Bentuk-Bentuk Serangan Terhadap Al-Qur’an (1)

Ulama Hadits tentu tidak berdiam diri dalam masalah ini, karena sejak dulu mereka memang telah memberi sumbangan besar dalam menjaga keutuhan al-Qur’an.Pengaruh serangan melalui riwayat ini tidak akan mampu merusakkan Mushaf Utsmani, karena mushaf ini disandarkan kepada riwayat mutawatir.

Pengaruh paling jauh melalui jalan ini adalah semata-mata naiknya kedudukan riwayat syadh (menyimpang) ke taraf riwayat ahad, itupun harus dengan syarat tidak bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an Mushaf Utsmani. Katakanlah usaha ini berhasil, fungsi yang paling tinggi dari riwayat itu hanyalah sebagai pembantu tafsir Mushaf Utsmani, dan belum tentu diterima oleh ijma‘ sebagai salah satu bacaan Mushaf Utsmani. Jadi sebenarnya serangan terhadap Mushaf Utsmani melalui jalan riwayat memakan terlalu banyak tenaga, tetapi pengaruhnya tidak seberapa. Alford T. Welch yang menulis mengenai al-Qur’an dalam Encyclopaedia of Islam menyatakan keputus-asaan para pengkaji Barat itu terhadap berbagai riwayat mengenai bacaan-bacaan yang mereka telah kumpulkan sekian lama tetapi kemudian mereka sendiri tidak mendapat apa-apa manfaat untuk kajian mereka. Ia mengatakan: Western scholarship has not reached a consensus on what value this mass of allegedly pre-Utsmanic variants has for our knowledge of the history of the Kur’an. Confidence in the variants declined during the 1930s as they were being collected and analysed.( A. T. Welch, “al-Kur’an,” di Encyclopaedia of Islam, 5: 407b.)

Apabila mereka berputus asa untuk meruntuhkan al-Qur’an melalui jalan riwayat yang dijaga ketat terutama oleh para Ulama Hadis, para Orientalis itu lantas menjadi semakin marah, kemudian dengan serta merta mereka menuduh pula bahwa riwayat-riwayat hadis itulah kesemuanya yang dibuat-buat oleh para ulama Islam. Welch menyatakannya:Recently J. Burton . . . and J. Wansbrough . . . . have concluded that, not just some, but all of the accounts about Companion codices, metropolitan codices, and individual variants were fabricated by later Muslim jurists and philologers. (A. T. Welch, “al-Kur’an,” di Encyclopaedia of Islam, 5: 407b.)

Begitulah sikap mereka, apabila gagal menyerang al-Qur’an, maka Hadis yang menjadi sasaran mereka. Apabila gagal menyerang Hadis, maka fikih dan bahkan ilmu kalam yang mereka hantam. Dan apabila mereka gagal menghantam fikih dan kalam, sejarah Islam yang luas dan panjang itu pula yang mereka buru. Kaum Orientalis tidak akan berhenti menyerang sumber-sumber Islam, baik secara halus atau terang-terangan sehingga agama Islam menerima nasib yang sama seperti agama mereka.

Beralih kepada bentuk-bentuk serangan terhadap sumber utama Islam, bentuk serangan kedua yang mereka lancarkan adalah melalui penemuan-penemuan manuskrip, seperti yang dilakukan oleh Gerd R. Puin baru-baru ini. Ia telah menemukan mushaf tua di Yaman yang kononnya mengandung qira’ah yang lebih awal dari Qira’ah Tujuh yang terkandung dalam Mushaf Utsmani, walaupun mushaf itu tidak lengkap dan sangat berbeda dengan Mushaf Utsmani. Tujuan dari tuduhan itu adalah agar umat Islam yang membaca tulisannya menjadi keliru dan ragu dan seterusnya menganggap bahwa al-Qur’an pada zaman Sahabat itu bertentangan antara satu sama lain. Memang benar bahwa serangan melalui manuskrip lama ini lebih canggih dibandingkan dengan serangan semata-mata melalui riwayat. Oleh sebab itu ketiadaan manuskrip yang mereka inginkan di tangan mereka dianggap sebagai tidak membantu, bahkan menghambat, kepada tujuan kajian mereka. Welch menyatakan hal itu secara jelas: In addition to the usual difficulties of evaluating Muslim sources that were regulated by the science of hadits, the task of reconstructing the history of the Kur’an is further complicated by the fact that the classical literature records tsousands of textual variants, which, however, are not found in any extant manuscripts known to Western scholars. (A. T. Welch, “al-Kur’an,” di Encyclopaedia of Islam, 5: 404b)

Oleh karena itu, Puin kononnya ingin mengemukakan bukti bahwa riwayat-riwayat yang bertentangan dengan Mushaf Utsmani itu bukan sekadar pemberitaan, tetapi ada faktanya. Dengan modal penemuan manuskrip Sana’a di Yaman itu, Puin merasa bahwa serangannya terhadap Mushaf Utsmani lebih ampuh daripada melalui periwayatan yang merupakan jalan mati bagi para Orientalis yang menggeluti bidang al-Qur’an. Memang wajar bagi pengkaji Barat yang berlatar-belakang tradisi Ahlul Kitab, Yahudi dan Kristen, untuk kini melirik kepada manuskrip sebagai senjata utama mereka, karena memang masalah agama mereka itu bersumber pada kitab suci mereka sendiri. Mereka ingin agar nasib al-Qur’an seperti nasib Taurat dan Injil. Mereka mau agar kita juga masuk dalam kelompok Ahlul Kitab! Maha Benar Allah, dengan firman-Nya dalam al-Qur’an:

Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti millah mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar).” Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemahuan mereka setelah ilmu datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. (Al-Baqarah: 120)

Kaum Muslimin tidak perlu terlalu bimbang dengan serangan baru melalui manuskrip ini, karena penilaian terhadap manuskrip itu pada dasarnya sama saja dengan penilaian terhadap riwayat-riwayat hadis. Kesahihan manuskrip tentu akan menjadi isu utama, sebagaimana sebuah hadis yang apabila dari segi isnadnya nampak sah, tetapi pengertian matannya bertentangan dengan hadis-hadis yang lebih kuat derajat kesahihannya, maka hadis tersebut dianggap sebagai syadh (menyimpang). Begitu pula nilai sebuah manuskrip al-Qur’an dan qira’ah-nya yang ditemukan. Puin mengklaim bahwa manuskrip Sana’a itu lebih tua dari sistem qira’ah tujuh atau sepuluh, yang telah diakui mutawatir atau masyhur  oleh para ulama Islam, hanya semata-mata dengan membandingkan bahwa manuskrip itu mengandungi qira’ah yang lebih banyak daripada qira’ah tujuh, sepuluh, atau empat belas seperti mana yang disebutkan dalam Mu‘jam al-Qira’at al-Qur’aniyyah.

Kita ingin mengatakan kepada Puin bahwa banyaknya qira’ah yang terdapat dalam manuskrip itu tidak mesti sahih. Karena apabila ia telah keluar dari qira’ah 14 yang memuatkan bacaan ahad, bisa jadi bacaan-bacaan yang banyak itu hanyalah merupakan bacaan yang bernilai syadh (ganjil; menyimpang) ataupun mawdhu‘ (palsu). Bacaan-bacaan yang dikategorikan bernilai dha‘if (lemah) seperti itu bisa jadi merupakan suatu kesalahan-kesalahan tulisan dalam manuskrip al-Qur’an yang diistilahkan sebagai ‘tashif’, yang ditulis secara sendirian oleh para penulis manuskrip yang mungkin dalam keadaan mengantuk, letih, tidak profesional, dan lain-lain. Perlu disebutkan bahwa asal al-Qur’an adalah bacaan (qira’ah) yang diperdengarkan, barulah tulisan (rasm) mengikutinya. Prinsip yang disepakati adalah al-rasm tabi‘ li al-riwayah (tulisan teks mengikuti periwayatan). Oleh karena itu, faktor periwayatan dari mulut ke mulut sangatlah penting. Hal itu telah dilakukan oleh para sarjana dan penghafal al-Qur’an yang mempunyai otoritas ilmiah. Tetapi para Orientalis ingin menyodorkan pemikiran mereka yang serong dan menyeleweng dengan mengatakan bahwa bacaan al-Qur’an mestilah mengikuti teks tulisan (rasm), sekalipun tulisan itu salah. Wajarlah apabila nenek moyang mereka yang Ahlul Kitab itu tersesat sejak dulu, karena mereka hanya berpegang dengan teks tulisan dan telah kehilangan isnad dan sandaran yang kukuh dalam periwayatan kitab suci mereka. Mungkin sebab itulah juga mereka dipanggil Ahlul Kitab, karena mereka itu memang, seperti kata Prof. Naquib al-Attas, “bookish.”

Para ulama Islam, pertama-tama, telah membuat perbedaan antara al-Qur’an dengan qira’ah. Al-Qur’an adalah bacaan mutawatir yang diterima oleh keseluruhan umat Islam, dibaca dalam salat, dan menolak bacaan itu adalah kufur. Sedangkan pada qira’ah tidak demikian. Kemudiannya, para ulama pula telah meletakkan syarat-syarat penerimaan qira’ah. Pembagian qira’ah yang kita sebutkan di atas menunjukkan kategori penerimaan dan penolakan terhadap sesuatu qira’ah. Jadi tidak semua qira’ah dapat diterima. Selanjutnya, kalaupun diterima, belum tentu bacaan itu dibenarkan untuk dibaca dalam salat. Dan hal ini tidak berarti qira’ah tersebut sia-sia, karena fungsi bacaan itu masih bisa membantu dalam ilmu tafsir. Oleh sebab itu penemuan Puin mengenai kononnya terdapat banyak qira’ah dalam manuskrip itu mungkin termasuk sekali qira’ah-qira’ah yang dha’if yang tidak akan diterima para ulama.

Agaknya Puin tidak begitu mengindahkan tiga rukun utama yang mesti dipenuhi agar suatu qira’ah itu bisa diterima. Rukun-rukun yang telah disepakati itu adalah; pertama, qira’ah mestilah sesuai dengan tata bahasa Arab, walaupun itu hanya dari satu pengertian (wajh); kedua, qira’ah mesti juga sesuai dengan salah satu dari Mushaf Utsmani, walaupun itu hanya dari segi kemungkinannya (ihtimal); dan yang ketiga, qira’ah juga mesti sah sanad periwayatannya. Apabila salah satu rukun itu tidak terpenuhi, maka qira’ah tadi dianggap dha‘if (lemah), syadh (ganjil), atau batil. Menurut Ibnu al-Jazari, ketentuan yang sedemikian itu adalah “sahih di sisi para pengesah (tahqiq) baik di kalangan ulama salaf (ulama di kurun awal) ataupun khalaf (ulama yang terkemudian).” Uraian terperinci terhadap ketiga rukun itu terdapat dalam kajian Ulum al-Qur’an.

Tujuan utama penggunaan manuskrip lama oleh para orientalis adalah untuk mencabut dan seterusnya menghapuskan ketiga rukun di atas untuk kemudian memberikan alternatif dan definisi baru bagi penerimaan qira’ah. Definisi baru itu adalah: mana-mana bacaan yang ditemukan dalam manuskrip lama adalah bacaan yang diterima. Usulan definisi ini, yang sebenarnya mempunyai dasar pemikiran tersendiri, dan telah diawali oleh Ignaz Goldziher, seorang Orientalis dari Hungaria, yang mengatakan bahwa banyaknya qira’ah itu bersumber dari tulisan al-Qur’an (rasm) yang asalnya tidak mempunyai titik (naqt) dan baris (syakl atau harakah). Jadi, menurutnya qira’ah itu dasarnya adalah rasm. Para ulama Islam pula yang tahu persis mengenai sejarah al-Qur’an, yang melalui kitab-kitab merekalah Goldziher mendapat pengetahuan, dari dulu telah bersepakat bahwa qira’ah itu dasarnya adalah riwayat, karena memang begitulah al-Qur’an itu disampaikan dari Rasulullah (SAW) kepada para Sahabat dan seterusnya kepada umat ini. Tetapi Goldziher memang sengaja membelakangi kesepakatan para ulama Islam yang menjadi referensinya karena ingin membuka peluang bagi penemuan-penemuan manuskrip lama yang nantinya akan menjatuhkan otoritas Mushaf Utsmani, dan nyata sekali peluang pemikiran ini telah diambil oleh Puin.

Kalaulah benar tuduhan Goldziher itu, sudahlah tentu tidak ada lagi Qira’ah Tujuh, Sepuluh, atau Empat Belas yang kita sebutkan sebelum ini. Dan sudah tentu terlalu banyak qira’ah yang beredar dan diakui dari dulu hingga kini, termasuklah qira’ah yang tidak sabit dari Rasulullah (s.a.w.). Akan tetapi hakekat yang sebenarnya menyalahi cara melihat sejarah al-Qur’an à la Goldziher. Padahal sejarah al-Qur’an juga mengisyaratkan bahwa hikmah di sebalik Khalifah Utsman meniadakan titik dan baris bagi mushafnya adalah supaya mushaf itu memungkinkan (ihtimal) bacaan-bacaan lain yang bersumber dari Rasulullah (s.a.w.) juga. Jadi apabila ada satu bacaan yang mungkin terkandung dalam, dan sesuai dengan, Mushaf Utsmani tetapi tidak diriwayatkan dari Rasulullah (s.a.w.), maka bacaan itu ditolak oleh para ulama Islam.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *