Panduan Agar Hukum Tak Diskriminatif

Oleh: Anwar Djaelani

palu-dan-timbangan-keadilanInpasonline.com-Wajah paradoksal hukum di negeri ini sering terjadi. Wajah yang dimaksud adalah bahwa hukum sering memenangkan mereka yang punya kekuasaan atau harta dan –sebaliknya- mengalahkan pihak yang miskin.

Bagi Semua  

Seorang perempuan tua bernama Asyani dituduh mencuri tujuh potong kayu jati. Tuduhan itu disangkal keras Si Nenek, ”Saya Kenal Kayu Saya. Saya Tidak Mencuri” (www.jawapos.com 18/03/2015). Terkait ini, warga sekampung-pun siap pula bersaksi untuk Si Nenek.

Jauh sebelumnya, lumayan banyak perkara yang serupa. Di antara yang mudah kita ingat adalah ini: “Tiga Butir Kakao Membawa Minah ke Pengadilan” (www.antaranews.com 20/11/2009).

Untuk kedua kasus di atas dan pada kasus-kasus serupa lainnya, masyarakat cenderung selalu ‘berdiri’ di pihak si lemah. Itu terjadi karena mereka sering melihat penegak hukum berlaku tidak adil. Misal “Kasusnya direkayasa” atau “Menghukum secara cepat kesalahan yang remeh-temeh”.

Lalu, bagaimana kita seharusnya berlaku adil? Rifyal Ka’bah membahas “Konsep Peradilan Islam” di buku yang diterbitkannya pada 2005. Tulisan itu dia buka dengan mengutip QS Al-Hadiid [57]: 25, yang terjemahnya: “Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-Rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan Rasul-Rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa”.

 Selanjutnya, Doktor Ilmu Hukum dari UI itu menulis: “Kehidupan dalam masyarakat juga harus ditegakkan di atas timbangan yang benar. Timbangan adalah rasa keadilan yang ditanamkan Allah dalam diri manusia sejak permulaan kejadian dan keadilan hukum seperti diwahyukan kepada para Rasul dan Nabi-Nya sepanjang masa sampai Nabi dan Rasul terakhir Muhammad Saw”.

Mari, kira garis-bawahi kalimat “Keadilan hukum seperti diwahyukan kepada para Rasul dan Nabi-Nya”. Di titik ini, Rasulullah Muhammad Saw memberikan penegasan tentang tak bolehnya kita berlaku diskriminatif. “Sesungguhnya hancurlah orang-orang sebelum kamu. Sebab, jika ada orang-orang besar (elite) mencuri, maka mereka dibiarkan saja. Tetapi jika yang mencuri adalah kaum yang lemah (rakyat jelata), maka dijatuhi hukuman potong tangan. Demi Allah, yang jiwaku berada di tangan-Nya, andaikan Fatimah binti Muhammad (Saw) mencuri, maka pasti akan aku potong tangannya.”

Tampak, di antara prinsip utama hukum Islam adalah “Semua sama di depan hukum”. Terkait ini, cermatilah ilustrasi berikut ini.

Di sebuah ketika, Khalifah Ali bin Abi Thalib Ra kehilangan baju perangnya. Ali Ra tahu bahwa baju perang itu kini ada pada seorang Yahudi. Ali Ra lalu melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum dan akhirnya perkara itu disidangkan oleh Hakim Suraikh.

Ketika Hakim meminta Ali Ra mengajukan saksi dan Ali Ra memajukan putranya sendiri yaitu Hasan dan Husein, maka hakim menolak dakwaan Ali dan membebaskan si Yahudi. Sebab, dua saksi yang diajukan Khalifah Ali Ra ke persidangan adalah Hasan dan Husein, yang dalam hal ini tidak mempunyai kekuatan pembuktian dalam hukum acara pidana Islam. Singkat kata, Ali Ra-pun tidak dapat membuktikan dalam sidang bahwa baju perang yang dipersengketakan adalah miliknya.

Terlihat, seorang Khalifah bisa kalah dengan rakyat biasa –bahkan dalam kasus ini si rakyat beragama lain- di pengadilan karena tak memiliki alat bukti yang sah dan meyakinkan. Maka, terbitlah putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sehingga si Yahudi bebas dari tuduhan mencuri.

Hanya saja, kisah belum selesai. Menyaksikan jalannya persidangan yang “jujur dan bersih” itu, hati si Yahudi bergetar. Bagaimana mungkin ada pengadilan ‘model’ yang begitu indah seperti yang telah dia ikuti? Bagaimana mungkin ada agama seadil ini dalam mengatur proses pembuktian?

Si Yahudi itu lalu membuat pengakuan jujur: “Wahai Amirul Mukminin, ini sebenarnya adalah baju perangmu. Ambillah! Aku telah menyaksikan seorang Kepala Negara yang untuk urusan baju perang saja mau datang ke pengadilan dan hakimnya -yang juga seorang Muslim- memutuskan dengan jujur, adil dan tak memihak. Ambillah baju perang yang saya temukan saat terjatuh dari untamu dan saksikanlah di hari ini saya bersyahadat: “Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”

Subhanallah! membaca kisah di atas, kita menjadi ingat dengan Kalimat Suci ini: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS Al-Maaidah [5]: 8).

Berikutnya, soal pertanggungjawaban hakim. Di saat memutus perkara, hakim harus memiliki kesadaran bahwa apa yang diputuskannya akan ada pertanggungjawaban yang bersifat ‘abadi’, yaitu di dunia dan di akhirat. Di titik ini, jelas hukum tak boleh ‘dimainkan’. Terkait ini, Rifyal Ka’bah menulis di buku yang sama di halaman 117: “Peradilan Islam berdasarkan kepada keimanan yang kokoh kepada Allah yang Maha Adil dan keyakinan yang dalam akan adanya kehidupan kedua setelah kematian manusia. Dengan kata lain, peradilan Islam terdiri dari peradilan manusia dalam kehidupan di dunia dan peradilan Allah dalam kehidupan di akhirat”. Jika demikian halnya, maka siapa yang berani mempermainkan hukum?

Agar Selamat

Ahasil, jangan diskriminatif dalam penerapan hukum! Berlakulah adil agar kita menjadi mulia di sisi Allah. Semoga dengan selalu bersikap adil, tak akan ada lagi “Asyani-Asyani” atau “Minah-Minah” yang lain.  []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *