Geliat Gay-Lesbian dan ‘Lapindo’

Kampanye Kemunkaran

Tak lama setelah koran itu beredar, sekitar pukul 7 pagi, sejumlah SMS saya terima: “Tolak acara itu,” demikian inti pesan pendek yang saya yakini bergulir cepat di kalangan yang peduli terhadap masalah keagamaan dan kemasyarakatan.

Alhamdulillah, Jawa Pos 25/3/2010 menurunkan berita lanjutan: “Konferensi Lesbian-Gay Batal”. Disebutkan, Polwiltabes Surabaya tegas melarang program itu dengan pertim­bangan antara lain akan mengganggu stabilitas kamtibmas Surabaya. Sebab, beberapa elemen masyarakat telah menyatakan penolakan karena beranggapan sangat bertentangan dengan nilai keagamaan dan kebudayaan warga Surabaya dan Jatim.

Dari sisi Islam, perilaku homoseksual (dan apalagi jika sampai diorganisasi seperti rencana itu) sangat dilarang. Ingatlah kisah kaum Nabi Luth yang diazab Allah. Sementara, secara kemasyarakatan, kegiatan tersebut akan sangat mengganggu perasaan ke­agamaan masyarakat. Tameng hak asasi manusia (HAM) tak bisa dipakai kaum gay dan lesbian untuk tak menghargai hak orang lain yang meyakini aktivitas homoseksual sebagai sesuatu yang terkutuk.

Acara serupa itu harus kita tolak. Sebab –sangat mungkin- didesain sebagai kampanye besar-besaran dengan target berubahnya cara pandang masyarakat terhadap kaum gay dan lesbian: bahwa aktivitas (seksual) mereka normal.

Sebagian dari tujuan itu –bukan tak mungkin- sudah mulai terlihat hasilnya. Dulu, hampir tidak ada yang berani mengakui dirinya sebagai gay atau lesbian. Mereka malu, karena akan ada sanksi sosial. Kini, banyak yang secara terbuka mengakui. Bahkan, banyak yang bangga dan kemudian mengajak orang lain untuk bergabung dalam komunitas ’kaum Luth’.

Sejatinya, hukum tentang larangan homoseksual sudah sangat jelas yaitu haram. Tapi, kini malah semakin banyak yang mengampanyekannya. Misal, pernah ada seminar pro-gay di sebuah kampus Islam. Bukalah www.hidayatullah.com 12/11/ 2009. Kita akan tersentak menemukan judul IAIN Sunan Ampel Adakan Seminar “Nikah Yes! Gay Yes”. Ada dua pembicara di acara itu, seorang pelaku gay yaitu Erick Yusufanny dari GAYa Nusantara dan Drs. Imam Nakhai, M.Ag. dosen Institut Agama Islam Ibrahimi Situbondo.

Imam Nakhai berucap bahwa “Diazabnya kaum Luth oleh Allah bukan karena perbuatan sodomi mereka, namun karena upayanya menghilangkan eksistensi umat Nabi Luth.”

Pernyataan di atas jelas tak beralasan. Perhatikanlah! Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?” Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: “Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura menyucikan diri.” Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali istrinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu (QS Al-A’raaf [7]: 80-84). Ayat-ayat itu menerangkan pengazaban tersebut karena homoseksual yang mereka lakukan.

Kita jangan terjebak dalam liberalisme pemikiran, yang berpendapat bahwa hidup itu bebas untuk melakukan apa saja. Jika kita terjebak pada pola pikir liberal seperti itu, kita lalu akan memilih sikap “mendiamkan” atas kampanye gay dan lesbian di berbagai media.

 

Pengundang ‘Lapindo’

Konon, kaum Luth tinggal di tepi Laut Mati (Dead Sea), di negeri Sadum dan Amurrah (Sodom dan Gomorrah). Maka, akibat perilaku homoseksual, kawasan itu diluluhlantakkan dengan gempa bumi yang sangat dahsyat. Bumi dibalik, “yang di atas ke bawah”. Maka, tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi (QS Huud [11]: 82).

Apa yang menimpa kaum Luth sedikit-banyak mengingatkan kita dengan “Tragedi Lapindo”. Di Porong-Sidoarjo, bencana semburan lumpur panas akibat proyek Lapindo telah berlangsung hampir empat tahun. Tak ada tanda-tanda akan berhenti. Musibah itu ‘menenggelamkan’ apa saja yang ada di sekitarnya, termasuk berbagai usaha yang –katanya- ilmiah.

Sejauh ini, “Tragedi Lapindo” tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan “Petaka Sodom dan Gomorrah”. Tapi, pendapat Lily Pudjiastuti (mantan Koordinator Studi Amdal Pengembangan/Eksploitasi Gas Lapindo), patut dicermati. Dia berkata di majalah Hidayatullah, Juli 2007: “Semua pakar sudah dikerahkan. Otak ibarat sudah tidak sampai. Bikin begini, begitu, seolah bisa selesai. Ternyata, tidak.”

Itu berarti, bahwa kecuali karena “masalah teknis” maka “Tragedi Lapindo” perlu juga dibaca sebagai bentuk peringatan (untuk tak menyebut azab) Allah atas berbagai kemaksiatan kita, termasuk makin maraknya praktik homoseksual.

Mari bertobat, jangan undang ‘Lapindo’-‘Lapindo’ yang lain! Untuk itu, pertama, jangan lakukan homoseksul. Selalulah ingat bahwa Rasulullah SAW berpesan serius agar kita tak terjerumus ke perbuatan kaum Luth. Lewat HR at-Tirmidzi, al-Hakim, Ibn Majah beliau menyatakan kekhawatirannya jika hal itu menimpa umatnya. Kedua, aktiflah ber-nahi munkar dengan melawan kemaksiatan, termasuk saat melihat kampanye kaum gay dan lesbian. Sebab, -sebagaimana HR Abu Dawud, at-Turmudzi, dan Ibnu Majah- jika itu tidak kita lakukan bencana akan datang secara merata menimpa siapa saja, baik dia tukang maksiat maupun ahli ibadah.

Last modified: 13/12/2023

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *