Gagasan tentang Putih dan Rasisme

Melalui berbagai doktrin ke-putih-an yang terdapat dalam iklan sabun, kulit putih menjadi sebuah gap yang dengan berbagai cara distrukturkan menjadi tujuan. Sedemikian rupa berkulit gelap berarti buruk rupa, yang lalu dianggap pecundang. Gagasan mengenai ke-putih-an menjadi sangat menyebar hampir tak terkendali dengan cara yang sangat subtil sehingga dalam budaya populer, gagasan itu dapat meloloskan diri dari label “rasis.”

Menurut Ruth Frankenberg dalam Displacing Whiteness: Essays in Social and Culture Criticism, istilah “ras” sesungguhnya merupakan fenomena yang baru muncul akhir-akhir ini saja; pengurutan hierarkis ‘bangsa-bangsa’ sesungguhnya merupakan alat ukur yang jauh lebih tua dalam leksikon supremasisme Barat.

Ras dalam konteks ini berhubungan dengan tindakan menamai kelompok-kelompok manusia, dan jelas, ada hubungan kekuasaan dalam tindakan menamai dan dinamai. Dalam konteks kolonialisme, pihak yang menamai adalah penjajah, kulit putih. Dengan demikian, putih menjadi norma. “Ras kulit putih” tidak ternamai karena putih adalah “bukan apa-apa, tetapi segalanya’ (nothing but everything). Sebagaimana diargumentasikan oleh Richard Dyer dalam White, “warna putih bukanlah warna, karena putih adalah semua warna. Supremasi, karena itu, berada dalam genggaman sang putih sebagai sesuatu yang diinginkan, sementara ke-putih-an itu sendiri tetap merupakan simbol konvensional dari kebersihan, kemurnian, dan peradaban.

Frankenberg menegaskan bahwa ke-putih-an adalah suatu konstruk atau identitas yang hampir tidak mungkin dipisahkan dari dominasi rasial. Karena istilah ke-putih-an, yang mengungkapkan gagasan bahwa ada kategori manusia yang diidentifikasi dan mengidentifikasi diri sebagai ‘putih’, ditempatkan di dalam operasi ras dan rasisme yang terus-menerus. Putih, karena itu, berkorespondensi dengan suatu tempat di dalam rasisme sebagai suatu sistem kategorisasi dan formasi subjek, sebagaimana istilah ras yang diuntungkan dan ras yang dominan menyebutkan suatu tempat tertentu di dalam kerangka rasisme sebagai suatu sistem dominasi.

Menurut Aquarini Priyatna Prabasmoro dalam Becoming White: The Representation of Female Mixed-Race Celebrities in Indonesian Soap Advertisement and Womens Culture, Iklan sabun yang mengusung gagasan ke-putih-an membawa kita pada kenyataan bahwa sabun mandi telah berkembang jauh dari sekadar kosmetik, yang dalam hal ini membersihkan kulit (secara literal) hanyalah salah satu dari bagiannya. Tindakan membersihkan kulit atau mandi bukanlah semata-mata suatu tindakan untuk mencapai kecantikan, karena kecantikan selalu direpresentasikan sebagai suatu keadaan yang hipereal. Bersih saja tidak cukup, kita harus benar-benar bersih. Berkulit lembut saja tidak cukup, kulit harus benar-benar sempurna, dan seterusnya. Di atas semua itu, sabun mandi bergantung pada citra putih dan ke-putih-an.

Industri sabun, sebagaimana analisa McClintock dalam Imperial Leather –  Race, Gender and Sexuality in the Colonial Contest, bermula dari perkembangan historis sebagai komoditas imperial yang lahir pada Zaman Victoria ketika kebersihan, ke-putih-an, dan kemurnian merupakan obsesi nasional (Inggris). Iklan sabun pada awalnya bergantung pada kebudayaan yang imperial (imperial culture) dan alam yang terjajah (colonialised/nature) sebagai dikotomi hitam/putih. Kulit hitam/dan atau yang terjajah ditandai sebagai ’alam’. Istilah alam’ di sini mengacu kepada seseorang yang tidak berbudaya, tidak beradab, dan liar.

Konotasi di atas diambil dari nilai-nilai kelas menengah Zaman Victoria yang imperial yang diwujudkan dalam sabun sebagai “komoditas kebudayaan dan misi pemberadaban baru Inggris untuk mencuci dan memakaikan baju kepada orang-orang yang masih liar”. Istilah alam juga mengacu kepada keadaan kotor dan tercemar dan mengimplikasikan bahwa orang yang “kotor” dan “tercemar” perlu dipurifikasi (dibersihkan dan dimurnikan).

Gagasan mengenai purifikasi ini bukan saja mengandung makna rasial, melainkan juga makna kelas. Dengan demikian, orang kulit hitam perlu dipurifikasi karena mereka “secara alamiah hitam”, kotor, dan liar. McClintock bahkan menyiratkan bahwa sabun merupakan bagian dari “teknologi purifikasi sosial.

Konstruksi sosial mengenai putih dan ke-putih-an yang dengan berbagai cara distrukturkan menjadi tujuan, telah mendapat delegitimasi berabad-abad sebelum Inggris gemilang berjaya sebagai pusat peradaban dunia pada Zaman Victoria. “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa kalian dan juga harta kalian, tapi Dia melihat hati dan perbuatan kalian” (HR Muslim).

Delegitimasi yang sekaligus early warning tersebut mengindikasikan bahwa putih-hitam warna kulit tidak akan terkonstruksi menjadi gap atau norma karena warna kulit hanya dimaknai sebagai diferensiasi yang bersifat horizontal. Putih tidak memiliki supremasi terhadap hitam dan sebaliknya. []

 

*Penulis peneliti InPAS

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *