Burhanuddin Harahap; Pemimpin Indonesia yang Bersih dan Kenangan Pemilu 1955

Burhanuddin Harahap_Pemimpin Indonesia yang Bersih dan Kenangan Pemilu 1955

Oleh Mahmud Budi Setiawan, Lc

Burhanuddin Harahap

Burhanuddin Harahap (Dok. Tempo)

inpasonline.com – Burhanuddin Harahap adalah seorang politikus muslim Indonesia yang lahir di Medan pada 12 Februari 1917. Ia berasal dari keluarga Batak dan menempuh pendidikan di HIS, MULO, AMS, serta Sekolah Tinggi Hukum Batavia. Sejak muda, ia aktif dalam pergerakan nasional dan menjadi anggota Jong Islamieten Bond (JIB). Karier politiknya berkembang pesat setelah Indonesia merdeka, terutama melalui keterlibatannya dalam Partai Masyumi. Ia dikenal sebagai sosok yang sederhana dan tegas, serta memiliki prinsip kuat dalam menjalankan pemerintahan (Buku Kumpulan Biografi Apa & Siapa Tempo 1981-1982: 197-199).

Pada 12 Agustus 1955, Burhanuddin Harahap dilantik sebagai Perdana Menteri Indonesia ke-9, merangkap Menteri Pertahanan. Kabinet yang ia pimpin dikenal sebagai “Kabinet BH” dan berusaha membawa perubahan signifikan dalam pemerintahan. Salah satu pencapaiannya yang paling bersejarah adalah penyelenggaraan Pemilu pertama di Indonesia pada tahun 1955, yang berlangsung jujur dan demokratis dalam situasi politik yang penuh tantangan.

Selain itu, ia juga berupaya menstabilkan ekonomi dan menghapuskan Uni Indonesia-Belanda. Namun, masa kepemimpinannya tidak berlangsung lama. Kabinetnya menghadapi berbagai tantangan, termasuk ketegangan dalam Angkatan Udara dan perbedaan pandangan politik dengan Nahdlatul Ulama (NU). Akhirnya, kabinetnya jatuh pada 24 Maret 1956 setelah NU menarik dukungannya. Setelah tidak lagi menjabat sebagai perdana menteri, Burhanuddin sempat menghadapi tuduhan keterlibatan dalam Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), yang menyebabkan ia ditangkap dan dipenjara sejak Maret 1962 hingga tahun 1966.

Setelah bebas dari penjara, Burhanuddin memilih untuk menjauh dari dunia politik dan lebih banyak berkegiatan di bidang dakwah. Ia menjadi salah satu tokoh yang berperan dalam pembentukan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia pada tahun 1967. Selain itu, ia juga sempat terjun ke dunia jurnalistik sebagai Pemimpin Umum harian “Abadi” sebelum akhirnya surat kabar tersebut diberangus dalam peristiwa Malari (Pusat Data dan Analisa Tempo, Perdana Menteri Tanpa Dasi, 2020: 17)

Di masa tuanya, Burhanuddin Harahap menjalani kehidupan yang sederhana bersama keluarganya di Jakarta. Ia menikah dengan Siti Bariyah, seorang wanita asal Yogyakarta, dan memiliki dua anak. Meskipun tidak lagi aktif dalam politik, ia tetap dikenal sebagai sosok yang berprinsip dan berkontribusi dalam berbagai kegiatan sosial serta keagamaan.

Burhanuddin Harahap meninggal dunia pada 14 Juni 1987 di RS Harapan Kita, Jakarta, akibat serangan jantung. Jenazahnya dimakamkan di TPU Tanah Kusir dengan dihadiri oleh berbagai tokoh nasional. Warisan perjuangannya dalam politik dan dakwah tetap dikenang sebagai bagian dari sejarah Indonesia, terutama dalam perannya sebagai perdana menteri yang berhasil menyelenggarakan pemilu pertama di tanah air (Majalah Suara Muhammadiyah, 14-67-1987).

*****

            Dari kehidupan Burhanuddin Harahap banyak sekali pengabdian dan keteladanan yang menginspirasi para pemimpin dan umat. Abdullah Hehamahua dalam buku “Cinderamata Perjuangan, Mengenal Tokoh-Tokoh Masyumi” (2023: 110-133) menceritakan pengalaman-pengalaman menarik saat membersamai beliau di Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII). Berikut ini di antara contohnya.

            Pertama, Kejujuran dan Integritas dalam Kepemimpinan. Abdullah mengagumi prinsip Burhanuddin yang menolak jabatan Perdana Menteri pada awalnya karena merasa kondisi ekonomi negara sangat buruk dan masih terlalu muda sekaligus masih banyak senior Masyumi yang lebih berhak. Namun, setelah DPP Masyumi menerima tawaran tersebut, ia akhirnya menerima amanah itu dengan penuh tanggung jawab.

Dalam percakapan dengan Abdullah Hehamahua, Burhanuddin pernah berkata, “Sejatinya, saya tidak mau jadi Perdana Menteri,”  namun, H. Agus Salim meyakinkannya dengan kisah Usamah bin Zaid, seorang panglima perang Islam berusia 18 tahun yang dipercaya Rasulullah Saw untuk memimpin pasukan besar melawan Romawi Timur. Meski beberapa sahabat meragukan keputusan itu, Nabi Muhammad Saw menegaskan kepemimpinan Usamah yang tangguh, seperti ayahnya, Zaid bin Haritsah.

Terinspirasi oleh kisah tersebut, Burhanuddin akhirnya menerima amanah sebagai Perdana Menteri. Beliau menyadari bahwa kepemimpinan bukan tentang usia, tetapi tentang kesiapan dan kemampuan seseorang dalam menjalankan tanggung jawab besar untuk bangsa dan negara.

Kedua, Ketegasan dalam Menegakkan Keadilan. Salah satu kebijakan penting yang diambil Burhanuddin adalah pemberantasan korupsi. Ia berusaha menerapkan Undang-Undang yang mewajibkan pejabat menjelaskan asal-usul hartanya. Abdullah mengenang bagaimana Burhanuddin menggunakan Polisi Militer untuk menangkap pejabat yang korup, termasuk mantan Menteri Kehakiman, Djodi Gondokusumo. “Maklum, ada pejabat dari parpol tersebut yang terlibat korupsi,” kenang Burhanuddin dalam percakapan mereka.

Ketiga, Kesederhanaan dalam Kehidupan Sehari-hari. Meskipun pernah menjabat sebagai Perdana Menteri, Burhanuddin tetap hidup sederhana. Abdullah yang berbagi ruang kerja dengannya selama bertahun-tahun menyaksikan bagaimana Burhanuddin tidak pernah memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi.  Bahkan, jauh sebelum itu, kesederhanaanya sudah tercermin dengan jelas sejak awal menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia.

Kesederhanaannya—sebagaimana disebutkan dalam buku “Melihat Pembentukan Dewan Da’wah” (2020)—terlihat jelas ketika ia dilantik sebagai Perdana Menteri pada tahun 1955. Saat itu, ia tidak memiliki dasi untuk menghadiri acara resmi. Ajudannya pun terpaksa membeli dasi di Pasar Senen agar ia bisa tampil sesuai protokol. Sikapnya ini mencerminkan bahwa ia bukanlah pemimpin yang mementingkan kemewahan, melainkan lebih fokus pada tugas dan tanggung jawabnya dalam memimpin negara.

Selain itu, kesederhanaan Burhanuddin Harahap juga tercermin dalam gaya hidupnya sehari-hari. Ia lebih memilih mengenakan pakaian dari bahan murah seperti drill, karena menurutnya kain tersebut lebih tahan lama dan praktis. Bahkan, di masa kepemimpinannya, Indonesia mengalami kestabilan harga dalam perekonomian, menunjukkan bahwa ia lebih mengutamakan kesejahteraan rakyat daripada kepentingan pribadi. Sikapnya yang tidak suka menonjolkan diri dan lebih mengedepankan prinsip kerja keras menjadikannya salah satu pemimpin yang patut diteladani dalam sejarah Indonesia.

Keempat, Istiqamah Menjaga Kesucian dan Ibadah. Selama membersamai Burhanuddin di DDII, Abdullah Hehamahua mendapatinya selalu dalam keadaan berwudhu sejak dari rumah hingga waktu shalat dzuhur, seperti yang dilakukan oleh Bilal bin Rabah. Abdullah bercerita: “Selama dua tahun bersama Pak Bur di dalam satu ruangan kerja, saya tidak melihat beliau ambil air wudhu. Bahkan, ketika saya sudah berkantor di gedung LIPPM, Cikini Raya, sekalipun masih tetap sebagai sekretarisnya, tidak kulihat Pak Bur mengambil wudhu untuk shalat Dzuhur.” (2023: 121).

Kelima, Kepedulian terhadap Rakyat. Burhanuddin menunjukkan kepeduliannya terhadap rakyat dengan membagikan kain belacu kepada masyarakat, sebuah kebijakan yang terinspirasi dari Khalifah Umar bin Khattab Ra. Dalam buku “Membedah Keberagaman Umat Islam Indonesia Menuju Masyarakat Madani” (2016: 228), Abdullah mencatat, “Pada masa parlementer ketika kabinet dipimpin oleh Burhanuddin Harahap yang berasal dari Partai Masyumi, pada waktu itu seluruh rakyat dibagikan kain belacu secara gratis”.

Ketika ditanya oleh Abdullah Hehamahua mengenai hal ini, Burhanuddin menjawab “Saya teringat Khalifah Umar,” saat menjelaskan alasan di balik kebijakan tersebut. Ia ingin memastikan bahwa setiap Muslim memiliki pakaian yang layak untuk beribadah dan menutup aurat. Ini adalah cermin nyata betapa kepeduliannya melampaui kepentingan pribadi.

Keenam, Keteladanan dalam Menjaga Amanah. Abdullah menyaksikan bagaimana Burhanuddin mengembalikan mandat sebagai Perdana Menteri setelah berhasil menyelenggarakan Pemilu 1955. Ketika Abdullah bertanya mengapa ia mundur padahal Masyumi memenangkan 10 dari 14 daerah pemilihan, Burhanuddin menjawab, “Saudara Abdullah, Masyumi itu partai Islam ideologis. Punya akhlak dalam berpolitik. Saya diberi mandat untuk melaksanakan Pemilu. Sudah terlaksana, maka tugasku selesai.” (2023: 133) Jawaban ini menunjukkan bahwa Burhanuddin tidak haus kekuasaan dan hanya ingin menjalankan amanah dengan baik.

Ketujuh, Pemimpin yang Demokratis dan Tak Pendendam. Ini diceritakan oleh Tokoh Masyumi dan DDII Anwar Harjono dalam pendahuluan buku “Boerhanoeddin Harahap Pilar Demokrasi” (Badruzzaman Busyairi, 1989: vii) bahwa sejak 1948, Burhanuddin Harahap telah dipercaya oleh Partai Masyumi untuk mendalami pemilihan umum. Keahliannya menjadikannya tokoh utama dalam penyelenggaraan Pemilu 1955, yang dikenal sebagai pemilu paling demokratis di Indonesia. Meskipun Undang-Undang pemilu dirancang oleh kabinet sebelumnya, Burhanuddin menjalankannya dengan transparan dan adil, memastikan semua pihak mendapat kesempatan yang sama.

Menariknya, ketika kabinetnya menggantikan pemerintahan sebelumnya, ia tetap mempertahankan perwakilan partai oposisi dalam panitia pemilu, meski sebelumnya Masyumi sempat dikeluarkan dari kepanitiaan. Sikapnya yang tidak dendam dan tetap demokratis menunjukkan integritasnya sebagai pemimpin, menjadikan Pemilu 1955 sebagai tonggak penting dalam sejarah demokrasi Indonesia. Terkait hal ini Anwar Harjono memberi kesaksian, “Di sini, sikap dasar Pak Bur, Perdana Menteri, terlihat jelas, ia tidak memiliki keinginan balas dendam dan tetap demokratis.

Sebenarnya masih banyak sekali pengabdian dan keteladanan yang bisa diambil dari hayat beliau, namun beberapa fakta sejarah itu sudah cukup membuktikan bahwa Burhanuddin Harahap adalah sosok pemimpin teladan yang bisa jadi inspirasi umat. Abdullah Hehamahua yang pernah lama bekerja bersamanya menyaksikan langsung bagaimana prinsip dan nilai-nilai Islam selalu menjadi pedoman dalam setiap keputusan dan tindakannya.

Apa yang telah dilakukannya benar-benar menggambarkan pepatah luhur Arab, “Bahasa keteladanan jauh lebih fasih daripada sekadar perkataan.” Sebelum mengajak dan berbicara, beliau terlebih dahulu memberi keteladanan terbaik kepada publik. Beliau melakukan semua ini, salah satu inspirasinya adalah Umar bin Khattab Ra. Katanya suatu hari kepada Abdullah Hehamahua, “Saya tidak sekaliber Umar bin Khattab. Namun, saya berusaha seberapa mungkin menirunya.” []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *