Islamia-Republika Juli: Apa Itu Filsafat Islam?

Inpasonline.com, 25/07/11

Islamia-Republika kali ini, Juli 2011, mengulas sebuah tradisi intelektual Islam yang kurang mendapat tempat yang layak di kalangan umat islam. Tidak lain tradisi intelektual Islam tersebut adalah filsafat Islam.

Memang, jika ditilik dari kata filsafat atau falsafah (dalam kosakata Arab-nya), sangat kentara unsur-unsur non-islaminya. Tapi sangat tidak bijaksana jika mengidentikkan filsafat Islam dengan warisan Yunani kuno atau lainnya, karena dalam filsafat Islam jelas-jelas nampak kuat pengaruh Islamnya.

Dalam hal ini, Dr. Syamsuddin Arif menguraikan panjang lebar hal-hal yang terkait dengan filsafat Islam. Menurutnya, dalam tradisi intelektual Islam, istilah filsafat sering diidentikkan sebagai istilah hikmah, falsafah dan ulumul awa’il. Meskipun terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama, tetapi esensi dari istilah-istilah tersebut tidak jauh melenceng dari makna filsafat sebagaimana dipahami oleh peradaban selain Islam.

Menurut pakar Orientalis ini, memang terdapat beberapa pandangan terkait filsafat Islam ini. Umumnya, para orientalis menuduh filsafat Islam sebagai kelanjutan dari filsafat Yunani Kuno. “Terlihat sangat rasisme intelektual bahwa filsafat itu murni produk Yunani dan karenanya kaum Muslim sekadar mengambil dan memelihara untuk diwariskan kepada generasi berikutnya,” jelas pria asli Jakarta ini.

Pandangan lainnya menganggap filsafat Islam adalah reaksi terhadap doktrin-doktrin agama lain yang telah berkembang pada masa lalu. Para pemikir Muslim dituduh telah mencomot dan terpengaruh oleh tradisi Yahudi-Kristen. 

Terang saja kedua padangan di atas dikritik tajam oleh para pemikir lainya, antara lain oleh Seyyed Hossein Nasr, jelas pria penulis Disertasi dengan judul Ibn Sina’s Cosmology: A Study of the Appropriation Ideas in 11th Century Islam. Menurut Nasr, orientalis yang menganut perspektif Greco-Arabic biasanya mengkaji filsafat Islam sebagai barang purbakala atau artefak museum sehingga pendekatannya selalu historis dan filologis. Akibatnya, para orientalis itu tidak tahu dan tidak perduli akan fakta filsafat Islam sebagai kegiatan intelektual ynag terus hidup dari dulu sampai sekarang.

Melengkapi kritik Nasr diatas, muncullah pandangan revisionis (merevisi pandangan sebelumnya) yang memandang filsafat Islam itu lahir dari kegiatan intelektual selama berabad-abad semenjak kurun pertama Islam. Pandangan revisionis ini diwakili, antara lain, oleh M.M. Sharif, Oliver Leaman, dan Alparslan Açikgenç.

Bukankah perbincangan tentang kemahakuasaan dan keadilan Tuhan, tentang hakekat kebebasan manusia dan tanggung jawab manusia merupakan cikal bakal filsafat? Munculnya kelompok Khawarij, Syi’ah, Mu’tazilah dan lain-lain yang melontarkan pelbagai argumen rasional di samping merujuk kepada ayat-ayat Al-Qur’an jelas sekali mendorong berkembangnya pemikiran filsafat dalam Islam, tulis cendekiawan Betawi ini.

Menurut Oliver Leaman, Filsafat Islam itu sangat filosofis dalam arti logis-analitis, terus hidup dan penuh gejolak, tidak sekedar melanjutkan tradisi sebelumnya, tetapi juga memperlihatkan terobosan-terobosan kreatif dalam menjawab persoalan-persoalan klasik maupun modern. Pernyataan serupa juga ditegaskan oleh pakar-pakar filsafat dari Mesir, seperti Ibrahim Madkour, Musthafa ‘Abdur Raziq, dan Syekh Abdul Halim Mahmud.

Memang, jika ditelusuri dan diteliti karya-karayanya, para filsuf Muslim bukan semata-mata membeo atau sekedar mereproduksi apa yang mereka pelajari dari ahli pikir Yunani kuno. Tetapi sebaliknya, para pemikir Muslim semisal Ibn Sina, Al-Baghdadi, dan ar-Razi mengupas dan mengurai, melakukan analisis dan elaborasi, menjelaskan dan menyanggah, melontarkan kritik, memodifikasi dan menyaring, mengukuhkan dan menambahkan, memperkenalkan konsep-konsep baru, atau menyuntikkan makna baru pada istilah-istilah yang sudah ada, dan menawarkan solusi-solusi baru untuk persoalan-persoalan perenial dalam filsafat, terang Dosen IIUM Kuala Lumpur ini lebih lanjut.

Singkatnya, para pemikir Muslim justru mengislamkan filsafat. Sehingga yang terjadi adalah islamisasi filsafat secara negatif (pengenyahan unsur-unsur kufur) dan positif (pemasukan unsur-unsur Islami), tambah pria yang biasa dipanggil Syamsuddin.

Meskipun termasuk bagian tradisi intelektual Islam, sebagian umat Islam ada yang antipati terhadap filsafat Islam. Hal itu terjadi, karena filsafat dianggapnya sebagai ‘barang impor’ yang mengandung unsur-unsur ateisme, sekularisme, relativisme, pluralisme, dan liberalisme, jelas cendekiawan yang sedang menyiapkan Disertasi keduanya di Universität Frankfurt Jerman ini. Jika kondisinya seperti itu, jelas seluruh para ulama akan menolak karena akan menyebabkan pelakunya anti-Tuhan dan anti-agama, mendewakan akal, melecehkan Nabi, dan sebagainya.

Sementara kenyataannya di tangan para pemikir Islam, filsafat mempunyai tujuan ganda, membenarkan yang benar dan membatalkan yang batil secara rasional, persuasif, dan elegan. Dengan kondisi seperti ini, jelas filsafat masuk kategori fardhu kifayah dalam Islam, jelas Syamsuddin.

Hal ini sebagaimana rasa ingin tahu Nabi Ibrahim yang bertanya bagaimana Allah menghidupkan orang mati. Allah balik bertanya, “Apakah kamu belum percaya?” Nabi Ibrahim menjawab, “Aku percaya, tetapi (aku bertanya) supaya hatiku tentram (mantap).”

 Jadi, filsafat itu untuk mengukuhkan kebenaran sekaligus menghapus keraguan, jelas Syamsuddin menutup artikelnya yang berjudul Apa Itu Filsafat Islam.

Sementara artikel lainnya dalam Islamia-Republika kali ini yang ditulis Dr. Nirwan Syafrin, Adnin Armas, dan Akmal Syfril juga tidak kalah menantangnya untuk dibaca dan cukup gamblang menjelaskan berbagai hal terkait filsafat Islam. Namun, terbatasnya space, sehingga Inpasonline.com. tidak bisa menguraikan di sini. Silahkan merujuk langsung ke Harian Republika edisi, Kamis, 21 Juli 2011 atau apabila sudah diupload ke website insistnet.com. Semoga bermanfaat. (mm)

                              

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *