Ibarat Aur dan Tebing
Siapa yang pernah menelusuri sejarah orientalisme pasti dapat mengesan pertautan orientalis dengan proyek penaklukan bangsa-bangsa Timur. Bahwa para ahli ketimuran itu bahu-membahu dengan politisi dan penguasa, bekerja sama melicinkan jalan penjajahan terhadap orang Islam. Secara langsung maupun tidak, mereka adalah pelakon-pelakon penting dalam drama kolonialisasi negeri-negeri Islam sejak dulu hingga sekarang. Kenyataan ini amatlah sukar dibantah, tetapi pada saat yang sama terasa begitu menyengat setiap kali diungkap karena pasti akan mengeret pembicara kepada apa yang diistilahkan Arkoun sebagai ‘tindakan menghakimi’ atau memvonis benar-salah (value judgements) dan menyeret yang bersangkutan ke dalam gelanggang ‘sabung pikiran’ (ideological disputes).
Sejarah mencatat bercokolnya penjajah Perancis pada abad ke-19 M di Mesir, Aljazair, Tunisia dan Maroko segera disokong pakar-pakar orientalis. Semenjak Napoleon menginjakan kakinya di bumi Fir’aun, sarjana-sarjana Perancis tak henti-henti melakukan penyelidikan terhadap bahasa, budaya dan pola pikir masyarakat Muslim. Hasil penelitian mereka secara teratur dimuat dalam Journal Asiatique sejak 1822, Bulletin de l’Institut Français d’Archéologie Orientale sejak 1901, dan Revue du Monde Musulman sejak 1906 hingga 1926 –sekadar menyebut beberapa contoh.
Berkenaan hukum dan fiqh Islam, orientalis Perancis yang tercatat paling awal menulis adalah M. Perron. Diterjemahkannya Mukhtashar Khalil, sebuah kitab rujukan mazhab Maliki yang masyhur dipakai di wilayah Afrika Utara. Kegiatan mereka mencapai titik puncaknya dengan kemunculan Revue Algérienne, Tunisienne et Marocaine de Législation et Jurisprudence, majalah berkala yang khas menyoroti masalah hukum dan perundang-undangan di wilayah jajahan Perancis tersebut.
Menyusul invasi mereka ke Libya (yang dengan gigih ditentang oleh Sidi Umar Mukhtar), orang-orang Itali tak ketinggalan menyelidiki Islam dan seluk-beluknya. Orientalis mereka dalam hal ini, Ignazio Guidi dan David Santillana, menggarap terjemah Mukhtashar tersebut ke dalam bahasa Itali.
Sementara itu di Spanyol, studi mengenai hukum Islam dipelopori oleh Pascual de Gayangos yang juga mulai dengan penerbitan kitab Isa ibn Jabir dengan judul Tratados de legislación musulmana pada tahun 1853. Karya ini bertujuan memenuhi keperluan kaum minoritas Muslim di Spanyol. Namun tak dinafikan terselipnya kepentingan kolonial mereka di Maroko dan Filipina. Kemudian didirikan pula oleh Pemerintah Spanyol sebuah lembaga penelitian bernama Escuelas de Estudios Arabes pada tahun 1931 di Madrid dan Granada yang terkenal melalui jurnalnya: al-Andalus.
Orientalis Belanda memokuskan kajian mereka pada fiqh mazhab Syafi’i yang dianut oleh mayoritas penduduk daerah jajahan mereka, yakni Afrika Selatan, Srilanka, Indonesia dan Suriname. “Bagi para pejabat kolonial, pengetahuan tentang sistem hukum Islam amat diperlukan. Oleh karenanya, pelajaran mengenai itu diselenggarakan di universitas Delft dan Leiden, tempat dimana para calon pegawai pemerintah dilatih.” Karya perdana muncul pada tahun 1874 dari Lodewijk W.C. van den Berg yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis pada 1896. Namun tokoh terpenting orientalis Belanda tentu saja adalah Christiaan Snouck Hurgronje. Dikenal produktif menulis, Hurgronje terjun langsung ke dalam, menyamar sebagai mu’allaf lantas bermukim di Mekkah untuk mempelajari tradisi dan mentalitas orang Islam, dan secara sadar terlibat dalam politik kolonial Belanda. Tak kalah penting sumbangan Claudius dan Michael de Goeje serta Theodor W. Juynboll. Disamping mempelajari bahasa dan adat istiadat bangsa ‘inlander’, orientalis Belanda juga mengumpulkan dan mengkaji karya tulis yang berpengaruh semisal matan Ghayatu al-Ikhtishar wa at-Taqrib karya Abu Syuja’ al-Isfahani (w. 593 H/1197 M) yang masyhur di kalangan pondok pesantren di Asia Tenggara.
Hal yang sama berlaku di kalangan orientalis Jerman. Lantaran mereka menduduki sebagian besar wilayah Afrika Timur (meliputi Zanzibar-Tanganyika alias Tanzania, Ruwanda, Burundi, Mozambik, Kamerun, Namibia, Gabon dan Togo) yang penduduknya kebanyakan bermazhab Syafi’i, maka studi orientalis Jerman pun diarahkan kesana. Hal ini ditegaskan G. Pfannmüller: “Da im Islam Deutsch-Ostafrikas die nach dem ImÁm al-SchÁfiÝÐ benannte Richtung der Gesetzentwicklung vorherrschend ist, hat der Verfasser die Gesetzeslehren dieser Schule zur Darstellung gebracht.” Sebagai contoh ditunjuknya karya-karya Eduard Sachau, seorang pakar yang cukup disegani, seputar sejarah hukum Islam dan hukum waris, yang diterbitkan Akademi Ilmu Pengetahuan Austria-Jerman antara tahun 1870 dan 1897, juga tulisan-tulisan Heinrich F. Wüstenfeld. Minat orientalis Jerman terhadap Islam yang mereka anggap ‘sebagai problem’ dan pertaliannya dengan misi imperialisme negara itu dibenarkan oleh Carl H. Becker, tokoh pengasas jurnal terkemuka Der Islam.
Tak jauh berbeda dengan tetangga mereka, orientalis Inggris berusaha menyelami sistem perundang-undangan Islam yang diamalkan warga India, Pakistan, Bangladesh, dan Malaya, disamping mendalami bahasa, alam pikir dan adat-istiadat mereka. Tokoh pionir dalam bidang ini antara lain Charles Hamilton yang pada tahun 1791 merampungkan terjemah kitab al-Hidayah karya al-Marghinani (w. 593 H/1197 M) ke bahasa Inggris, dan Sir William Jones yang menerjemahkan matan al-Sirajiyyah. Usaha itu diteruskan oleh Neil Benjamin Baillie, William H. MacNaghten, dan Sir Roland K. Wilson – yang pada gilirannya membidani lahirnya ‘sistem perundangan gado-gado’ bernama Anglo-Muhammadan Law.
Tiga Pendekatan
Ada tiga pendekatan yang lazim digunakan oleh orientalis dalam studi-studi mereka. Pertama, pendekatan filologis atau penelitian naskah. Tradisi memburu dokumen atau manuskrip kuno hasil tulisan tangan (bukan cetakan mesin) telah dimulai sejak zaman Renaissans Eropa sekitar abad ketigabelas Masehi. Orientalis yang menempuh jalan ini mengidentifikasi diri mereka sebagai ahli peradaban purba (classicist). Caranya bisa bermacam-macam: mulai dari teroka perpustakaan dan toko buku bekas hingga pergi menjelajahi kampung-kampung di pedalaman. Itulah yang dilakukan Edward Pococke di Syria, William Jones di India, Paul Kraus di Mesir, Hellmut Ritter di Turki, Henry Corbin di Iran, Hans Daiber di Yaman dan lain-lain.
Manuskrip yang telah diperoleh kemudian dipelajari, disunting (di-edit), diterjemahkan dan diterbitkan lengkap dengan catatan kritis berkenaan bahasa maupun isinya. Contohnya ialah karya orientalis Italia Eugenio Griffini yang menerbitkan ‘edisi kritis’ kumpulan fatwa seorang Imam Syi’ah dengan judul Corpus iuris di Zaid ibn Ali (VIII sec. Cr.) cetakan Milan, 1919. Atau Joseph Schacht yang mengedit kitab Ikhtilaf al-Fuqaha karya Imam at-Tabari (dicetak di Leiden tahun 1933); dan yang terbaru oleh Eric Chaumont juga edisi dan terjemah karya klasik Abu Ishaq as-Syirazi, kitab al-Luma’ fi ushul al-fiqh. Le Livre des Rais illuminant les fondaments de la compréhension de la Loi. Traité de théorie légale musulmane (Berkeley, 1999). Bagi kita umat Islam, pertanyaannya sekarang apakah hasil kajian orang-orang non-Muslim ini mesti, boleh, atau sebaiknya tidak perlu digubris.
Terkait erat dengan metode tersebut di atas adalah pendekatan historis atau kesejarahan. Dengan ini orientalis berupaya meletakkan teks dalam konteks. Pemahaman terhadap sejarah pemikiran, politik, sosial dan ekonomi dalam hubungannya dengan pengarang dan isi naskah yang sedang dibahas menjadi suatu keniscayaan. Pendekatan historis memadukan beberapa pendekatan sekaligus, yaitu kritik naskah (textual criticism), kritik narasumber karya tulis (literary atau source criticism), kritik ragam atau corak tulisan (form), kritik penyuntingan (redaction), dan kritik periwayatan (tradition/transmission criticism). Penerapan metode-metode ini dicontohkan dengan sempurna oleh Miklos Muranyi dalam bukunya: Ein altes Fragment medinensischer Jurisprudenz aus Qairawan, aus dem Kitab al-Hagg des Abd al-Aziz b. Abd Allah b. AbÐ Salama al-Magissun (st. 164/780-81) cetakan Stuttgart, 1985; artikel Harald Motzki, “Der Fiqh des Zuhri: die Quellenproblematik,” dalam jurnal Der Islam no.68 (1991), hlm. 1-44; dan Andreas Görke dalam disertasinya, Das Kitab al-Amwal des Abu Ubaid al-Qasim b. Sallam: Entstehung und Werküberlieferung (Univ. Hamburg, 2000).
Ketiga ialah pendekatan empiris. Pola penelitian sosiologi anthropologi ini sebenarnya telah lama dilakukan oleh ahli ketimuran Eropa di wilayah jajahan mereka masing-masing. Caranya dengan terjun langsung ke daerah yang hendak diselidiki, seperti dikerjakan Snouck Hurgronje selama beberapa bulan di Mekkah, Edward Lane di Mesir, atau Clifford Geertz antara tahun 1952-1955 di Jawa Timur. Inilah yang diistilahkan dengan perspective ethnograpique alias Ethnologie di Jerman dan Volkenkunde di Belanda. Tetapi di Amerika dan Australia khususnya penelitian lapangan ini merupakan reaksi terhadap orientalisme klasik yang dilihat terlalu mementingkan segi sejarah dan dokumen-dokumen atau teks saja, tanpa memperhatikan praktik masyarakat yang bersangkutan dalam kehidupan nyata. Berkenaan dengan Syari’at Islam, riset data lapangan ini dapat kita temukan, misalnya, dalam karya Daniel S. Lev, Islamic Courts in Indonesia (Berkeley, 1972), Henry Toledano, Ann E. Mayer, Property, Social Structure, and Law in the Modern Middle East, Anna Würth, Aš-Šari’a fi Bab al-Yaman: Recht, Richter und Rechtspraxis an der familienrechtlichen Kammer des Gerichts Süd-Sanaa, (Republik Jemen) 1983-1995 (Berlin, 2000).