Meninjau Filosofi Gagasan Islamisasi Sains

Oleh: Ahmad Kholili Hasib

istac 2Inpasonline-Gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan di dunia Islam sudah digulirkan sekitar empat puluhan tahun yang lalu. Pada tahun 1973 ide Islamisasi sains ini sudah digulirkan Prof. Muhammad Naquib al-Attas dalam bukunya berjudul Risalah untuk Kaum MusliminRisalah untuk Kaum Muslimin yang mengusulkan perlunya Islamisasi sains. Bahkan sebelum itu, tahun 1969 Prof. al-Attas menulis risalah khusus tentang Islamisasi alam Melayu dalam tulisannya berjudul Preliminary Statement on a General Theory of the Islamization of the Malay-Indonesian Archipelago.

Gaungnya mulai tersiar di dunia Islam sejak diadakan Konferensi Internasional tentang Pendidikan Islam di Makkah pada tahun 1977. Prof. al-Attas, sebagai pembicara utama mengemukakan istilah “Islamisasi Ilmu” dan menyampaikan pikirannya tentang tantangan terbesar kaum Muslimin dalam ilmu pengetahuan.

Ide tersebut disambut baik sejumlah cendekiawan Muslim dengan mengembangkan konsepnya secara berbeda-beda. Di antaranya Ismail Raji al-Faruqi mewujudkan ide itu dengan mendirikan International Institute of Islamic Thought (IIIT) di Virgina pada tahun 1981. Kecuali itu, masih ada tokoh lain pengembang ide Islamisasi yaitu Syed Hossein Nasr, Ziauddin Zardar, Maurice Bucaille dan lain-lain.

Selama dekade ini di dunia Islam gagasan tersebut memang belum terlalu ‘nyaring’, namun tetap berjalan dan bergulir. Gagasan al-Faruqi gaungnya tidak sekeras ketika beliau masih hidup. Sedangkan ide-ide Prof. al Attas sempat mengalami hambatan sejak lembaga yang didirikan sebagai proyek percontohan, ISTAC, dilebur dengan IIUM (International Islamic University of Malaysia) pada tahun 2002. Namun begitu, idenya masih diteruskan oleh murid-muridnya dari Malaysia, Pakistan, Indonesia, Turki dan lain-lain. Secara umum, ide Islamisasi tetap hidup tetapi masih alami hambatan-hambatan.

Apa yang dimaksud Islamisasi dan Sains Islam juga masih menjadi tanda-tanya sebagian ilmuan Muslim. Produk dan implementasi konsep sains Islam sudah tentu dipertanyakan. Pertanyaan dan kiritik utamnya disebabkan belum ada kefahaman tentang akar dasar dari Islamisasi itu.

Abdussalam, ilmuan Muslim peraih hadiah Nobel Fisika mengatakan: “Hanya ada satu sains universal, problem-problemnya dan bentuk-bentuknya adalah internasional dan tidak ada sesuatu seperti sains Islam sebagaimana tidak ada sains Hindu, sains Yahudi atau sains Kristen” (Budi Handrianto, Islamisasi Sains, hal. 121).

Memang tidak ada sains Hindu, Yahudi atau sains Kristen. Ide Islamisasi sebetulnya tidak harus dihadap-hadapan antara Islam dengan agama lain. Apalagi tidak perlu dinilai sebagai sentimen teologis. Dalam fakta harus diakui, ilmu matematika, kedokteran, fisika di negeri Israel misalnya sama dengan yang berkembang di negara Islam. Ide gagasan Islamisasi sains yang dipelopori oleh al-Attas, al-Faruqi dan Nasr sesunggunnya tidak mengotak-atik produk teknologi, rumus-rumus fisika dan matematika.

Bahkan Prof. al-Attas sendiri mengakui bahwa ada kesamaan antara filsafat sains modern (Barat) dengan filsafat sains Islam, yaitu dari segi nalar, empiris, kombinasi realisme, idealism dan pragmatisme. Akan tetapi bagaimana pun, kata al-Attas, terdapat juga perbedaan mendasar dalam pandangan hidup (divergent worldviews) mengenai metafisika (Wan Mohd Wan Daud,The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, hal. 115).

Selain itu dalam faktanya para saintis positivis (sekular) menggunakan metode santifik untuk menepikan seluruh yang berkaitan dengan metafisika dan agama dari wilayah keilmuan dan kebenaran. Tetapi saintis Muslim di masa lalu menggunakan metode saintifik dalam wilayah sains empirik tanpa melampaui batas penggunaannya untuk membuktikan hal-hal metafisik seperti membuktikan adanya Tuhan (Usep Muhammad Ishaq,Ibnu Haytham, Sang Pembaca Cahaya Sains, hal. 82). Jadi perbedaannya antara sains sekular dan Islam berada pada tataran dasar dan paradigmatis.

Di masa lalu, para saintis Muslim tidak serta merta menolak semua falsafah Yunani. Ada hal-hal yang bisa diterima misalnya dalam bidang sains alam, logika, astronomi dan matematika. Masalah-masalah yang berkaitan dengan metafisika dinilai memiliki masalah, sedangkan hal lain yang tidak bertentangan dengan Islam bisa diserap. Sedangkan dalam peradaban Barat dari masa pertengahan, falsafah Yunani harus disekat dari pengajaran agama. Hingga saat ini, sains dan agama dalam peradaban Barat merupakan dua dunia yang terpisah (Usep Muhammad Ishaq,Ibnu Haytham, Sang Pembaca Cahaya Sains, hal. 82).

Dalam Islam, wahyu merupakan sumber ilmu tentang realitas dan kebenaran akhir berkenaan dengan makhluk ciptaan dan Pencipta. Wahyu adalah kerangka dasar metafisis untuk menguraikan filsafat sains sebagai sebuah sistem yang menggambarkan realitas alam dan kebenaran. Dalam Islam, sains yang mempelajari alam menggunakan metode-metode empiris dan rasional. Sementara masalah metafisika bersumberkan kepada wahyu. Semua metode dan sumber kebenaran itu berada dalam satu kesatuan epistemologi yang utuh. Sehingga para saintis Muslim dahulu tidak menggunakan metode saintifik ini untuk mempertanyakan kebenaran agama atau menggugatnya. Tidak seperti yang mungkin terjadi pada saintis Barat sekular.

Dalam filsafat sains modern, secara epistemologis tidak menjadikan wahyu sebagai sumber ilmu dan lebih mengedepankan rasionalisme dan empirisisme. Filsafat sains yang beginilah yang diislamkan. Pembiaran terhadap filsafat sains sekular ini akan melahirkan santis-saintis dan ilmuan yang melepaskan agama dalam aktivitas keilmuannya.

Apa yang dikatakan pengislaman di antaranya dewesternization of knowledge. Membuang unsur-unsur sekular (rasionalisme, empirisisme, relativisme dan atheisme) yang menyelimuti ilmu-ilmu kontemporer (Ugi Suharto,Epistemologi Islam dalam On Islamic Civilization, hal. 168).

Setelah itu, memasukan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci Islam kedalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan. Konsep-konsep dasar Islam itu diantaranya adalah: Konsep din, Konsep manusia (insan), Konsep ilmu (ilm dan ma’rifah), Konsep keadilan (‘adl), Konsep amal yang benar (amal sebagai adab) dan semua istilah dan konsep yang berhubungan dengan itu semua.

Jadi sebetulnya, proses Islamisasi itu terjadi secara paradigmatik. Lebih tegasnya, pengislaman epistemologi sains yang berdasarkan Islamic worldview. Sehingga produk teknologi misalnya tidak diubah namun filsafat dasarnya dalam pengembangan ilmu itu yang diislamkan. Budi Handrianto menyatakan bahwa Islamisasi bukan bekerja di luar sana, tapi bekerja di dalam akal kita melalui bahasa, rasio dan pemikiran. Mengutip Rosnani, seorang sarjana Muslim akan dapat melahirkan karya yang serasi dengan ruh Islam jika jiwa dan akalnya sudah Islam.

Menggagas sains Islam juga sebenarnya untuk melahirkan ilmuan Muslim yang beradab. Beradab terhadap ilmu, lingkungan, masyarakat, negara, agama dan kepada Tuhannya. Tidak melepaskan agama dari aktivitas keilmuan dan mencari kebenaran. Franz Rosenthal dalam bukunya Etika Kesarjanaan Muslim dari al-Farabi hingga Ibnu Khaldun (terj. Mizan, 1998) mengakui bahwa para saintis Muslim terdahulu memiliki etika sangat luhur. Dari mulai etika terhadap buku, guru hingga pada Tuhannya sangat luar biasa. Kita lihat para saintis Muslim kita tidak ada yang ateis. Namun di Barat, banyak sekali yang meninggalkan agamanya dengan prilakunya yang tidak santun. Memang seharusnya, ilmuan      Muslim yang pintar-cerdas saja tidak cukup namun harus beretika.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *