Imam Al-Ghazali Dalam Islamia-Republika November

Dalam salah satu tulisan, yang ditulis oleh Khairurrijal, Sarjana Filsafat UI, dijelaskan bahwa Al-Gazali ternyata peletak pertama teori keraguan. Menurutnya, Al-Ghazali mendahului Descartes, yang dikenal sebagai Bapak Filsafat Modern, dalam penggunaan teori keraguan. Bahkan disinyalir Descartes mendapatkan teori tersebut dari pembacaannya terhadap Kitab al-Munqidz min al-Dalal karya Al-Ghazali. (lihat Zaqzuq, Mahmud Hamdi. 1987. Al-Ghazali, Sang Sufi Sang Filosof.Bandung: Pustaka)

Hanya saja terdapat perbedaan yang tajam antara kedua pemikir tersebut, tulis Khairurrijal. Descartes sesungguhnya telah gagal membuktikankeberadaan Tuhan dengan teori keraguannya. Kegagalan ini dapat dilihat dari kontradiksi antara Tuhan yang Maha Baik, gagasan tentang kesempurnaan, dan gagasan tentang penipuan. Karenanya, tulis simpatisan Insists ini, maka seluruh konsep Descartes tentang jalan pencapaian kebenaran menjadi gugur. Termasuk penggunaan metode keraguan.

Berbeda dengan Descartes, Al-Ghazali memang pernah mengalami keraguan sebelum meraih kebenaran yang diyakininya, sambung Rijal. Sampainya Al-Ghazali pada kebenaran, bukan disebabkan oleh keraguan, tetapi karena nur dari Allah. Sangat tidak benar, bahwa Al-Ghazali menggunakan “metode keraguan” untuk sampai pada tahap kebenaran atau keyakinan. Terakhir, nur atau hidayah (petunjuk) dari Allah adalah sesuatu yang secara jelas dikatakan Al-Ghazali sebagai solusi menuju kebenaran.

Tulisan lainnya, yang ditulis oleh Nashruddin Syarief, Alumnus Program Kaderisasi Ulama DDII-UIKA Bogor, mengupas konsep ilmu menurut Al-Ghazali dan Ibn Taimiyyah. Menurutnya, baik Al-Ghazali maupun Ibn Taimiyyah telah berhasil menguraikan dengan sangat ilmiah konsep ilmu dalam Islam yang pada waktu itu sedang mengalami serangan para fiolosof destruktif. Keduanya jauh dari sikap skeptis atau relativis terhadap kebenaran. Dalam beberapa karyanya, mereka membangun teori-teorinya di atas sebuah keyakinan bahwa kebenaran itu ada, tidak sulit untuk didekati sebagaimana diasumsikan oleh kaum skeptis, demikian juga tidak relatif adanya sebagaimana diyakini oleh kaum relativis, tulis Nashruddin.

Ibn Taimiyah menyatakan: ” Sesungguhnya ilmu itu yang bersandar pada dalil, dan yang bermanfaat darinya adalah apa yang dibawa oleh Rasul. Maka sesuatu yang bisa dikatakan ilmu itu adalah penukilan yang benar dan penelitian yang akurat”. Al-Ghazali sendiri, setelah menguraikan bermacam-macam definisi dan jenis ilmu, ia sampai pada kesimpulan bahwa pada intinya ilmu itu mengandung tiga unsur, yakni: keyakinan, mengerjakan dan meninggalkan. Yang jelas, ilmu itu dapat menuntun seseorang untuk meyakini sesuatu yang benar dan salah, mengerjakannya atau meninggalkannya. (Ihya ‘Ulum al-Din, Juz. 1 hal. 27)

Yang agak menarik adalah tulisan Dr. Adian Husaini, yang mengaitkan Al-Ghazali dengan kebangkitan umat Islam dalam perang salib. Menurutnya, Al-Ghazali memang sempat dipertanyakan perannya oleh para pengkaji sejarah dalam perang salib. Meskipun ulama yang dikenal dengan sebutan hujjatul Islam itu hidup di masa perang salib, tapi para pengkajinya tidak menemukan bukti turut andilnya dalam perang tersebut. Justru dalam kitabnya, Ihya Ulum al-Din, tidak menempatkan satu bab khusus tentang, tetapi malah menekankan pentingnya jihad al-nafs. Dalam rangka inilah Adian menunjukkan bagaimana peran Al-Ghazali dalam membangkitkan umat Islam untuk memenangkan perang tersebut.

Menurut Doktor lulusan ISTAC ini, peran Al-Ghazali bisa dilihat dari karya seorang muridnya Syekh Ali b. Thahir al-Sulami al-Nahwi (1039-1106) dalam kitabnya Kitab al-Jihad. Dalam kitab ini, Ali al-Sulami mencatat bahwa satu-satunya solusi yang dapat menyelamatkan wilayah-wilayah Muslim, adalah menyeru kaum Muslimin kepada jihad. Ada dua kondisi yang harus disiapkan sebelumnya. Pertama, “reformasi moral” untuk mengakhiri “degradasi spiritual” kaum muslimin ketika itu. Kekalahan kaum Muslimin atas pasukan Salib harus dilihat sebagai hukuman Allah atas kealpaan menjalankan kewajiban agama, jelas al-Sulami. Kedua, penggalangan kekuatan Islam untuk mengakiri kelemahan kaum Muslimin.

Konsep “reformasi moral” dari Al-Ghazali memainkan peranan penting. Sebab, menurut al-Sulami, melakukan jihad melawan pasukan Salib akan hampa jika tidak didahului dengan jihad melawan hawa nafsu. Dengan demikian, perjuangan melawan hawa nafsu, adalah prasyarat mutlak sebelum melakukan perang melawan pasukan Salib.

Jadi, Al-Ghazali bukannya tidak perduli dengan perang Salib, tulis Adian. Tetapi kondisi moral dan keilmuan umat Islam yang sangat parah sehingga menyebabkan seruan jihad tidak banyak mendapatkan sambutan. Karena itulah, para ulama seperti Al-Ghazali berusaha menyembuhkan penyakit umat secara mendasar. Dari usaha para ulama inilah kemudian lahir satu generasi yang hebat, yaitu generasi Shalahuddin al-Ayyubi. Sekali lagi, bukan hanya seorang Shalahuddin tapi satu generasi Shalahuddin, yang pada tahun 1187 berhasil memimpin pembebasan Kota Suci Jerussalem dari cengkeraman pasukan Salib.

Terkait dengan strategi Al-Ghazali dalam membangkitkan umat Islam, banyak diulas dalam kolom wawancara, yang menghadirkan Asep Sobari, Lc, peneliti INSISTS di bidang sejarah Islam. Menurutnya, sosok Al-Ghazali adalah ulama yang merasakan langsung keterpurukan umat Islam yang kemudian mengakibatkan jatuhnya al-Quds (Jerussalem) ke tangan pasukan Salib. Ketika itu beliau sebagai rektor Universitas Nidzamiyah di Baghdad dan pemikir terkemuka di zamannya. Jadi, beliau sangat paham kondisi umat dan bagaimana kemudian membangkitkannya.

Ada penyakit umat yang harus disembuhkan agar umat bisa bangkit kembali. Al-Ghazali berkesimpulan bahwa penyakit itu ialah merebaknya kerancuan pemikiran dan kerusakan akhlak berupa penyakit cinta dunia. Dua sisi itulah yang menjadi fokus al-Ghazali dan ulama lainnya yang sezaman. Karena itu, al-Ghazali banyak menulis buku yang mengkritik pemikiran-pemikiran dan aliran-aliran yang menyimpang dari Islam, seperti kritiknya terhadap sejumlah pemikiran filsafat, tasawuf, kebatinan dan sebagainya. Sedangkan untuk memerangi hubbud dunya, al-Ghazali juga menulis banyak buku yang terkait dengan tazkiyatun nafs (pensucian jiwa). Ihya’ Ulum al-Din adalah contoh karya yang memadukan antara syari’at dan tasawuf, ilmu dan moral. Dan itulah kemudian yang menjadi tren pendidikan yang berkembang di dunia Islam setelah al-Ghazali. (mm)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *