Sebagaimana biasanya, saya seringkali menyelipkan buku atau print out artikel-artikel tertentu kedalam tas yang saya bawa ke kantor untuk saya baca saat memanfaatkan waktu luang menunggu kereta listrik (KRL) di stasiun, atau untuk dibaca di dalam KRL yang memakan waktu kurang lebih antara setengah hingga satu jam perjalanan dari stasiun dekat rumah kontrakan menuju kantor atau arah sebaliknya. Maklum, sebagai seorang pekerja kantoran (baca: kuli berkerah?) saya kehabisan banyak waktu untuk membaca, yang menjadi pelepas dahaga di tengah kebisingan hidup sebuah kota metropolitan.
Buku yang saya bawa kali ini adalah karya Ibn Qudamah Al-Maqdisi (w. 689) yang memiliki nama lengkap Ahmad ibn Abd al-Rahman ibn Muhamad ibn Ahmad ibn Qudamah Al-Maqdisi Al-Hanbali. Buku ini merupakan ringkasan dari buku Minhāj al-Qāshidin-nya Ibn Al-Jauzi (w. 597). Buku Ibn al-Jauzi sendiri juga merupakan ringkasan dari masterpiece-nya Abū Hāmid al-Ghazali (w.505) yang berjudul Ihyā Ulūmiddin. Di Indonesia sudah banyak bertebaran terjemahan buku Muhktashar Minhāj al-Qāsidin milik Ibn Qudamah Al-Maqdisi ini. Sayangnya orang sering tidak menyadari bahwa buku tersebut adalah sari pati dari Ihya-nya Al-Ghazali. Atau orang terkadang juga keliru menyebut buku Ibn Qudamah ini dengan sebutan Minhāj al-Qāshidin saja.
Kitab Ihya sendiri meski mendapat pujian cukup luas dan dijadikan referensi utama oleh berbagai kalangan di seluruh dunia, pun tidak sepi dari kritik dan hujatan pedas khususnya oleh ulama dari wilayah Maghrib `Arabi (Arab wilayah barat). Abu `Abdillah Muhamad ibn ‘Ali al-Māziri al-Siqilly (dari Sicilia, Italia) adalah satu contoh nama yang mengkritik keras buku Al-Ghazali tersebut. Diriwayatkan pula bahwa sejumlah ulama di Andalusia dulu bahkan pernah memerintahkan pembakaran naskah-naskah kitab Ihya. Untuk zaman kini, kalangan yang “menolak” kitab Ihya kebanyakan dari kelompok Ahl al-Hadits (atau Salafiyyun).
Namun Ihya ditangan Ibn Al-Jauzi bernasib “cukup baik”. Ibn Al-Jauzi yang juga dikenal keras mengkritik Ihya, dapat menempatkan kritikan-kritikan beliau pada tempatnya. Mengkritik tidak berarti membuang jauh-jauh apa yang dikritik. Dari buku Ihya yang dikritiknya, justru lahir karya ilmiah lain berupa Minhāj al-Qāshidin dengan membuang hadits-hadits batil dan bagian-bagian yang dianggap tidak bermanfaat yang terdapat dalam Ihya-nya Al-Ghazali. Ibn Qudamah al-Maqdisi kemudian meneruskan semangat Ibn Al-Jauzi, meringkasnya kembali dalam wujud buku yang sedang menjadi topik kita kali ini. Kerja Ibn Al-Jauzi dan Al-Maqdisi ini lebih tepatnya disebut sebagai tahdzib yang bisa berarti meringkas, mengurangi, menambahi, mengoreksi ataupun merubah seperlunya laiknya seorang editor.
Walhasil, pelajaran besarnya yang ingin saya katakan bahwa salah satu prinsip ilmiah dalam memperlakukan ide-ide maupun gagasan dari “luar” atau orang lain adalah dengan cara menempatkan ide tersebut pada tempatnya secara proporsional. Jangan sampai jatuh pada generalisasi yang membodohi. Akhdzu mā shofa, wa tarku mā kadar (mengambil yang jernih, dan membuang yang kotor), demikian pendahulu kita mengajarkan.