Orientasi Seksual yang Posmo – Mendekonstruksi Foucault

Orientasi Seksual yang Posmo – Mendekonstruksi Foucault

Digulirkannya gagasan  ”arkeologi kebisuan penderita kegilaan” tentunya tidak a-historis atau hanya bermodalkan ’ruang kosong’, sebab Foucault sendiri adalah contoh seorang ’mad man’ (orang gila) yang sempurna. Dia seolah-olah mengacaukan tanda antara kepribadian dan pemikiran; tidak ada kaitannya antara ilmu dan amal. Di balik karir keilmuannya yang cemerlang, Foucault memiliki sisi buruk yang nyata : homoseksual, (pernah) memperkosa, suka pesta seks, berkelahi, dan memberontak. Dengan begitu, Foucault ingin menegaskan eksistensinya sebagai seorang dengan segala kegilaan dengan menggagas sebuah konsep yang sekarang ini menjadi alat analitis fenomena peyimpangan seksual, dan terutama menjadi alat kristisisme baru.

Dalam sejarah peradaban manusia, perilaku homoseksual bukan hal baru. Orientasi seksual menyimpang ini pernah dilakukan oleh kaum Nabi Luth, ribuan tahun sebelum era pasca Perang Dunia II, era dimana posmodernis menancapkan kukunya di ranah pemikiran. Dengan mengabaikan segala ’madness’ atau kegilaan yang direkomendasikan Foucault, kita sebagai umat Islam dengan tegas menyatakan bahwa praktik homoseksual adalah sebuah bentuk penyimpangan yang harus diluruskan. Kegilaan tetaplah penyimpangan; definisi dan ketentuannya harus menggunakan aturan agama, sebab Tuhan tidak pernah mati dan manusia bukan sekadar mitos, seperti yang diyakini oleh Foucault. Tuhan membuat aturan yang termaktub dalam kitab suci, dan manusia menjalankan aturan Tuhan. Agama yang berposisi negasi terhadap posmodernisme memberi konsep-konsep yang disepakati dan dijadikan acuan dalam hidup.

Dalam Islam, hingga kini, praktik homoseksual tetap dipandang sebagai tindakan bejat. Homoseksual (liwath) merupakan perbuatan asusila yang sangat terkutuk dan menunjukkan pelakunya seorang yang mengalami penyimpangan psikologis dan tidak normal. Konsep liwath ini tentunya mendekonstruksi konsep Foucault mengenai ‘madness’ atau kegilaan yang harus diterima sebagai sesuatu hal yang normal dan menolak pluralisme pemaknaan di kalangan posmodernis.

Di dalam Ensiklopedi Hukum Islam disebutkan bahwa praktik liwath merupakan satu dosa besar dan sanksinya sangat berat. Rasulullah SAW bersabda, ”Siapa saja yang menemukan pria pelaku homoseksual, maka bunuhlah pelakunya tersebut.” (HR Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasai, Ibnu Majah, al-Hakim, dan al-Baihaki). Imam Syafii berpendapat, bahwa pelaku homoseksual harus dirajam (dilempari batu sampai mati) tanpa membedakan apakah pelakunya masih bujangan atau sudah menikah.

Selain itu, pelaku homoseksual juga dihukum dengan cara dibakar. Terdapat riwayat yang valid dari Khalid bin al-Walid radhiyallahu ‘anhu bahwa ia pernah menemukan di suatu daerah pinggiran perkampungan Arab seorang laki-laki yang menikah dengan sesamanya layaknya wanita yang dinikahkan. Maka, ia pun mengabarkan hal itu kepada Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Lalu beliau meminta pendapat para shahabat yang lain, di antaranya ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu yang mengambil pendapat yang sangat tegas. Ia mengata kan, “Menurutku, hukumannya dibakar dengan api.” Maka Abu Bakar pun mengirimkan balasan kepada Khalid bahwa hukumannya ‘dibakar.’

Alternatif lain, pelaku homoseksual dihukum dengan cara dilempar dengan batu setelah dijungkalkan dari tempat yang tinggi. ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Perlu dicari dulu, mana bangunan yang paling tinggi di suatu perkampungan, lalu si homoseks dilempar darinya dengan posisi terbalik, kemudian dibarengi dengan lemparan batu ke arahnya.” Ibn ‘Abbas mengambil hukuman (Hadd) ini sebagai hukuman Allah subhanahu wata’ala atas perilaku homoseksual.

Tidak ada satu pun dokumen (nash) yang melegitimasi praktik homoseksual. Semua sepakat bahwa homoseksual terlarang dan pelakunya harus dikenakan hukuman mati, hanya teknis pelaksanaannya saja yang berbeda. Dalam hal ini dan banyak hal lain, posmodernisme harus rela didekonstruksi oleh agama (baca : Islam), yang mengakui adanya kesepakatan dan kebenaran tunggal, sebab ‘makna’ mengandung keniscayaan.

Wallahu ‘alam bishshawwab

*Penulis adalah aktivis InPAS (Institut Pemikiran dan Peradaban Islam)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *