Oleh M. Anwar Djaelani
inpasonline.com – Adakah umat Islam yang tak kenal Imam Hanafi? Ulama itu bernama lengkap Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit Al-Kufiy. Beliau adalah salah satu dari empat Imam mazhab.
Sang Imam
Imam Hanafi lahir pada tahun 80 H di Kufah pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Dia bermukim di Kufah dan hidup dalam dua masa, yaitu masa Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah.
Ada riwayat –seperti yang dimuat di www.muslim.or.id-, bahwa Tsabit -ayah Imam Hanafi- pernah berkesempatan bersilaturrahim kepada Ali bin Abi Thalib Ra. Di ketika itu, Ali Ra berkenan mendoakan keberkahan atas Tsabit dan keluarganya.
Imam Hanafi menghafal Al-Qur’an sejak kecil. Dia sibuk belajar Hadits dan untuk itu dia rajin melakukan rihlah. Dia lalu menjadi ahli fiqih, cermat dalam berpendapat, dan sering menjadi “penentu” penyelesaian dalam berbagai masalah yang samar atau sulit.
Imam Hanafi sempat bertemu dan belajar kepada tujuh Sahabat Nabi Saw seperti –antara lain- Abdullah Az-Zubairi Ra, Amru bin Haris Ra, dan Anas bin Malik Ra. Kesempatan Imam Hanafi belajar kepada Anas bin Malik Ra adalah di saat Sahabat Nabi Saw itu datang ke Kufah.
Dia juga belajar dan meriwayatkan dari banyak ulama seperti –antara lain- Asy-Sya’bi, Adi bin Tsabit, Qotadah bin Di’amah, Qois bin Muslim, Abdullah bin Dinar, Hamad bin Abi Sulaiman, dan Atha’ bin Abi Rabbah.
Atas ilmunya yang sangat tinggi, banyak orang yang berguru kepada Imam Hanafi dan meriwayatkan darinya. Mereka adalah Abdullah ibnul Mubarak, Abdul Aziz bin Khalid at-Turmudzi, Ibrahim bin Thahman, Abyadh bin Al-Aghar bin Ash-Shabah, Ishaq al-Azroq, Asar bin Amru Al-Bajali, Ismail bin Yahya Al-Sirafi, Al-Harits bin Nahban, Al-Hasan bin Ziyad, Hafsh bin Abdurrahman Al-Qadhi, Hamad bin Abu Hanifah, Dawud Ath-Thai, Sulaiman bin Amr An-Nakhai, dan banyak lainnya.
Tentang Imam Hanafi, Abdullah ibnul Mubarak berkata, “Kalaulah Allah tidak menolong saya melalui Abu Hanifah (Imam Hanafi) dan Sufyan Ats-Tsauri maka saya hanya akan seperti orang biasa”. Lebih jauh Abdullah ibnul Mubarak berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang paling faqih”.
Al-Qodhi Abu Yusuf berkata, “Saya tidak melihat seseorang yang lebih tahu tentang tafsir Hadits dan tempat-tempat pengambilan fiqih Hadits daripada Abu Hanifah”.
Imam Syafi’i berkata, “Barang-siapa ingin memiliki ilmu seluas lautan dalam masalah fiqih, hendaklah dia belajar kepada Abu Hanifah.”
Fudhail bin Iyadh berkata, “Abu Hanifah adalah seorang yang faqih, terkenal dengan wara’-nya, termasuk salah seorang hartawan, sabar dalam belajar dan mengajarkan ilmu, sedikit bicara, menunjukkan kebenaran dengan cara yang baik, dan menghindari dari harta penguasa.”
Yahya bin Sa’id al-Qothan berkata, “Kami tidak mendustakan Allah, tidaklah kami mendengar pendapat yang lebih baik dari pendapat Abu Hanifah dan sungguh banyak yang mengambil pendapatnya.”
Imam Hanafi atau Abu Hanifah termasuk Imam yang pertama-tama berpendapat wajibnya mengikuti Sunnah dan meninggalkan pendapat-pendapatnya yang menyelisihi Sunnah. Intinya, kita wajib mengambil Hadits / Sunnah dan meninggalkan taqlid terhadap pendapat para Imam yang menyelisihi Hadits.
Berikut ini sebagian di antara nasihat-nasihatnya yang berharga:
1).”Apabila telah shahih sebuah Hadits maka Hadits tersebut menjadi mazhabku”. Tentang ini, berkata Syaikh Nashirudin Al-Albani: “Ini merupakan kesempurnaan ilmu dan ketaqwaan para Imam. Para Imam telah memberi isyarat bahwa mereka tidak mampu untuk menguasai atau meliput Sunnah / Hadits secara keseluruhan”.
2).”Tidak halal bagi seseorang untuk mengambil atau memakai pendapat kami selama dia tidak mengetahui dari dalil mana kami mengambil pendapat tersebut”. Dalam riwayat lain, “Haram bagi orang yang tidak mengetahui dalilku, dia berfatwa dengan pendapatku”.
3).”Apabila saya mengatakan sebuah pendapat yang menyelisihi Kitab Allah dan Hadits Rasulullah Saw yang shahih, maka tinggalkan perkataanku”.
Karya-karya tulis Imam Hanafi atau Abu Hanifah -antara lain- adalah Al-Fiqhu Al-Akbar, Al-Musnad, dan Al-Kharaj. Adapun buku yang memuat sirah (biografi)-nya adalah Khabar Abu Hanifah karya Asy-Syaibani dan Abu Hanifah: Hayatuhu, wa ‘Asruhu, wa Aruhu wa Fiqhuhu karya Muhammad Abu Zahrah.
Dalam menetapkan hukum, Imam Hanafi menggunakan dasar-dasar Al-Qur’an, Hadits / Sunnah, pendapat-pendapat (para) Sahabat Nabi Saw, qiyas, ihtisan, dan tradisi masyarakat.
Di antara kelebihan Imam Hanafi adalah bahwa dia adalah orang pertama yang berusaha mengodifikasi Hukum Islam dengan memakai qiyas sebagai dasarnya.
Imam Hanafi mendapat ujian berat, baik di masa Bani Umayyah maupun di zaman Bani Abbasiyah. Pada masa Bani Umayyah di saat pemerintahan Khalifah Marwan ibn Muhammad, Gubernur Irak Yazid ibn Hubairah berencana mengangkat Imam Hanafi menjadi Hakim. Tapi, Imam Hanafi menolaknya. Lalu, Abu Hanifah-pun disiksa.
Pada masa Bani Abbasiyah, yaitu pada era pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur, Imam Hanafi juga diminta untuk menjadi Hakim. Tapi, Imam Hanafi menolak permintaan tersebut karena dia ingin menjauhi harta dan kedudukan dari penguasa. Akibatnya, dia ditangkap, disiksa dan dipenjarakan. Abu Hanifah-pun wafat di dalam penjara pada tahun 150 H saat berusia 70 tahun.
Pelajaran Besar
Sekilas riwayat Imam Hanafi atau Abu Hanifah di atas semoga bisa memantik minat kita untuk memelajari sirah-nya secara lebih lengkap. Dengan cara itu, inspirasi dan energi untuk meneladaninya akan menjadi lebih besar. “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman” (QS Abdul Aziz bin Khalid at-Turmudzi Yusuf [12]: 111). []