Terjadinya ketidakseragaman dalam memahami fenomena Ahmadiyah merupakan suatu bukti bahwa umat Islam belum menyepakati makna sesat dalam Islam. Masyarakat awam seakan menjadi penonton yang setia tanpa tahu kebenarannya, benarkan Ahmadiyah itu sesat? Bagaimana memahami bahwa ia sesat? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang selalu hadir dalam benak umat Islam kebanyakan. Munculnya pembela-pembela Ahmadiyah dari kalangan umat Islam sendiri, semakin menjadikan umat bingung. Tidak jarang pada akhirnya umat menjadi cuek dengan perdebatan ini, dan bahkan sebagian curiga bahwa perdebatan itu hanyalah untuk membela kepentingan sendiri dan kelompok, mungkin juga ada materi di balik perdebatan itu.
Fenomena inilah yang menyemangati pemateri yang satu ini, Abdul Hakim, untuk membahasnya dalam diskusi InPAS kali ini. Diskusi yang dilaksanakan di Sekretariat InPAS pada hari Ahad (20/02/11) ini cukup seru. Hampir semua peserta diskusi ikut memberikan tanggapan yang semakin menghidupkan suasana diskusi. Pembahasannya pun semakin melebar pada konsep bid’ah yang juga populer di kalangan umat Islam. Konsep bid’ah ini pada akhirnya juga perlu dijelaskan karena keterkaitannya dengan kesesatan, sebagaimana Sabda Nabi SAW, bahwa setiap bid’ah itu sesat.
Dalam paparan awalnya, pemateri yang juga dosen UIN Malang ini ‘memotret’ suasana sebelum merebaknya problem Ahmadiyah ini. Pada awalnya, jelas Hakim, umat Islam di Indonesia ini disuguhi dengan tren perbedaan pendapat antara NU dengan Muhammadiyah. Hal ini berjalan hingga beberapa lama yang juga dihiasi dengan suasana saling menyesatkan. Tetapi pada akhirnya, tokoh-tokoh dari kedua ormas Islam ini saling memberikan pencerahan kepada pengikutnya bahwa perbedaan mereka selama ini hanyalah urusan furu’ (cabang) yang tidak membahayakan keislaman seseorang. Hal itu menyebabkan hubungan kedua ormas semakin cair dan saling memahami antar pengikutnya, meskipun di kalangan grass root tidak menutup kemungkinan masih ditemui persinggungan kecil.
Berbeda dengan kasus Ahmadiyah, jelas lulusan Unair ini, perbedaannya justru terletak pada masalah qoth’i (pasti) yang tidak seharusnya umat Islam menyelisihinya. Tidak ada satupun ulama Islam di seluruh dunia yang berpendapat ada nabi setelah Nabi Muhammad SAW, karena dalilnya sangat jelas. Oleh karena itu, tegas kandidat Magister Pemikiran Islam ini, permasalahan Ahmadiyah ini bukan perbedaan biasa sebagaimana umat Islam biasa berbeda pendapat dalam hal-hal ijtihadiyah.
“Ini masalah penyimpangan yang harus diluruskan. Mau diteliti seperti apapun, tetap tidak bisa merubah keputusan bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi terakhir dan penutup. Karena dalil yang mengarah kepada pemahaman Ahmadiyah tersebut tidak ada, kecuali akal-akalan mereka saja,” tegas pria asli Rembang Jawa Tengah ini.
Jika menghadapi permasalahan Ahmadiyah ini saja umat Islam sudah tidak satu suara, bagaimana jika nantinya akan muncul ahmadiyah-ahmadiyah lain yang lebih banyak dan lebih canggih. Bisa jadi umat ini akan terpecah-pecah lagi dan jauh dari ukhuwah Islamiyyah. Oleh karena itu, inilah pentingnya umat Islam memahami dan menyepakati konsep sesat. Dalam hal ini, sudah seharusnya umat mengerti bagaimana kriteria sesat dalam Islam. Termasuk pula, kategori sesat seperti apa? Apakah tergolong kafir, musyrik, atau fasiq. Dan bagaimana pula bentuk interaksi terhadap mereka yang dikatakan sesat tadi, apakah cukup dinasehati, diperangi, atau dibiarkan. Hal-hal inilah yang seharusnya diketahui umat agar tidak bimbang dan bermacam-macam persepsi menghadapi perbedaan. MUI memang sudah menerbitkan fatwanya terkait dengan masalah perbedaan ini, tapi sangat terbatas sekali yang mengetahuinya. Ini menjadi tugas sekolah atau ormas Islam untuk mengajarkan konsep sesat ini.
Dalam makalah yang ditulisnya, pemateri yang sedang menyelesaikan tesis dengan judul “Konsep Sesat Menuru Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani” ini menulis;
“Kekurang kompakan kelompok-kelompok Islam dalam memahami konsep kesesatan ini dimanfaatkan oleh kelompok Islam liberal-sekuler dan pendukungnya. Kelompok ini sebetulnya telah difatwakan oleh para ulama sebagai kelompok yang menyimpang dari ajaran agama. Namun dengan kepiawaian mereka dalam menyampaikan konsep kesesatan versi mereka, dan gencarnya mereka menyampaikan konsep tersebut kepada masyarakat melalui penguasaan media, menyebabkan masyarakat umum (yang belum memahami konsep kesesatan versi ulama karena belum adanya kesefahaman di antara kelompok Islam dan tidak adanya sosialisasi) mudah menerima konsep kesesatan versi mereka. Sehingga muncullah fenomena sebagian masyarakat membela kelompok sesat yang “teraniaya” oleh fatwa sesat kelompok-kelompok Islam. Bahkan tidak sedikit masyarakat justru menganggap bahwa kelompok sesat tersebut sebenarnya bukan kelompok yang sesat, namun merupakan korban dari arogansi kelompok mayoritas. Kemudian mereka pun menyarankan kepada kelompok mayoritas supaya tidak arogansi dan menerima perbedaan.”
Jika tidak ada penjelasan yang konkrit, di masyarakat justru sering terjadi ‘obral’ tuduhan bid’ah dan sesat, sehingga konsep bid’ah dan sesat seakan menjadi kurang tajam, jelas Bahrul, menanggapi paparan pemateri. Artinya, orang seakan tidak takut lagi dituduh sesat karena begitu mudahnya tuduhan itu dilontarkan. Seakan-akan kata sesat tidak ada greget sama sekali, padahal itu bisa berdampak pada bolehnya diperangi atau dibunuh misalnya. Makna bid’ah dan sesat seakan mengalami oversimplifikasi yang menyimpang dari sejarahnya. Ini tidak seharusnya terjadi jika umat memahami konsep bid’ah dan sesat dengan benar. Inilah pentingnya pemahaman konsep tersebut diketahui umat Islam agar tidak terjadi perpecahan.
Sementara Holili Hasib menambahi bahwa ulama sudah banyak menulis kitab-kitab terkait pembahasan konsep sesat tersebut. Hanya saja memang sangat terbatas yang mengetahuinya, karena di samping sulit mempelajarinya juga sangat jarang forum-forum yang membahas ini. Langkah MUI sudah benar, tinggal ormas bagaimana meresponnya dan menyebarkannya sehingga tercapai kesepakatan konsep sesat di kalangan umat Islam. (mm)