Golongan yang Selamat

Oleh: Henri Shalahuddin, M.A.

Tunis_mosque_1899Inpasonline.com-Dalam aqidah Islam, Ahlus sunnah wal-Jama’ah (Aswaja) merupakan (golongan) moderat di antara firqah-firqah yang ada, seperti Mu’tazilah, Khawarij, Syi’ah, Jabbariyah, dan sebagainya. Aswaja merupakan jalan tengah di antara golongan-golongan yang ekstrim, baik yang berlebih-lebihan maupun yang terlalu longgar dalam perkataan maupun amalan. Kedua sikap ini dalam pandangan Aswaja telahmenyimpang dari syariah.

Ahlussunnah tidak melawan bid’ah dengan bid’ah, kebatilan dengan kebatilan, dan tetap bersikap adil terhadap kelompok ekstrim yang memusuhi dan mengkafirkannya. Dalam hal ini Aswaja berpegang teguh pada QS Asy-Syura: 15 “Maka karena itu serulah (mereka kepada agama ini) dan beristiqamahlah sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka”. (Syifa al-‘Alil fi Masail al-Qadha’ wa l-Qadar, hal. 51-52)

Disebut Ahlussunnah, karena golongan ini selalu berpegang teguh kepada Sunnah Rasulullah SAW, dan terbebas dari segala bentuk bid’ah yang sesat. Maka sebutan Ahlussunnah identik dengan firqah najiyah (golongan yang selamat), sebagaimana yang disabdakan Nabi: “Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali hanya satu”. Para Sahabat bertanya: “Siapakah golongan itu, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Yaitu golongan yang senantiasa (mengikuti) aku dan para Sahabatku”. (HR. Turmudzi)

Ahlussunnah adalah madzhab yang lebih mengutamakan wahyu daripada spekulasi akal dan terhitung sangat berhati-hati menyikapi ayat-ayat mutasyabihat. Dalam memposisikan spekulasi akal, Ahlussunnah mengkritik Mu’tazilah karena telah memasukkan masalah-masalah aneh kedalam khazanah Islam yang sarat dengan pengaruh filsafat Yunani.Sehingga dengan intervensi Mu’tazilah ini, pembahasan masalah iman kepada Allah yang sebelumnya sederhana dan ringan menjadi rumit dan sophisticated.(Henri Shalahuddin, 1999, Mawqif Ahlussunnah wal Jama’ah min al-Ushul al-Khamsah lil Mu’tazilah, skripsi S1 ISID Gontor).

Meskipun demikian, tidak berarti Ahlussunnah adalah madzhab irrational yang merendahkan akal. Menurut Imam al-Ghazali, Ilmu Kalam yang merupakan ilmu teologi berbasis spekulasi akal, bukanlah satu-satunya cara untuk mengetahui kebenaran dan tercapainya keyakinan yang kokoh. Imam al-Ghazali berkata, “Barangsiapa yang mengira bahwa keyakinan tentang kebenaran hanya dicapai melalui penalaran dan argumentasi spekulatif, maka sungguh dia telah menyempitkan luasnya rahmat Allah”.(al-Ghazali, al-Munqidz min al-Dhalal, hal. 55)

Penyandaran pada penalaran dan argumentasi spekulatif semata dalam mencari kebenaran, tanpa mengindahkan dalil-dalil al-Qur’an dan hadits, akan mengakibatkan fanatisme pada kebenaran relatif yang diperolehnya, senang berdebat dan memandang golongan lain dengan pandangan kebencian. (al-Ghazali, Ihya’ ulumiddin, vol. I: 22&40-41).

Di samping itu, menurut al-Ghazali, metode seperti ini hanya cocok untuk kalangan tertentu. Metode ini mengabaikan keberagaman manusia dengan segala tingkat nalar dan pengetahuannya. Imam al-Ghazali menegaskan, ”Manusia diciptakan dalam beragam jenis yang berbeda seperti tambang-tambang yang menghasilkan emas, perak ataupun berbagai jenis permata lainnya. Maka perhatikanlah perbedaan di antara tambang-tambang tersebut, baik dari sisi bentuk, warna, karakteristik maupun nilainya. Demikian halnya hati, yang diperumpamakan barang tambang yang menghasilkan perbagai permata ilmu pengetahuan. Maka sebagiannya adalah jenis ‘barang tambang’ kenabian, kewalian, pengetahuan tentang Allah SWT, dan sebagian lainnya adalah ‘barang tambang’ syahwat binatang dan perilaku syaitan…

Ma’rifatullah pada hakekatnya juga diibaratkan seperti pembagian manusia dalam beberapa golongan; baik itu jenis manusia penakut dan lemah yang tidak mampu memahami hakekat struktur ombak lautan walaupun hanya sebatas pesisirnya, maupun jenis manusia yang mempunyai kemampuan dalam memahaminya tapi tidak berkemampuan menyelamatkan manusia ke daratan karena tidak mengetahui seni berenang”. (al-Ghazali, Iljamul Awam, hal. 83).

Takdir dan Kasab
Berkenaan masalah takdir, kedudukan Ahlussunnah berada di tengah-tengah antara pendapat golongan Jabariyah dan Qadariyah. Jabariyah tergolong sangat ekstrim dalam menyikapi takdir hingga menafikan kehendak dan perbuatan manusia. Mereka menyatakan bahwa perbuatan manusia tidak didasari oleh kemauannya, tapi disetir langsung oleh Allah. Sementara Qadariyah berlebih-lebihan dalam menyikapi independensi perbuatan manusia dan menafikan adanya Kehendak dan Kekuasaan Allah di dalamnya.Mereka juga mengingkari adanya Ketentuan Tuhan di Lauh Mahfudh.

Sebagai golongan moderat, Ahlussunnah berpendapat bahwa manusia berbuat berdasarkan kemauannya, tetapi mereka tetap mengakui absolutisme Kehendak dan Ketentuan sang Khalik. Ahlussunnah senantiasa berpegang teguh pada QS. At-Takwir 28-29: “Bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah.Tuhan semesta alam”.

Umar bin Khattab r.a. pernah menghukum pencuri dengan hukuman ganda, yaitu potong tangan dan cambuk. Sebab, ketika diintrogasi, pencuri itu berkata, “Aku mencuri, karena itu sudah menjadi takdir Tuhan”. Ketika ditanyakan tentang putusannya itu, Umarmenjawab: “Hukum potong tangan untuk kesalahannya mencuri, sedang cambuk untuk kesalahannya menyandarkan perbuatan dosa kepada Tuhan”.Dalam pandangan Ahlussunnah beriman kepada takdir justru bisa meniadakan rasatakut dan waspada. Ketika Umar menolak memasuki suatu kotayang di dalamnyaterdapat wabah penyakit, beliau ditanya: “Apakah Anda mau lari dari takdir Tuhan?” Umar menjawab: “Aku lari dari takdir Tuhan menuju takdir Tuhan yang lain.”

Demikian pula berkenaan dengan Sahabat Rasulullah SAW, Ahlussunnah wal Jama’ah mencintai semua Sahabat dan keluarga beliau (ahlul bait). Pendapat ini berbeda dengan Khawarij dan Syiah. Khawarij sering mengkafirkan para Sahabat, karena mereka berpedoman bahwa pelaku dosa adalah kafir. Padahal Sahabat Nabi adalah sebaik-baik umat Islam. Maka jika ada di antara mereka yang khilaf melakukan dosa, ampunan Allah lebih dekat kepada mereka dibanding pelaku dosa lainnya.(lihat QS. Al-Taubah: 117)
Sementara itu, Syiah berlebih-lebihan mengkultuskan Ali bin Abi Thalib. Bahkan di kalangan Syiah ekstrim mempercayainya sebagai Tuhan, sehingga Ali sendiri membakar mereka hidup-hidup. Di samping itu, Syiah berpendapat bahwa Ali lebih berhak sebagai khalifah sepeninggal Rasulullah saw. Mereka menuduhAbu Bakar, Umar dan Utsman telah merampas hak khilafah Ali yang telah diwasiatkan Rasulullah saw.

Oleh karena itu, penganut Syiah sampai saat ini masih sering mencaci maki bahkan mengkafirkan para pemuka Sahabat, dan menganggapnya sebagai ritual untuk mendekatkan diri kepada Allah. Padahal Rasulullah saw bersabda: “Takutlah kepada Allah, takutlah kepada Allah mengenai sahabat-sahabatku. Janganlah kamu menjadikan mereka sebagai sasaran caci-maki sesudah aku tiada.Barangsiapa mencintai mereka, maka berarti dia mencintai aku.Dan barang siapa membenci mereka, maka berarti dia membenciku”. (HR. at-Turmudzi).

Doktrin “imamah” bagi Syiah adalah akidah dan rukun agama. Ibnu Khaldun menjelaskan dalam kitab “Muqaddimah” bahwa Syiah mewajibkan Nabi untuk menentukan imam pengganti beliau dan melarang beliauuntuk menyerahkan masalah imamah kepada umat. Sebab bagi Syiah, imam adalah orang yang ma’sum dari dosa besar dan kecil. Imamah adalah kepanjangan dari kenabian dan kedudukannya sejajar bahkan lebih luas daripada kedudukan nabi. Sementara bagi Ahlussunnah, seorang imam atau pemimpin umat dipilih oleh kaum muslimin melalui mekanisme pemilihan oleh ahlul hilli wal ‘aqdi.

Masalah imamah menurut Ahlussunnah pada awalnya bukanlah bagian dalam pembahasan akidah. Namun karena Syiah menganggapnya bagian penting dalam akidah, maka Ahlussunnah pun membahasnya dalam kajian akidah sebagai pembahasan tambahan. (al-Ghazali, al-Iqtisad fil I’tiqad, hal. 169).

Tulisan pernah dimuat di Islamia Republika

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *