Islamia-Republika April Kritisi Perennialisme

Islamia-Republika di bulan April ini tampil dengan kajian kritisnya terhadap perennialisme. Perennialisme atau dikenal juga dengan istilah transendentalisme merupakan sebuah paham yang menegaskan bahwa semua agama memiliki titik temu pada level transenden. Menurut paham ini, agama-agama hanya berbeda pada level eksoteris dan akan bertemu pada level esoteris. Tujuan dari paham ini adalah menyelamatkan dunia dari ancaraman krisis kehancuran manusia sebagai akibat proses desakralisasi (sekularisasi), reduksionisasi dan relativisasi yang terjadi secara masif dalam seluruh aspek kehidupan manusia modern.

Meskipun tujuannya terlihat sangat mulia, tapi kenyataannya tidaklah seperti itu. Hal ini dibuktikan oleh artikel Dr. Anis Malik Thoha yang berjudul Perennialisme: Kajian Kritis. Dalam tulisannya, Peneliti INSIST ini membeberkan berbagai kritikan para sarjana terhadap perennialisme ini. Frank Visser misalnya, jelas pakar pluralisme dari kota Demak ini, menilai klaim paham ini sebagai over generalisasi dan sangat problematik secara epistemologis. Apakah betul “all religions say the same thing”? dari segi ‘kandungan’, apakah semua agama berbicara tentang ‘tuhan’? apakah semua agama memiliki doktrin inkarnasi/reinkarnasi? Dan yang paling membingungkan adalah, jika tokoh mistik dari semua agama, seperti Meister Eckhart, St. John of the Cross dari Kristen, Jalaluddin Rumi dari Islam, Shankara dari Hindu, Lao Tzu dari Taoisme, dan sebagainya, memiliki pengalaman yang sama, kenapa mereka tidak mengajarkan sebuah paham yang bernama perennialisme ini?

Klaim universalitas kebenaran esoterik agama juga over-simplistis, jelas Dosen International Islamic University Malaysia ini. Ibarat melihat hutan, kaum perennialis cenderung hanya melihat hijau-lebat dan tidak menghiraukan macam dan jenis pohon yang berbeda-beda di dalamnya. Padahal, secara empiris diantara pohon-pohon itu ada yang kuat, ada yang lemah, ada yang bisa jadi obat untuk menyembuhkan, ada yang sangat mematikan, dan lain sebagainya.

Dan parahnya lagi, jelas lulusan International Islamic University Islamabad (IIUI), Pakistan ini,  perennialisme ini telah mendistorsi konsep-konsep agama secara lintas agama, seperti sanata dharma, al-Din Hanif, dan lain-lainnya, untuk menyesuaikan dengan gagasan perennialisme yang berujung pada kesetaraan dan penyamaan agama. Dalam Islam, konsep-konsep seperti iman-kafir, dakwah, amar ma’ruf dan nahi munkar, menjadi bukan hanya tidak relevan, tetapi malah jadi bahan tertawaan dan bahkan caci-makian.   

Kesimpulannya, paham perennialisme ini lebih merupakan problem daripada solusi bagi masalah keragaman agama, jelas peraih Gold Medal dari IIUI Pakistasn ini. Hal ini wajar karena gagasan ini hanyalah sebuah interpretasi dan bukanlah wahyu. Dasar argumennya pun sangat spekulatif dan debatable. Oleh karena itu, tidak heran jika paham ini banyak mendapatkan kritik dari para sarjana, tulis penulis buku Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis ini.

Sementara artikel yang lain ditulis oleh Adnin Armas, Pemred Majalah Gontor.  Dalam tulisannya ini, lulusan Gontor ini menulis kritik Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas terhadap perennialisme. Intelektual Muslim Pendiri ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization), Malaysia ini, jelas Adnin, tercatat sebagai salah satu pengkritik yang tajam terhadap gagasan ini. Hal ini karena selain menguasai banyak literatur tentang wacana titik temu agama, Al-Attas juga mengenal secara personal tokoh-tokoh tansendentalis seperti Frithjof Schuon, Martin Lings, dan Seyyed Hossein Nasr, tulis Peneliti INSISTS ini.

Al-Attas mengkritik puncak argumentasi kalangan perennialis, yaitu konsepsi esoteris, tulis penulis buku Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an: Kajian Kritis ini. Argumentasi itu jelas keliru karena mengaku adanya tuhan saja tidak cukup. Konsep Tuhan dalam Islam menurut Al-Attas , jelas Adnin, bukan hanya mengakui sebagai satu-satunya Realitas Akhir, Yang Mutlak, dan Maha Sempurna, tetapi juga harus diikuti dengan pengakuan untuk tidak menyekutukan-Nya dan tunduk kepada-Nya dengan cara, metode, jalan dan bentuk yang dipersetujui oleh-Nya, seperti yang ditunjukkan oleh para Rasul yang telah diutus-Nya. Jika hanya mengakui Tuhan tetapi mengingkari cara, metode, jalan dan bentuk yang diajarkan oleh Tuhan melalui nabi-Nya, seseorang itu akan disebut kafir. Hal ini sama halnya dengan Iblis yang mengakui Tuhan tetapi mengingkari perintah-Nya, tulis pria kelahiran Medan ini. 

Di samping itu, gagasan titik temu metafisik agama-agama merupakan produk dari pengalaman keagamaan para tokoh transendentalis, tulis Kandidat Doktor ISTAC Kuala Lumpur ini. Hal ini diketahui dari aktivitas maha guru transendentalis sendiri, Frithjof Schuon, yang merupakan pendiri sekaligus pemimpin tarekat al-Maryamiyah, sebuah tarekat rahasia untuk kalangan transendentalis. Dialah yang mengkonsep titik temu esoteris agama-agama yang diperolehnya dari pengalaman ketika terlibat dalam agama-agama, termasuk ketika aktif dalam freemason.  Oleh karena itu, tidak salah jika paham ini disebut sebagai agama baru oleh Dr. Anis Malik Thoha.

Terakhir, Adnin Armas menegaskan bahwa gagasan titik temu metafisika agama-agama adalah teori yang keliru meskipun terkesan ilmiah. Gagasan ini muncul dari hasil iimajinasi dan spekulasi intelektual, dan tentu juga bukan berasal dari fakta yang bisa dibuktikan.

Anehnya, meskipun gagasan ini dicela dan dikritik para sarjana terkemuka, di Indonesia justru disebarkan tanpa koreksi sedikitpun, jelas Dr. Adian Husaini. Bahkan para penyebarnya beranggapan bahwa dengan gagasan inilah akan tercipta kerukunan antar umat beragama, kehidupan bangsa yang damai dan harmonis, lanjut lulusan ISTAC ini. Padahal, jelas Dosen Pascasarjana UIKA Bogor ini, sadar atau tidak, paham atau tidak, gagasan ini akan memberikan akibat yang tidak ringan, salah satunya adalah pengabsahan semua bentuk ibadah kepada Allah. Artinya, gagasan ini akan memberikan legitimasi terhadap bentuk penyembahan terhadap Tuhan apa pun selain Allah. Tentu saja gagasan ini sangat naif dan absurd, karena dalam Islam tidak mungkin berkeyakinan bahwa semua agama –apapun cara ibadahnya- adalah sama-sama sah menuju Tuhan.

Lebih lanjut, penulis buku Wajah Peradabab Barat ini menegaskan bahwa bentuk ibadah dalam Islam adalah hal sangat mendasar. Islam sangat tegas menolak segala bentuk ibadah selain yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.  Jika Nabi mengajarkan paham perennialisme ini, sulit dibayangkan para pendakwah Islam rela meninggalkan negeri dan keluarga mereka untuk mendakwahkan Islam ke berbagai penjuru dunia sampai ke Nusantara ini, tulis Dosen Pascasarjana Univeristas Muhammadiyah Surakarta ini.(mm)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *