Agama dan Sains: Relasi dan Implikasi

Oleh : Muhammad Kholid

Inpasonline.com-Umumnya orang menganggap bahwa science oleh Barat itu tidak bermasalah. Umat Islam kemudian berbondong-bondong untuk menerapkan science modern untuk membantu kehidupan kesehariannya, begitu pula para akademisi dan praktisi. Premisnya bahwa jika umat Islam ingin maju, maka solusi yang ditawarkan adalah dengan mengadopsi science secara total tanpa ada kritik. Hal ini berangkat dari anggapan bahwa science itu netral. Namun kemudian muncul pertanyaan, apakah science itu benar-benar netral, sehingga ia bersifat universal?

Adalah Syed Muhammad Naquib al-Attas yang pertama kali menggaungkan di dunia Islam bahwa ilmu itu tidak bebas nilai (value laden), melainkan ia syarat akan nilai (value free). Dalam buku beliau berjudul Risalah Untuk Kaum Muslimin menegaskan : “Kita harus mengetahui dan menyadari bahwa sebenarnya ilmu pengetahuan tidak bersifat netral, bahwa setiap kebudayaan memiliki pemahaman yang berbeda-beda mengenainya – meskipun di antaranya terdapat beberapa persamaan. Antara Islam dan kebudayaan Barat terbentang pemahaman yang berbeda mengenai ilmu, dan perbedaan itu beitu mendalam sehingga tidak bisa dipertemukan (Al-Attas,2001, hal. 61)

Ada tiga argument untuk membuktikan bahwa science Barat tidak netral. Pertama adalaha argument filosofis. Science modern saat ini sarat akan padangan alam (worldview) Barat. Dr. Budi Handrianto dalam bukunya Islamisasi Sains menyebutkan bahwa dunia pada abad sekarang ini menganut paham scientific worldview, sebuah cara pandang manusia yang didominasi oleh pandangan ilmu peradaban Barat. Yaitu sesuatu dianggap scientific apabila memenuhi dua hal yaitu empiris (dapat diindera) dan rasio (bisa diterima akal). Yang dianggap ilmu adalah sesuatu yang merujuk kepada pengenalan dan atau presepsi yang jelas tentang fakta  (knowledge denotes acquaintance with, or clear preseption of fact). Sedangkan yang dimaksud dengan fakta adalah hal-hal yang dapat ditangkap oleh indera, yakni bersifat empiris. Inilah yang dimaksud dengan positivism, sebuah paham yang dicetuskan oleh August Comte, bapak Sosiologi. Conte membagi fase perkembangan masyarakat menjadi tiga, yaitu fase teologis, metafisik, dan positivistik.

Yang dimaksud fase teologis adalah, akal manusia mengaggap fenomena dihasilkan oleh kekuatan ghaib (supranatural), sedangkan pada fase metafisik akal manusia menganggap fenomena alam dihasilkan oleh kekuatan abstrak atau entitas-entitas yang nyata, yang menggantikan kekuatan ghaib. Maka dalam fase positif, akal manusia menyadari bahwa tidak mungkin mencapai kebenaran mutlak. Dengan demikian, mereka menggunakan akal dan panca indera (reasoning and observation) untuk menangkap fenomena yanga ada. Dalam fase positivistik inilah agama yang syarat akan ajaran metafisik secara otomatis keluar dari ranah fenomena yang hanya dibatasai pada ada yang bisa diindera dan diterima akal.

Sebenarnya yang dimaksud netralitas dalam science adalah netral dari nilai-nilai agama. Tapi di sisi lain, ia sendiri tidak netral dari nilai-nilai filisofis (post)modernism Barat seperti sekulerisme, rasionalisme, empirisisme, positivisme, materialism dll. Nilai-nilai tersebut secara diametral bertentangan dengan nilai-nilai dalam agama Islam. Contoh sederhana bahwa sejak berkembangnya science Barat, muncul produksi kondom. Munculnya alat ini tentu dikarenakan pandangan alam Barat yang tidak mengenal akan konsep wahyu. Sehingga apapun yang denganya bisa mendapatkan pundi-pundi kekayaan, bisa diproduksi tanpa harus melihat nilai-nilai agama.

Harvey Cox sebagaiman dikutip oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam bukunya Islam and Secularism menjelaskan bahwa salah satu aspek dari sekulerisasi adalah disenchantment of nature, yaitu pengosongan nilai-nilai rohani dan agama dalam memandang alam semesta. Paham bahwa alam semesta ini tidak ada kaitannya dengan hal yang metafisik, sehingga eksploitasi besar-besaran terhadap alam adalah hal yang normal. Efeknya kemudian adanya berbagai macam krisis lingkungan seperti pemanasan global, kebakaran hutan, pencemaran lingkungan. Ini adalah buah dari cara pandangan bahwa alam adalah alam, tidak ada unsur metafisik (ma wara’a at-thobi’ah) dari alam tersebut. Maksudnya, alam dipahami pada tingkat fisik belaka, ia tidak dipahami sebagai manifestasi dari ciptaan Tuhan yang diamanahi kepada umat manusia untuk dikelola sesuai dengan landasan ajaran-Nya. Kerusakan alam ini selaras dengan pendapat W.F. Ogburn bahwa dampak buruk teknologi tidak bisa diantisipasi karena perkembangan teknologi tidak diiringi kebijakan dan perubahan kesadaran serta cara hidup (Ogburn, 1986).

Argumentasi kedua bahwa ilmu itu tidak netral adalah arguemntassi kultural. Bahwa kultural masing-masing bangsa berbeda antara satu dengan lainnya. Sehingga ada domestifikasi atau saling pinjam meminjam antar komunitas manusia yang disesuaikan dengan kultur masing-masing. Seperti contoh bahwa budaya masyarakat Barat menganggap hubungan seksual di luar pernikahan adalah sah, baik berupa cohabitation (kumpul kebo), promiscuity (pergaulan bebas), infidelity (perselingkuhan), hingga LGBTQ (lesbian, gay, biseksual, transgender, dan queer). Budaya ini tentu tidak bisa diterapkan dalam masyarakat umat lain yang menjung tinggi nilai moralitas ketimuran khususnya Islam. Begitu pula sebaliknya, bahwa dalam Islam ada syariat pembagian harta waris tidak bisa diterima dalam kebudayaan Barat karena dianggapnya bertentangan dengan konsep gender equality.

Argumentasi ketiga adalah argumentasi historis. Contohnya dalam teknologi robot, dalam sejarahnya robot pertama kali dibuat pada tahun 1920 di Ceko. Awalnya robot tersebut diperuntukkan sebagai pekerja paksa dalam dunia industri. Namun seiring berjalannya waktu, muncul industri robot pada tahun  1973 di Jepang, robot yang diproduksi di Jepang diperuntukkan untuk teman hidup bukan sebagai pekerja paksa. Contoh lain adalah dalam bidang pertanian. Seperti yang dijelaskan oleh Adi Setia dalam artikel berjudul Tiga Makna Sains Islam, semulanya istilah yang digunakan untuk pertanian adalah agriculture. Secara etimologi ia bermakna pengolahan tanah, namun istilha agriculture ini berkaitan erat dengan unsur kultur/budaya setempat berupa saling menghargai, timbal balik komunal dan kooperatif, bukan kompetitif. Kemudian berkembang istilah lain yakni agribusiness, yaitu sebuah sistem yang memaksa tirani korporat untuk memaksimalkan keuntungan dan menekankan biaya, menjadikan petani/penduduk lokal yang dahulu punya harga diri dan mandiri lalu berubah menjadi buruh upahan di tanah sendiri.

Dengan tiga argumentasi tadi (aspek filosofis, kultural dan historis), kita bisa menyimpulkan bahwa ilmu tidaklah bebas nilai, melainkan sarat nilai. Jadi yang dimaksud ilmu tidak netral adalah padangan alam manusianya, bukan objek ilmu pengetahuan yang berada di luar manusia yang hanya berupa fakta dan informasi.  Thomas Kuhn menegaskan bahwa setiap ilmu memiliki kepercayaan dasar (basic belief) yang mempengaruhi seorang ilmuwan dalam melakukan penelitian ilmiahnya. Kuhn menyebutkan ada ada enam pandangan alam yang mempengaruhi seorang ilmuan, yaitu 1). Tuhan, 2) Ilmu, 3) Realitas, 4) Diri, 5)Etika, dan 6)Masyarakat. Enam pandangan alam inilah yang mempengaruhi sifat ilmu seseorang. Diantara enam aspek paradigma tersebut, kepercayaan kepad Tuhan-lah yang paling penting dan mempengaruhi lima kepercayaan dasar lainnya. Kuhn menjelaskan :

It (belief in God’s existence) is very important, perhaps the most important element in any worldview. First if we do believe that God exists, then we are more likely to believe that there is a plan and a meaning of life, ….if we are consistent, we will also believe that the source of moral value is not just human convention but divine will and that God is the highest value. Moreover, we will have to believe that knowledge can be of more than what is observable and that there is a higher reality – the supernatural world ….if on the other hand, we believe that there is no God and that there is just this one world, what would we then be likely to believe about the meaning of life, the nature of ourselves, and after life, the origin of moral standards, freedom and responsibility and so on.

 

RELASI AGAMAN DAN SAINS

 

Pemahaman bahwa ilmu itu tidak netral malainka sarat akan nilai akan pandangan alam seorang ilmuwan sangat diperlukan untuk memahami relasi antara agama dan sains. Sebab jika tidak, seorang muslim akan mengambil science Barat secara total tanpa filterisasi terlebih dahulu. Seperti yang terjadi pada beberapa kalangan yang disebut Dr. Budi Handrianto sebagai golongan instrumentalistik dan justifikasi. Kalangan insturmentalistik beranggapan bahwa umat Islam saat ini sedang terpuruk, sehingga agar bisa maju dari ketertinggalan, umat Islam perlu belajar science barat. Golongan ini menganggap bahwa science hanyalah alat (instrument) bukan tujuan itu sendiri.

Kalangan instrumentalistik inilah yang banyak digemari oleh umat Islam saat ini, khususnya di Timur Tengah. Negar-negara di Timur Tengah sekarang sedang berlomba-lomba membangun gedung-gedung pencakar langit, melakukan modernisasi kota, hingga penyerapan budaya Barat. Yang paling mutakhir adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh Putra Mahkota Saudi Arabia, Muhammad bin Salman dengan programnya Visi Saudi Arabia 2030. Kebijakan-kebijakan yang menurut pemerintahan Saudi Arabia mempelambat upaya modernisasi dihapuskan, budaya-budaya Barat juga secara intens disemarkkan untuk mengaet investor dari luar Saudi Arabia.

Sikap seperti inilah yang dikriitk oleh Ali A. Allawi. Menutunya “Islam telah terpecah berkeping-keping dan digantikan secara menyeluruh oleh ungkapan-ungkapan modernitas yang tidak sempurna, atau oleh suatu peniruan sentimental dan berkaitan tipis dengan berbagai keagungan sejarah Islam” (Allawi, 2015 : 370). Allawi menyebutnya dengan ‘robeknya tenunan peradaban Islam. Mereka lebih fokus pada aspek dhahir dari science modern Barat dan melupakan aspek bathinnya yang cenderung merusak. Dalam pandangan Islam, kemajuan tidak hanya berfokus pada aspek luaran berupa sosial dan politik, tapi lebih kepada aspek bathiniah yang berisikan kesadaran moral dan spiritual. Landasan etis inilah yang kemudian ditinggalkan oleh umat Islam dalam membangun kota-kota modern.

Allawi mengkritik pengambilalihan teknologi dengan menyatakan bahwa “Komersialisme yang merajalela, penyembahan merek, kelebihan berat badan, segregasi kelas yang sangat tajam, dan kalender yang dipenuhi festival yang dirancang para pelaku pemasaran, semua itu berpadu menciptakan mimpi buruk tentang kota, suatu visi yang secara menyeluruh bertentangan dengan cita-cita kota Islam” (Allawi, 2015 : 392). Allawi mencontohkan secara eksplisit kota Dubai. Kota ini untuk saat ini mungkin menjadi model percontohan model pembangunan kota kontemporer di Dunia islam.

Menurut Allawi, kota ini dibangun dengan asas ekslusivitas, isolasi dan ketakutan. Ekslusif maksudnya bahwa kemegahan dan kemewahan kota ini hanya diperuntukkan untuk orang kelas menengah ke atas, kota ini mengisolasi dari kesederhanaan dalam kumpulan masyarakat muslim. Kota ini juga dibangun atas landasan ketakutan dan rasa khawatir bahwa kemodernan kota Dubai bisa tertandingi oleh kota-kota lain. Sehingga para pakar teknologi dikerahkan untuk berusaha mendesign kota ini semutakhir mungkin. Sehingga usaha untuk memelihara bangunan dan situs suci dalam lingkaran kota terkalahkan oleh usaha untuk mengejar kemegahan dan kemewahan yang hakekatnya adalah kapitalisasi kota. Allawi juga menyinggung pembangunan menara-menara Babel modern yang agresif sebagai bentuk penghinaan terhadap norma Islam (Allawi, 2015, 398).

Senada dengan Allawi, Malik Bennabi juga mengkritik upaya teknologisasi masyarakat muslim yang tidak didahului upaya kritis. Fase dimana gagasan ditunjukkan untuk transformasi benda ini menandakan kualitas manusia telah didominasi rasio maupun naluri dengan meninggalkan spriritualitas agama. Ia mengatakan bahwa “peradaban Islam yang berasaskan Tauhid tidak dapat dibangun dengan cara mengumpulkan benda-benda (Malik Bennabi, 1994). Dalam pemikiran Malik Bennabi, peradaban yang sesuai dengan fitra manusia ialah segala ditunjukkan untuk mentranformasi manusia dengan asas spiritualitas.

Usaha lain untuk menselaraskan agama dan sains datang dari kelompok pengusung gagasan ‘justifikasi”. Ziauddin Sardar menyebut kelompok ini sebagai ‘bucaillisme’. Merujuk kepada tokoh Maurice Bucaille, seorang ahli bedah dan menjadi Direktur Klinik Bedah di Universitas Paris. Kelompok ini berusaha untuk membuktikan bahwa fakta-fakta science tidaklah bertentangan dengan al-Qur’an (begitu pula hadist). Sehingga upaya yang dilakukan adalah justifikasi atas kebenaran bahwa al-Qur’an mendukung ilmu pengetahuan. Dalam aspek lahiriah, gagasan ini tidak bermasalah, namun jika ditelisik lebih mendalam sangat problematis, karena beranggapan bahwa science modern itu bebas nilai. Pemahaman seperti ini memiliki dua problem.

Pertama, ada anggapan bawa al-Qur’an pasti mengandung semua teori-teori ilmu pengetahuan modern. Padahal al-Qur’an bukanlah kitab science, melainkan kitab petunjuk untuk memotivasi manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Al-Qur’an sebagai titik tolak ilmu pengetahuan, bukan sebagai akhir dari ilmu pengetahuan. Kedua, bahwa ketika fakta science dianggap tidak bertentangan dengan al-Qur’an, science tersebut menjadi terangkat kebenarannya setara dengan al-Qur’an. Konsekuensinya, jika ada ayat al-Qur’an yang tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan maka ia menjadi tertolak, seperti pada kasus Bucaille sendiri. Ilmu pengetahuan yang saat ini diterima, mungkin saja suatu saat akan tertolak dengan teori lain yang mematahkan teori sebelumnya. Konsekuensinya, ilmu pengetahuan yang dijustifikasi selaras dengan al-Qur’an akan tertolak juga dengan datangnya teori baru.

Gagasan lain untuk mengharmoniskan antara agama dan sains adalah Integrasi. Integrasi yang dimaksud adalah meleburkan sisi normativitas-sakralistas ajaran agama ke dalam historisitas-profanitas. Dengan tujuan untuk membedakan mana wilayah agama dan mana wilayah yang berkaitan dengan ‘kepentingan’ penafsir agama tersebut. Asumsi ini berawal dari premis bahwa setiap batang tubuh ilmu pengetahuan akan dipengaruhi kepentingan-kepentingan. Pemahaman ini sangat rentan untuk disalahgunakan dengan menuduh para ulama bahwa dalam menjelaskan suatu nash dipengaruhi ‘kepentingan’. Selain itu, problem dari gagasan ini adalah bahwa suatu nash baik al-Qur’an dan Hadist akan dilihat dengan menggunakan kaca mata keilmuan sosial humaniora. Sehingga pada banyak kasus, integrasi ini adalah kata lain dari liberalisasi. Al-Qur’an ditafsirkan dengan menggunakan metodologi Hermenutika, cara pandang yang digunakan adalah pandangan alam feminism, pluralism, humanism dst.

 

ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN KONTEMPORER

 

Usaha untuk mengharmoniskan antara agama dan sains seperti yang disebut diatas belum menyentuh aspek yang fundamental, juga ilmu masih dianggap sebagai bebas nilai. Pada tataran konsep muncul berbagai macam problem epistemic di dalamnya. Sehingga perlu dicari pendekatan lain yang bisa mendudukan hubungan antara agama dan sains secara proporsional. Penulis berpendapat bahwa gagasan yang paling comprehensive adalah Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer (Islamization of Present-day Knowledge).

Ide Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer digagas oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam Persidangan Sedunia Pertama mengenai Pendidikan Islam di Mekkah tahun 1977. Berangkat dari premis bahwa problem eksternal umat Islam adalah tantangan peradaban Barat serta problem internal umat Islam adalah problem ilmu, yaitu terjadinya kebingungan pengetahuan (confusion of knowledge) dan dijadikannya skeptisisme sebagai metodologi utama dalam ilmu pengetahuan, maka Al-Attas memberikan solusi gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer.

Penekanan istilah ‘Ilmu Pengetahuan Kontemporer’ disini untuk menegaskan bahwa tidak semua ilmu perlu diislamisasikan. Ilmu turats tidak masuk didalamnya, karena khazanah keilmuwan Islam klasik (turats) sudah sesuai dengan worldview Islam. Ilmu pengetahuan yang perlu diislamisasikan adalah ilmu pengetahuan yang dipengaruhi oleh worldview Barat. Karena Pandangan alam Barat dibangun atas konsep humanism yang tercampur didalamnya elemen-elemen seperti sekulerisme, empirisisme, rasionalisme, dualism, liberalism, dan gender equality

Dalam bukunya Islam and Secularism, al-Attas mendefinisikan Islamisasai sebagai “pembebasan manusia yang diawali pembebasan dari tradisi-tradisi yang berunsurkan magic, mitologi, animisme, kebangsaan-kebudayaan yang bertentangan dengan Islam, dan sesudah itu pembebasan dari kungkungan sekular terhadap akal dan bahasanya, manusia Islam adalah orang yang akal dan bahasanya tidak lagi dikungkung oleh kekuatan ghaib, mitologi, animisme, tradisi nasional dan kebudayaan, serta sekularisme. Ia terbebaskan baik dari pandangan alam (worldview) yang berunsurkan kekuatan ghaib maupun pandangan alam yang secular”.

Berbeda dengan konsep sekulerisasi yang menafikan secara total unsur nilai-nilai dan agama dari alam semesta (disenchantment of nature). Islamisasi hanya menafikan unsur magis, mitologi dan animisme, kebangsaaan-kebudayaan yang notabenenya bertentangan dengan konsep tauhid dalam Islam. Alam dalam Islam sifatnya hanya sebagai ‘tanda’ (alamah) atas eksistensi Tuhan, bukan sebagai unsur sesembahan seperti yang terjadi dalam beberapa unsur kebudayaan di luar Islam. Jadi penafian ini menurut Al-Attas sebagai ‘the proper disenchantment of nature’, bukan ‘the unjust disenchantment of nature’, sebagaimana gagasan sekulerisasi Harvey Cox. 

Selain itu, Al-Attas juga menekankan atas penafian terhadap pandangan alam Barat yang sekular. Beliau mengklasifikasi unsur-unsur yang perlu dihilangkan dari Barat berupa (1) Rasionalisme, yakni akal sebagai satu-satunya sumber untuk membimbing manusia mengarungi kehidupan; (2) Pandangan dualistis tentang realitas dan kebenaran; (3) Membenarkan aspek Being yang bersifat temporal yang memproyeksikan suatu pandangan hidup sekular; (4) Pembelaan terhadap doktrin humanisme; dan (5) Peniruan terhadap drama dan tragedi yang dianggap sebagai realitas universal dalam kehidupan spiritual, atau transendental, atau kehidupan batin manusia.

Ringkasnya, proses Islamisasi diawali dengan 1)  melakukan proses pemisahan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat. 2) memasukkan elemen-elemen Islam dan konsep-konsep kunci ke dalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan. Jelasnya, “ilmu hendaknya diserapkan dengan unsur-unsur dan konsep utama islam setelah unsur-unsur dan konsep pokok dikeluarkan dari setiap ranting. (Al-Attas, The Concept of Education, hal.43). Salah satu kontribusi besar al-Attas adalah dalam menyusun ulang konsep-konsep kunci dalam Islam dengan kerangka tradisi keilmuwan Islam dari tasawuf, kalam, dan filsafat. Al-Attas mengatakan

 

…untuk perumusan dan penyebaran ilmu di dunia Islam pada masa kini, kita harus melihat bahwa penyusupan konsep-konsep kunci dari dunia Barat telah membawa kekeliruan yang pada akhirnya menimbulkan akibat yang serius jika tidak ditangani. Karena apa yang dirumuskan dan disebarkan dalam dan melalui universitas-universitas dan lembaga-lembaga pendidikan yang lainnya mulai dari tingkat dasar hingga tingkat tinggi sebenarnya adalah ilmu yang mengandung watak, kepribadian, kebudayaan dan perdaban Barat dan dibentuk dalam cetakan budaya Barat. Tugas kita pertama-tama adalah mengasingkan unsur-unsur itu termasuk konsep-konsep kunci yang membentuk kebudayaan dan peradaban itu ….. Islamisasi pengetahuan kontemporer tepatnya berarti bahwa, setelah pengasingan itu, ilmu yang telah terbebaskan itu kemudian diisi dengan unsur-unsur dan konsep-konsep kunci Islam. Karena sifat asasi unsur-unsur dan konsep-konsep kunci Islam ini merupakan sesuatu yang mendefinisikan fitrah, maka sebenarnya Islamisasi akan mengisi ilmu itu dengan fungsi dan tujuan tabi’i sehingga menjadikannya ilmu sejati

Beberapa konsep kunci dalam Islam yang diperlukan dalam proses Islamisasi yaitu konsep din; (2) konsep manusia (insan); (3) konsep ilmu (ilm dan ma’rifah); (4) konsep keadilan (‘adl); (5) konsep amal yang benar (amal sebagai adab) dan semua istilah dan konsep yang berhubungan dengan itu semua; dan (6) konsep tentang universitas (kulliyah, jami’ah) yang berfungsi sebagai bentuk implementasi semua konsep-konsep itu dan menjadi model sistem pendidikan. Dengan mengganti konsep-konsep kunci Barat dengan konsep kunci dalam Islam meniscayakan worldview Barat yang awalnya berunsurkan sekular bisa diislamisasikan agar selaras dengan nilai-nilai Islam.

Worldview Islam yang memandang realitas tidak terbatas pada unsur fisik, melainkan juga metafisik inilah yang akan menjadi bangunan ontologi dalam melihat sebuah kebenaran. Eksistensi Tuhan diakui sebagai sumber ilmu paling tinggi yang bisa didapatkan dengan menggunakan akal, panca indera, wahyu dan intuisi. Dan pada akhirnya, dalam tataran aksiologis, Ilmu pengetahuan yang islami akan sesuai dengan tujuan nilai Islam yang dikenal dalam ushul fiqh sebagai maqashid syari’ah berupa menjadi agama (din), jiwa (nafs), akal (aql), harta (mal), dan kehormatan (ird). Wallahu a’lam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *