Maraknya sebagian cendekiawan Muslim akhir-akhir ini yang mempersoalkan syariat Islam, menjadi tema pokok dalam Islamia-Republika kali ini. Dalam artikel pembuka -ditulis oleh Nirwan Syafrin, M.A.- ditegaskan bahwa kalangan muslim yang menganggap syariat Islam ketinggalan zaman dan diupayakan untuk dibuang atau diubah penafsirannya karena mereka “beriman” kepada paham-paham modern (pluralisme, multikulturalisme, kesetaraan gender, HAM, dan sebagainya). Gagasan merombak Islam dan menyesuaikan dengan paham-paham modern (Barat) inilah yang kemudian dikenal dengan “Liberalisasi Islam”.
Berbagai cara dilakukan oleh para pendukung liberalisasi Islam, tulis Nirwan. Salah satunya, dengan mencari-cari dalil sejarah. Biasanya yang sering dijadikan langganan untuk menjadi contoh adalah Sahabat Umar RA. Menurut mereka, Umar disebut-sebut telah berani merombak hukum Islam, dengan cara mendahulukan akalnya, ketimbang nash al-Qur’an. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai “Bapak Islam Liberal”. Padahal, menurut Nirwan, Umar sangat jauh dari tuduhan liberal karena tidak satupun ijtihadnya yang dapat dikategorikan membelakangi teks-teks al-Qur’an. Para ulama dan cendekiawan pun sudah banyak yang mengkaji hal itu, tapi sayangnya kaum liberal itu tidak perduli dan meremehkan mereka.
Ironisnya, para pengusung ide liberalisasi Syariat Islam ini mengklaim diri sebagai mujtahid atau pembaharu umat Islam. Hal ini sebagaimana jamak disematkan oleh para pengagumnya dan bahkan ada yang mengakunya sendiri, sebagaimana Said al-Asymawi. Al-Asymawi, seorang tokoh liberal yang terkenal dengan pendapatnya bahwa jilbab tidak wajib. Dalam sebuah wawancara yang dimuat “Hiwar hawla Qadhy Islamiyah” ia menyatakan, “Selain kaum literalis yang jumud, saya yakin terdapat kaum rasionalis yang tercerahkan dalam umat ini. Mulai dari Muhammad Abduh, dan dilanjutkan oleh beberapa mujtahid seperti saya.”
Ini tentu bahaya sekali. Seharusnya, tulis Nirwan, seorang mujtahid sangat berhati-hati agar tidak mengabaikan prinsip-prinsip dasar yang menjadi landasan Islam. Mereka harus jeli dan serius membedakan antara yang ushuli (principle/foundation) dan thawabit (unchangeable) dengan yang furu’ (cabang) dan mutaghayyirat (mutable). Karena kegagalan mengidentifikasi perbedaan ini dapat berakibat fatal bagi Islam dan umat Islam itu sendiri. Di samping itu, persyaratan layak dan tidaknya seseorang berijtihad sudah dibahas oleh para ulama, yang pada intinya sangat ketat sekali.
Artikel lain yang juga sangat disayangkan kalau dilewatkan adalah tulisan Ir. Arif Wibowo, Mahasiswa Magister pemikiran Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Dalam artikelnya ini, Arif, menegaskan bahwa sebenarnya Diponegoro adalah pangeran santri dan penegak syariat Islam. Ia menulis, sebab-sebab terjadinya Perang Diponegoro atau yang lebih dikenal dengan perang Jawa tidak lain adalah jihad fi sabilillah. Hal ini diakui oleh Louw dalam Java Oorlog van 1825-1830, seperti dikutip oleh Heru Basuki: “Tujuan utama dari pemberontakan tetap tak berubah, pembebasan negeri Yogyakarta dari kekuasaan Barat dan pembersihan agama daripada noda-noda yang disebabkan oleh pengaruh orang-orang Barat.”
Fakta menarik lainnya yang ditunjukkan oleh Arif adalah kiprah Diponegoro dalam menarik para ulama, santri dan para penghulu merapat pada barisan perjuangannya. Dalam tulisannya, Arif mengutip Carey, menyebutkan terdapat 108 Kyai, 31 haji, 15 syekh, 12 penghulu Yogyakarta dan 4 kyai guru yang turut berperang bersama Diponegoro.
Bagi sebagian kalangan, ini cukup mengherankan. Sebab, pasca pembunuhan massal ulama dan santru oleh Sunan Amangkurat I tahun 1647, hubungan santri dengan kraton digambarkan sangat tidak harmonis. Namun pangeran Diponegoro yang merupakan keturunan bangsawan dan ulama sekaligus, berhasil menyatukan kembali dua kubu tersebut.
Fakta yang ditampilkan Arif di atas, ternyata juga didukung oleh pernyataan Dr. Aidul Fitriciada Azhari, SH, Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Menurutnya, syariat Islam sudah beratus tahun berlaku di bumi Indonesia ini. Baru pada masa Hindia-Belanda terjadi pembatasan dalam bentuk hukum perkawinan dan waris. Walaupun begitu, di daerah Surakarta dan Yogyakarta saat itu sudah ada pengadilan agama.
Dalam wawancara selanjutnya, dosen yang dikenal kritis ini menegaskan bahwa hukum Islam secara konstitusional sudah menjadi bagian dari hukum Nasional. Menurutnya, perubahan mendasar Undang-Undang Dasar terjadi waktu amademen UUD 1945 keempat tahun 2002. “Ini banyak yang tidak menyadari . Di situ disebutkan bahwa UUD yang dimaksud dalam perubahan adalah UUD 1945 yang ditetapkan PPKI tanggal 18 Agustus 1945 dan yang ditetapkan kembali oleh Presiden Soekarno 5 Juli 1959”, tegasnya kepada Nuim Hidayat, wartawan Islamia. Kesimpulannya, secara formal MPR mengakui bahwa UUD itu adalah UUD dalam Dekrit Presiden, yaitu Piagam Jakarta. Kalau dulu Piagam Jakarta hanya disebutkan dalam Dekrit Presiden, tahun 2002, MPR mengakui ia adalah UUD.
Di samping itu, hal lain yang menjadi penguat Hukum Islam secara konstitusional yaitu adanya pasal 24 UUD 45 yang mengatakan bahwa kekuatan kehakiman itu dipegang oleh Mahkamah Agung dan lingkungan peradilan di bawahnya yaitu Pengadilan Umum, Pengadilan Agama, Pengaadilan TUN dan Pengadilan Negeri. “Adanya Pengadilan Agama dalam UUD itu menunjukkan bahwa Pengadilan Agama itu sudah konstitusional sekarang,” jelas dosen yang mengajar Hukum Islam di Pascasarjana UMS ini.
Berdasarkan pasal 24 UU No. 3/2006, yang mengatur kewenangan tentang Peradilan Agama, kewenangan peradilan agama sekarang bukan hanya nikah-cerai saja, tapi ada sembilan kewenangan, termasuk kewenangan menangani ekonomi Islam. Jadi sudah sedemikian luas, tegasnya, karena sudah masuk ranah muamalah. Oleh karena itu, secara konstitusional hukum Islam sudah menjadi bagian dari hukum nasional. Hukum Islam sudah terintegrasi, meskipun masih ada yang belum terintegrasi, khususnya jinayah. Ada rencana Kitab UU Hukum Pidana yang mencoba mengakomodasi hukum itu, tapi sampai sekarang belum selesai. (mm)