika dia berusia 26 tahun atau bahkan jauh sebelumnya.
Di dalam proses penyelesaian “Kamus Al-Munawwir” ada kerja keras dan pergulatan intelektual panjang yang menyertainya. Penyusunan “Kamus Al-Munawwir” membutuhkan waktu lima tahun. Setelah kamus tersusun, lalu dikoreksi oleh KH Ali Maksum selama lima tahun juga.
Dalam menyusun “Kamus Al-Munawwir”, Ahmad Warson Munawwir mengerjakannya dengan sangat tekun. Dia menggunakan berbagai kamus dan kitab sebagai referensinya. Maka, sebagai buah ketekunannya, “Kamus Al-Munawwir” berhasil menjadi kamus dengan variasi kata yang sangat kaya. Dengan demikian, harapan Ahmad Warson Munawwir yang dituangkan di halaman pendahuluan kamusnya yaitu agar “Al-Munawwir” dapat membantu mereka yang bermaksud menggali mutiara-mutiara berharga dalam kitab-kitab berbahasa Arab, tampaknya terwujud (www.almunawwir.com, diakses 29/03/2015).
Di atas telah disebutkan bahwa “Kamus Al-Munawwir” itu legendaris. Hal itu antara lain karena kamus tersebut sangat tebal yaitu 1600-an halaman dan tergolong best seller sehingga sering dicetak-ulang.
Pustaka Progressif, penerbit “Kamus Al-Munawwir”, menyebutkan bahwa tiap tahun kamus tersebut dicetak sekitar 10 ribu – 15 ribu buku. Tentu saja, itu sebuah jumlah yang cukup besar dan punya makna bahwa “Kamus Al-Munawwir” dipergunakan oleh banyak orang.
Terbitnya “Kamus Al-Munawwir” sangat bermanfaat sebab bahasa Arab merupakan bahasa Al-Qur’an. Bahasa Arab juga digunakan Rasulullah Saw dalam menyampaikan Al-Islam. Maka, kehadiran “Kamus Al-Munawwir” sungguh sangat bisa membantu bagi umat Islam untuk lebih bisa memahami semua ajaran agamanya.
Menyusul keberhasilan “Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap”, dengan dibantu putranya sendiri -Muhammad Fairuz-, Ahmad Warson Munawwir pun menyusun “Kamus Al-Munawwir Indonesia-Arab Terlengkap”.
Ahmad Warson Munawwir dikenal sebagai pribadi yang aktif di berbagai kegiatan. Selain menjadi pengasuh di Pesantren Al-Munawwir Krapyak – Jogjakarta, Ahmad Warson Munawwir juga aktif mengajar di berbagai tempat di luar kota.
Warisan Mahal
Sang penyusun “Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap” wafat pada 18/04/2013, di usianya yang ke-79. Almarhum meninggalkan warisan yang tak ternilai yaitu sebuah karya besar dan sekaligus jejak amal yang mulia. Semoga kita bisa meneladani jejak KH Ahmad Warson Munawwir yang tekun dalam belajar dan berkarya. []