Gurita dan Sukun
Syafruddin Prawiranegara berjasa sangat besar bagi republik ini. November 2011, dia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Tak perlu berselisih, apakah penetapan ini terlambat atau tidak.
Siapa Syafruddin Prawiranegara? Dia lahir pada 28/2/1911. Dia pernah diamanahi sejumlah jabatan –antara lain- Menteri Keuangan (1946), Menteri Kemakmuran (1947), Perdana Menteri RI (1948), Presiden Pemerintahan Darurat RI (1948-1949), Wakil Perdana Menteri RI (1949), Menteri Keuangan (1949-1950), dan Gubernur Bank Sentral/Bank Indonesia (1951).
Jasa terbesarnya adalah ketika dia menjadi presiden 22/12/1948 sampai 13/7/1949. Ketika Soekarno-Hatta ditawan Belanda lewat agresi militer II-nya, Syafruddin memimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dari Bukittinggi. Maka, di saat itu –bisa dibilang- Syafruddin telah menyelamatkan republik ini.
Memang, atas usaha PDRI, Belanda terpaksa berunding dengan Indonesia. Perjanjian Roem-Royen mengakhiri ‘mimpi’ Belanda, ditandai dengan pembebasan Soekarno-Hatta.
Lalu, pada 13/7/1949, diadakan sidang antara PDRI dengan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Hatta serta sejumlah menteri kedua kabinet. Serah terima pengembalian mandat dari PDRI secara resmi terjadi pada 14/7/1949 di Jakarta.
Siapa Syafruddin Prawiranegara? Mengambil momentum satu abad Syafruddin, pada 28/2/2011, terbit buku berjudul “Presiden Prawiranegara: Kisah 207 Hari Syafruddin Prawiranegara Memimpin Indonesia”. Ditulis oleh Akmal Nasery Basral dan berformat novel.
Buku itu berbasis riset ilmiah. Fakta-fakta dalam buku tersebut juga didapat dari wawancara dengan keluarga / ahli waris Syafruddin dan orang-orang dekatnya seperti Ajip Rosidi yang merupakan anak angkat Syafruddin. Buku itu juga berdasarkan napak tilas ke empat tempat utama ibukota PDRI, artefak-artefak sejarah yang masih ada dan testimoni dari warga sekitar tempat-tempat penting itu.
Siapa Syafruddin Prawiranegara? Lihatlah ‘diskripsi’ istri Syafruddin, saat sang suami menjabat Menteri Keuangan pada era pemerintahan Soekarno. Keluarga ini tak mampu membeli gurita (kain pembebat dada dan perut) bayi.
“Ayahmu Menteri Keuangan, Icah,” Lily menyeka matanya yang basah. “Ayah mengurusi uang negara, tetapi tidak punya uang untuk membeli gurita bagi adikmu, Khalid, yang baru lahir. Kalau Ibu tidak alami sendiri kejadian itu, Ibu pasti bilang itu khayalan pengarang. Tapi, ini nyata. Ayahmu sama sekali tak tergoda memakai uang negara, meski hanya untuk membeli sepotong kain gurita”.
Kalimat di atas, merupakan ucapan Teungku Halimah atau biasa dipanggil Lily, istri Syafruddin. Ucapan itu disampaikan Lily kepada Aisyah atau Icah, putri pertama Syafruddin dan dimuat di lembar pertama dari buku “Presiden Prawiranegara” itu.
Di bagian lain, dituliskan juga, bahwa kondisi ekonomi Syafruddin -ternyata- lebih miskin setelah menjadi Menteri Keuangan dan tinggal di Jogjakarta jika dibandingkan saat menjabat Inspektur Pajak di Kediri.
Kecuali soal gurita bayi yang tak terbeli, buku itu juga menyingkap ‘rahasia’ bahwa Lily -istri Syafruddin- harus berjualan sukun goreng untuk menghidupi empat anaknya yang masih kecil yakni Icah, Pipi, Khalid dan Farid.
Perjuangan hidup yang berat itu, dijalani Lily selama suaminya berada di Sumatera menjalankan tugas negara. Saat berjualan sukun itu, ada protes kecil dari Icah. “Kenapa kita tidak minta bantuan saja pada Presiden Om Karno dan Wakil Presiden Om Hatta serta Om Hengky,” tanya Icah. (Catatan: Nama yang disebut terakhir – Om Hengky- adalah Sri Sultan Hamangku Buwono IX).
“Ayahmu sering mengatakan kepada Ibu agar kita jangan bergantung pada orang lain, Icah. Kalau tidak penting sekali jangan pernah meminjam uang, jangan pernah berutang,” kata Lily.
“Tapi apa ibu tidak malu? Ayah orang hebat, keluarga ayah dan ibu juga orang-orang hebat,” kata Icah.
“Iya, Sayang. Ibu mengerti, tapi dengarkan ya. Yang membuat kita boleh malu adalah kalau kita melakukan hal-hal yang salah seperti mengambil milik orang lain yang bukan hak kita, atau mengambil uang negara. Itu pencuri namanya. Orang-orang mungkin tidak tahu, tapi Allah tahu,” kata Lily, memberi penjelasan pada anak sulungnya itu.
Cermin Elok
Nyaris bersamaan dengan saat penetapan gelar Pahlawan Nasional bagi Syafruddin Prawiranegara, gaya hidup mewah anggota DPR ramai digunjing publik karena dinilai sudah sangat berlebihan. Konon, lahan parkir di kantor ‘Wakil Rakyat’ itu mirip ruang pamer mobil mewah. Mulai dari Toyota Alphard yang berharga sekitar Rp 1 M sampai Bentley yang mencapai Rp 7 M, ada di sana.
Tentu saja, adalah pemandangan yang sangat paradoksal, jika membandingkan antara penampilan pejabat masa kini dengan Syafruddin Prawiranegara. Pihak yang disebut pertama gemar bermewah-mewah, sementara pihak yang disebut terakhir walaupun punya berbagai kekuasaan tapi tetap memilih hidup apa adanya (untuk tak menyebut miskin).
Duhai, para pejabat yang sedang diamanahi menyelenggarkan urusan rakyat, bercerminlah ke pejabat-pejabat masa lalu yang tetap hidup dalam kesederhanaan. Mereka, antara lain, Hatta, Natsir, dan –tentu saja- Syafruddin. Para pemimpin yang patut kita teladani itu memahami bahwa malu adalah sebagian dari iman. Mereka juga sangat memahami sindiran Nabi Muhammad SAW ini: “Jika engkau tidak malu, berbuatlah sekehendakmu” (HR Bukhari). []
,